GARIS TAKDIR || 20

1.7K 140 17
                                    

Deg!

Deg!

Jantung Ning Safa, dan Gus Fikron sama-sama berdebar kencang. Kini kedua keluarga sudah berkumpul di sebuah ruang tamu. Ning Safa menunduk dan meremas jemarinya yang berada di atas pangkuan.

"Bagaimana Mbak? Sepertinya Gus Fikron sudah tidak sabar mendangar jawabannya. Mau di katakan sekarang saja?" Ayah Malik menatap sang putri, jawaban dari putrinya malam ini akan menjadi penentu kehidupan putrinya kelak.

Gus Irham sendiri sudah memilih untuk mundur dan mengalah untuk Fikron.

Ning Safa menghela napas, dan kemudian mengembuskannya. "Bismillahirrahmanirrahim. Umi, Baba, ngapunten sebelumnya jika saya membutuhkan waktu yang lama untuk sekedar menjawab ajakan Gus Fikron untuk bertaaruf."

Umi Shilla mengulas senyum tipis di balik cadarnya. "Iya kami mengerti kok nduk. Sampeyan dan Fikron tentu harus banyak berdoa dan meminta petunjuk, mengingat ini untuk kelangsungan hidup kalian berdua." jawabnya, dengan kalimat yang halus dan lembut, menenangkan hati semua orang yang mendengar.

"Inggih Ning Safa ndak udah merasa bersalah seperti itu." Baba Ikmap menyahut, kini tatapan matanya beralih pada sang putra yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang. "Insyaallah ya Fik, kami akan menerima apa pun jawabannya Ning Safa dengan lapang dada."

Fikron mengangguk, "Iya Ning." jawabnya.

Ning Safa meremas jemarinya. "Setelah satu minggu ini saya berdoa dan melakukan istikharah, ada sosok pria yang muncul dalam mimpi saya, namun saya tidak dapat melihat wajahnya yang tertutup sinar terang yang menyilaukan mata."

Semua orang menyimak, tanpa ada yang ingin memotong ucapan Saffana Husna Gayatri, Gus Fikron tidak dapat memungkiri jika jantungnya semakin berdebar kencang, rasanya sangat penasaran sekali dengan jawaban yang akan di berikan oleh Ning Safa.

"Sampai akhirnya, kemarin malam dan hari ini saya dapat melihat wajah pria itu dengan jelas." Imbuhnya, ia memejamkan kedua matanya sejenak sebelum akhirnya menarik napas dan membuka mata. "Ngapunten Gus. Pria yang muncul di dalam mimpi saya, bukanlah sampeyan. Tapi orang lain."

Deg!

Fikron, dan semua orang terkejut drmengan perkataan Ning Safa barusan. Orang lain katanya? Berarti secara jelas, Ning Safa sudah memberikan penolakan kepadanya. Bibirnya tersenyum getir, berarti perasaannya harus kandas sampai di sini.

"Saya sungguh minta maaf, jika jawaban yang saya berikan tidak sesuai dengan ekspektasi, dan mengecewakah semua pihak, terutama Gus Fikron dan keluarga."

"Sama sekali ndak mengecewakan kok Ning. Sebelum kami datang kemari, kami semua sudah siap dengan segala jawaban yang akan kamu berikan. Ning Safa, terima kasih telah jujur dengan perasaanmu. Insyaallah, kami akan menerimanya dengan lapang dada." lagi-lagi Umi Shilla menenangkan Ning Safa yang terlihat hampir menangis.

Gus Fikron mengangkat wajah, "Tidak apa-apa Ning Safa. Seperti apa yang Umi katakan, kami menerima jawaban sampeyan dengan lapang dada."

Ning Safa menatap wajah sang Bunda, "Nggak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya, iya toh Ibu nyai Shilla?"

Umi Shilla mengangguk. "Iya benar. Tentu, soal itu tidak ada yang bisa mengetahuinya. Semua sudah di gariskan oleh sang pencipta, dalam sebuau takdir hidup seseorang."

Setelah itu, kedua keluarga terlibat percakapan yang cukup seru, lalu kemudian keluarga Gus Fikron berpamitan untuk pulang yang di antar oleh Ayah Malik, dan Bunda Khilma sampai ke teras depan rumah mereka.

"Mbak, boleh bunda tahu siapa pria yang muncul dalam mimpinya Mbak?" tanya Bunda Khilma yang kini duduk di ruang tamu pada sofa panjang bersama putri sulung, dan juga suaminya.

Sementara si bungsu Khalisa tadi sore sempat izin akan menginap di rumah temannya untuk menggarap skripsinya.

"Gus Irham, orangnya Bun." ucapnya, yang membuat kedua orang tuanya terkejut, dan kemudian tersenyum haru.

Benar kata orang, cinta dan benci hanya berbeda tipis. Siapa sangka Gus Irham yang sering bersabar menghadapi juteknya Ning Safa justru ternyata laki-laki itu yang menjadi jawaban atas doa, dan juga ikhtiarnya selama ini.

****

"Piye? Sampeyan mau terima tawarannya Prof. Adam, buat lanjut S2 di malaysia?"

Pria dengam koko berwarna krem yang di padukan dengan celana panjang berwarna hitam itu meneguk kopi hitam pahit yang tersaji di meja teras kediaman Gus Reza, solo.

Ia memang berniat bermalam di kediaman sahabatnya, rasanya jenuh sekali terus tinggal di hotel selama masa pembangunan cabang cafe barunya untuk itu ia memutuskan untuk berkunjung ke kediaman sahabatnya. Siapa sangka, jika sahabatnya itu memberikan kabar jika dirinya di tawari kuliah S2 full beasiswa oleh Prof. Adam, dosennya dulu yang kini menjadi rektor di sebuah kampus ternama di negeri jiran.

Prof Adam bukan hanya kali ini menawari hal serupa kepadanya, namun ia sudah tidak tertarik lagi dengan dunia perkuliahan. Ia lebih tertarik dengan menjadi pengusaha, karena sudah terbiasa mendampingi Abinya sejak muda.

Irham menggelengkan kepalanya. "Aku mau fokus mengembangkan usaha saja Gus. Kenapa ndak sampeyan aja yang ambil tawarannya, bukannya sampeyan juga di tawari hal serupa oleh Prof Adam?"

Gus Reza tertawa. "Sampeyan ini bagaimana toh. Istriku lagi hamil besar begitu, sebentar lagi melahirkan mosok aku tinggal ke malaysia. Ngaco bener sampeyan ini!" serunya seraya melirik sang istri yang berjalan ke arah mereka dengan membawa sebuah piring berisi pisang goreng yang masih mengepul.

Gus Reza berdiri dari posisinya, dan menghanpiri sang istri, ia mengambil alih piring yang di bawa istrinya. Melihat itu Irham berdecih, apalagi saat sahabatnya itu tampak tersenyum mengejek.

"Sampeyan apa ndak mau seperti ini juga, eh?"

Ck, lihatlah calon ayah itu arrgh, benar-benar menyebalkan.

Ning Lia, sang istri dari Gus Reza itu mencubit pinggang suaminya karena sudah berbuat usil pada Irham. "Ndak usah iseng Mas." tegur Ning Lia.

Gus Reza tertawa. "Haha, biarin toh dek  supaya Gus satu ini juga kebelet nikah."

Gus Irham hanya mendengkus.

Seandainya saja Gus Reza tahu apa yang telah terjadi pada kisah cintanya, ia yakin jika asahabatnya itu tidak akan menggodanya seperti ini. Ia bisa saja sebenarnya jika menerima tawaran Prof Adam untuk kuliah di negeri jiran, dan meninggalkan Ning Safa yang akan selalu mengingatkannya atas rasa sakit yang ia rasakan.

Tapi, ia tidak bisa melakukan itu. Ia ingin mandiri, dan tidak ingin membuat Amih serta Abinya yang sudah semakin tua itu kelelahan mengurus bisnis dan juga pondok pesantren.

Ting!

Irham meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja, dan membuka aplikasi pengirim pesan. Keningnya mengerut kala membaca pesan yang berasal dari Amihnya.

 Keningnya mengerut kala membaca pesan yang berasal dari Amihnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hal penting? Batinnya bertanya. Hal penting apa yang kira-kira ingin di bicarakan oleh kedua orang tuanya?

****

Sad banget huhu, Gus Fikron di tolak 😭 btw kira-kira apa ya yang mau Amih ayana, dan Abi Zidan bicarakan? 🤔

Besok garis takdir libur dulu ya haha

GARIS TAKDIR  [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang