"Dor!"
"Astagfirullah...." Marshanda terkejut saat sosok Ning Aila mengejutkannya yang tengah termenung di dalam kamar Gus Fikron yang juga menjadi kamarnya.
Ning Aila semula memang berniat menemui Marshanda di kamarnya, dan saat sampai di depan pintu kamar yang terbuka lebar, ia melihat Marshanda yang tengah merenung, dan akhirnya ia mengejutkan adik iparnya tersebut.
Ning Aila terkekeh, "Boleh kakak masuk?" tanyanya.Marshanda mengangguk, sejak dirinya sah menjadi istri dari Gus Fikron, Ning Aila memang sudah membiasakan diri dengan panggilan 'kakak' kepadanya. Seolah mengatakan jika kini ia adalah kakaknya, yang artinya derajat mereka sama.
"Kenapa kok melamun?" Tanya Ning Aila yang sudah duduk di samping Marshanda yang berada di sisi ranjang.
"Nggak apa-apa kok, Ning."
Ning Aila berdecak. "Kok masih panggil Ning? Aku kakak kamu lho sekarang." ucapnya setengah merajuk.
Marshanda meringis, dan menggumamkan kata maaf kepada Ning Aila.
Jujur, semua situasi yang berjalan dengan sangat cepat ini benar-benar membuatnya kesulitan menerima semua kenyataan yang datang secara tiba-tiba ini.
Ia yang menikah dengan Gus Fikron, dan menjadi bagian dari keluarga Kyai Ikmal dan Ibu Nyai Ashilla, benar-benar tidak pernah ada dalam pikirannya. Ia memang memiliki perasaan yang terpendam kepada Gus Fikron, namun sama sekali tidak berani untuk bermimpi bisa berada di tahap ini.
Sebenarnya, hal yang masih mengganjal di hatinya adalah perasaan malu, dan tidak enak hati kepada keluarga Kyai Ikmal, terkhusus kepada Gus Fikron. Uang seratus juta yang di pinta oleh ayahnya kepada Gus Fikron, membuatnya merasa tidak pantas berada di posisi ini.
Bagaimana bisa Gus Fikron begitu baik dengan mempersuntingnya sebagai istri, dan memperlakukannya dengan sangat baik, bak barang yang mudah pecah.
Apakah ia boleh terus terlena dengan semua yang telah di dapatkannya ini?
"Gimana, Fikron ndak bertingkah macam-macam, kan?"Marshanda menggeleng. Sama sekali tidak. Selepas acara, mereka masuk ke dalam kamar, tidak ada yang terjadi malam itu. Gus Fikron membiarkannya untuk beristirahat di atas ranjangnya, dan tidak memaksanya untuk membuka kerudung meski di dalam kamar.
Sedangkan pria yang sudah bergelar suami itu memilih tidur di atas sofa yang bahkan tidak bisa menopang seluruh tubuh tingginya.Sungguh, sepanjang malam ia merasa tidak enak hati. Gus Fikron sampai begitunya memperhatikan dirinya yang bahkan bisa di sebut 'tidak pantas' menjadi istrinya ini.
Ning Aila menghela napas. "Mau cerita?"
Marshanda menggeleng. Karena memang tidak ada yang bisa ia ceritakan, ia hanya tengah di landa cemas lantaran sosok suaminya itu sejak pagi tidak kelihatan bentuk hidungnya. Ia bahkan tidak tahu ke mana perginya sang suami, karena tidak sempat berpamitan.
Hari sudah lewat ashar namun suaminya itu tidak kunjung pulang. Apakah saat ini suaminya tengah menyesal karena telah menikahinya yang banyak kekurangannya ini?
Apakah Gus Fikron tengah berpikir untuk melepaskannya setelah ini?
Ning Aila kembali menghela napas.
"Fikron nggak bilang, kalau ia tiba-tiba harus ke luar kota bersama Mas Rama karena ada sedikit masalah di sana." Tebaknya.Marshanda kemudian menggeleng. "Nggak kak. Pamitan juga enggak, Marsha malah berpikir kalau Gus Fikron sengaja menghindari Marsha, karena menyesal telah menikah dengan Marsha." ucapnya yang membuat Ning Aila terkejut.
Ning Aila tidak tahu jika adik iparnya sampai berpikiran ke sana. Ia mengutuk Fikron dalam hati, bisa-bisanya Fikron tidak berpamitan kepada Marshanda sampai membuat istrinya ini kepikiran terlalu jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
قصص عامةIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...