"Lho, lho. Kenapa toh? Datang-datang mukanya di tekuk begitu?"
Fikron yang tengah duduk di kursi meja dapur itu menatap sang ibu yang masih mengenakan mukena lalu menyalami punggung tangannya.
"Kenapa hm? Ada masalah di pabrik?" tanya Umi Shilla.
Fikron menggeleng, "Bukan kok Mi. Fikron lagi gabut aja, bingung mau ngapain." jawabnya yang mengundang tawa dari Uminya.
"Kamu itu kok pintar banget mengalihkan pembicaraan. Ada apa hm? Ayo cerita sama Umi."
Fikron menatap sang ibu yang turut duduk pada kursi dan berdampingan dengannya. Si bungsu itu bertanya-tanya dalam hati, apakah ia harus menceritakan soal kejanggalan sikap Irham kepadanya tadi?
Umi Shilla menghela napas, ia menyentuh bahu putranya. "Ayo kamu bisa cerita apa pun ke Umi. Setelah Kakak kamu menikah dan tinggal sama Mas Rama, kadang Umi suka kangen dengar semua cerita kakak kamu. Fik, anak Umi yang tersisa cuma kamu, Umi mau jadi orang yang selalu jadi curahan hati kamu."
Fikron terenyuh. Ia tahu jika setelah kakaknya menikah, Uminya ini merasakan kesepian. Meski sejak dulu kakaknya tidak bisa seharian bersama sang ibu, tapi saat ia memiliki waktu luang kakaknya akan bercerita kepada sang Umi, bahkan sampai larut dan tidur berdua.
Umi Shilla bukannya tidak suka Aila tinggal terpisah dengannya, hanya saja ia terkadang sangat rindu dengan putrinya yang kadang juga sering bertengkar kecil dengan Fikron.
Fikron juga mengerti, jika Uminya ingin menjadi sosok Umi sekaligus teman curhat anak-anaknya, agar ia bisa memberikan saran dan penengah dalam setiap masalah yang datang kepada mereka.
"Nggak apa-apa kok kalau kamu belum mau cerita. Ya namanya laki-laki dan perempuan kan ndak sama. Laki-laki lebih memilih untuk menyimpan perasaan apa pun yang mendera." Umi Shilla tersenyum teduh.
"Mi, sebenarnya Fikron--" Fikron menghela napas, berpikir apakah sudah saatnya ia mengatakan hal yang sudah lama di pendamnya kepada sang Umi.
Fikron hendak melanjutkan ucapannya, namun urung karena Babanya tiba-tiba datang, dan menggeser kursi yang di duduki Uminya dari belakang hingga berjarak beberapa langkah darinya.Uminya bahkan sampai memekik karena tiba-tiba kursinya bergeser sendiri.
"Astagfirullah Ba! Ini kalau Umi jatuh terjengkang gimana?" Umi Shilla menatap kesal kepada sang suami yang mendekapnya dari belakang.
Baba Ikmal mengecup puncak kepala istrinya. "Maaf sayang."
Fikron merotasi kedua bola matanya, Babanya ini semakin tua semakin bucin akut kepada Uminya, bahkan sampai cemburu kepada Fikron yang notabene adalah anaknya sendiri.
"Kamu ngapain deket-deket istrinya Baba? Nggak ada kerjaan banget--aw sakit Mi!" Baba Ikmal memekik saat punggung tangannya mendapatkan cubitan kecil dari sang istri.
Fikron menggaruk pelipisnya, ia selalu agak kesal melihat pemandangan seperti ini. Pemandangan Babanya yang mulai kekanakan seperti itu, benar-benar tidak sadar usia.
Umi Shilla menggelengkan kepalanya, benar-benar sedikit lelah dengan tingkah suaminya. "Baba itu kenapa sih? Ini Umi sama Fikron lagi mau ngomong serius, tiba-tiba malah datang ngerecokin. Ngapain coba?"
Baba Ikmal memajukan bibirnya.
"Hadeuuh, Ba tolong ya Fikron nggak mau punya adik di usia yang hampir menginjak 30 tahun ini lho. Malu banget udah tua masa punya adik."
Baba Ikmal melotot. "Siapa yang bilang mau kasih kamu adik? Nggak, Baba juga nggak mau. Baba masih trauma lho liat Umi kamu kesakitan begitu pas melahirkan kamu."
Ikmal, dan Zidan sama-sama trauma dengan melihat istri-istri mereka kesakitan, sungguh suasana saat masa-masa itu adalah masa yang tidak ingin mereka ingat.
Ikmal dan Zidan, selalu terbayang bagaimana kesakitannya, dan menderitanya istri-istri mereka saat melahirkan.
Cinta keduanya sama-sama besar kepada perempuan yang mereka cintai, bahkan tidak akan pernah membiarkan istri mereka terluka bahkan hanya karena tergores pisau.
"Kamu apa nggak ada niatan mau menikah toh Fik?"
Umi Shilla berdecak, kembali mencubit punggung tangan suaminya. "Kenapa sih Ba, hobi banget jodohin anaknya. Ya biarin, kalau Fikron belum mau menikah. Jangan sampai nanti kejadian Aila sama Rama terulang lagi."
Sudah cukup Ia, dan Rama saja yang menjadi korban pernikahan tanpa cinta di awal rumah tangga. Tidak boleh lagi ada yang terluka dalam pernikahan yang di dasari oleh perjodohan.
Makanya, ia membebaskan Fikron untuk memilih dan mencari jodohnya sendiri.Baba Ikmal, dan Fikron tentu tahu apa yang terjadi dengan pernikahan Aila dan Rama. Meski akhirnya berakhir bahagia, dan memiliki si kembar Fahmi dan Fahira, perjalanan cinta dan rumah tangga mereka sebelumnya sudah melewati banyak badai, dan duri.
Baba Ikmal berdeham, tanpa melepaskan kedua tangannya yang mendekap perut istrinya dari belakang. "Ya siapa tahu Mi, Fikron punya seseorang yang di cintainya gitu lho maksud Baba. Bukan mau jodohin Fikron."
Fikron berdeham keras, menggaruk lehernya yang tidak gatal. Sesuatu yang selalu di lakukannya jika sedang merasa gugup.
Melihat gestur putranya yang seperti itu, kedua mata Umi Shilla langsung memicing. Tanpa perlu bertanya, gestur itu seakan menjawab ucapan suaminya bahwa putranya itu benar telah memiliki seseorang yang ia cintai. Ah, ia benar-benar kepo akut ingin tahu wanita mana yang akhirnya bisa menarik hati putranya yang tampan ini.
"Ke--kenapa Umi lihatin Fikron seperti itu?" tanya Fikron yang juga kini mendapatkan tatapan yang sama dari Babanya.
Ah, astaga. Ia lupa jika ia tidak pernah pandai menyembunyikan apa pun dari kedua orang tuanya.
"Siapa orangnya Fik?" tanya Umi Shilla.
"Orang apa Umi? Orang-orangan sawah? Akh!!" Fikron memekik saat pahanya di pukul oleh tangan sang Ibu.
Sedang Babanya tidak lagi mendekap Uminya, ia malah berdiri di samping ibunya seraya bersedekap dada. "Ayo jujur, mumpung Baba dan Umi punya banyak waktu luang sebelum magrib."
"Dih, jujur apa sih. Orang Fikron nggak ada ngomong---aaakkh Umi sakit!!" Fikron kembali mengaduh karena sang Umi tiba-tiba turun dari kursi, dan menarik sebelah telinganya.
Akh, haruskah ia jujur sekarang tentang perasaannya yang tertaut kepada Ning Saffana Husna Gayatri?
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Fiksi UmumIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...