Setelah melaksanakan shalat magrib di masjid, Ning Safa tampak merapikan kerudung, dan kembali mengenakan niqab nya. Ia memutuskan untuk menunggu suaminya di luar seraya mengenakan flatshoes nya. Namun langkahnya terhenti saat ia melihat sang suaminya sudah duduk di undakan tangga dan memegangi sepasang sepatu miliknya.
Bibirnya mengulum senyum di balik niqab. "Mas, udah lama keluarnya?" Tanya Ning Safa yang mengambil duduk di samping suaminya.
Seraya memberikan sepatu miliknya, Gus Irham tersenyum. "Nggak kok. Baru aja."
Ning Safa memakai sepatunya, pada kedua kakinya yang sudah mengenakan kaos kaki berwarna krem.
"Setelah ini mau ke mana? Kamu mau makan dulu, atau masih pengen jajan?" tanya Gus Irham saat keduanya sudah berada di halaman depan masjid, setelah menuruni beberapa anak tangga.
"Amih gimana? Padahal Amih udah masak lho Mas."
Gus Irham menggenggam tangan sang istri. "Gapapa, Mas udah bilang sama Amih. Katanya Amih, sambal cuminya di masukan ke kulkas, tahu sama tempe gorengnya juga nggak Amih goreng semua. Jadi kalau nanti malam mau makan lagi, tinggal goreng, dan manasin aja Yang."
Ning Safa berdeham, bukan karena penjelasan suaminya. Melainkan karena panggilan suaminya barusan, suaminya memang sering memanggilnya begitu saat di rumah, tapi ini di tempat umum. Bagaimana jika orang lain mendengar?
Ah, kedua pipinya langsung memanas di balik niqab.
"Kenapa, Yang?" Melihat istrinya yang sejak tadi diam, membuat Gus Irham bertanya dengan kening yang mengerut.
"Malu Mas." cicitnya. Sesaat kemudian Gus Irham tertawa, owalah ia pikir istrinya ini kenapa. Ternyata malu karena ia memanggilnya dengan sebutan 'Yang' di tempat umum.
Ya ampuun, menggemaskan sekali.
"Kamu kenapa sih Yang?" Gus Irham sengaja mengatakannya dengan nada sedikit keras, sengaja sekali menggoda istrinya yang tengah mendelik ke arahnya dengan tajam."Mas!" serunya.
Gus Irham tertawa. "Ya kenapa sih Yang? Emangnya nggak boleh?"
Ning Safa merengek kesal kala suaminya itu sengaja menggodanya.Kemudian Ning Safa merasakan jika suaminya merangkul bahu dan memberikan kecupan pada pucuk kepalanya. "Gemesin banget sih. Kalau bukan lagi di tempat umum, Mas rasanya pengen makan kamu."
Gus Irham meringis saat merasakan cubitan kecil pada pinggangnya.
"Tuh, kan bener. Itu Gus Irham sama Ning Safa!"
Kedua pasangan itu menoleh ke arah suara, dimana beberapa langkah di hadapan mereka, ada Gus Fikron dan juga Ning Marshanda yang sepertinya juga baru selesai melaksanakan shalat magrib.
Ning Marsha langsung menghampiri Ning Safa, keduanya saling memeluk dan melakukan cipika-cipiki. Begitu pun Gus Irham dan Gus Fikron yang melakukan pelukan ala laki-laki.
"Disini juga toh?" tanya Gus Irham.
Gus Fikron mengangguk. "Iya. Bumil lagi pengen jalan-jalan katanya. Bisa kebetulan gini ya, padahal nggak ada janjian sama sekali, kan?" tanya Gus Fikron seraya menatap sang istri yang tampak lengket dengan Ning Safa.Istri mereka berdua itu, seolah tidak bertemu selama ratusan purnama saja.
"Aku pangling lho, lihat Ning Safa pakai niqab gini. Aku sampe harus menajamkan pandangan buat lihat Gus Irham, karena Gus Irham mana mungkin jalan sama perempuan lain selain kamu." Papar Ning Marshanda.
Itu benar, ia bahkan sampai ada perdebatan kecil dengan suaminya. Ning Safa dengan niqab nya benar-benar membuat pangling. Meski wajahnya tertutup niqab, tapi ia tetap terlihat cantik dan anggun seperti biasanya."Iya, Mas Irham tiba-tiba menyuruh pake niqab hehe." jawab Ning Safa.
Gus Fikron berdecak. "Ck. Posesif."
"Biarin." Jawab Gus Irham dengan ketus. Laki-laki mana memangnya yang tidak akan posesif jika memiliki istri yang secantik Ning Saffana Husna Gayatri ini, coba.
Siapa yang tidak akan tertarik pada si cantik idaman para laki-laki ini. Ia bahkan sering datang ke kajian Ning Safa, dan pendengarnya kebanyakan adalah laki-laki. Gus Fikron tidak tahu saja bagaimana panasnya telinganya kala mendengar pujian-pujian yang di tunjukan kepada sang istri.
Ya, ia sendiri tidak bisa menampik jika ia adalah laki-laki yang posesif.
Ning Marsha, dan Ning Safa hanya menggelengkan kepalanya. Heran saja, mereka berdua ini saudara tapi kok kebanyakan sering bertengkar, ketimbang akurnya."Sudah makan Ning? Aku sama Mas Irham kebetulan mau cari makan dulu."
Ning Marshanda tampak berbinar. "Boleh. Boleh. Kita makan sama-sama aja kalau gitu, ya Mas?" katanya seraya melirik kepada sang suami, yang di balas dengan anggukan singkat.
Mereka berempat berjalan bersama, menuju ke penjual makanan. Mereka setuju untuk makan sate ayam yang masih berada di sekitar taman kota itu. Kedua pasangan itu duduk menunggu pesanan mereka selesai.
"Udah berapa minggu Ning, usianya?" tanya Ning Safa seraya mengusap perut datar Ning Marsha yang duduk di sampingnya, sementara para suami duduk di hadapan para istri yang terpisah oleh meja panjang.
"Belum di cek sih Ning. Katanya Umi, nanti saja biar sekalian sama Kak Aila cek kandungan." Paparnya.
Ning Safa mengangguk, bibirnya tak berhenti tersenyum di balik niqab yang di kenakannya. Ia senang sekali mendapatkan kabar baik tentang kehamilan Ning Marsha, diam-diam ia juga mendoakan semoga ia dan sang suami di berikan keturunan dalam waktu cepat.
"Nggak mual-mual apa Ning?" tanya Ning Safa lagi. Mengingat beberapa temannya pernah mengeluh karena merasakan mual yang parah di awal trisemester kehamilan mereka.
"Tadi pagi ya mual, muntah sampai mukanya pucet. Liat atau nyium bau nasi aja dia nggak mau." Bukan Ning Marsha yang menjawab, melainkan Gus Fikron.
Ia kaget saat sang istri tiba-tiba mengatakan ingin jalan-jalan ke taman kota, memakan sate ayam yang di campur lontong sebagai pengganti nasi. Tapi, kata Uminya istrinya itu sedang ngidam, dan Uminya meminta ia untuk menuruti keinginan sang istri, biar anaknya nanti pas lahir nggak ileran, katanya.
Mendengar itu, mata Ning Safa membulat. "Serius Ning? Terus makannya gimana? Kamu seharian nggak makan?"
Ning Marsha terkekeh. "Makan kok Ning. Sama lontong, yang di kasih taburan bawang goreng hehe."
Benar, Gus Fikron sempat khawatir karena istrinya itu seharian hanya makan lontong tanpa sayur, dan hanya menggunakan taburan bawang goreng. Aneh memang, padahal dulu ngidamnya Mas Rama lebih aneh dan parah dari istrinya, tapi tetap saja ia merasa kaget, dan aneh.
Sementara Gus Irham hanya menyimak saja, sampai kemudian pesanan mereka datang barulah pembicaraan seputar ngidam itu berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficción GeneralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...