Dalam kehidupan pasti akan ada yang datang dan pergi, dan itu seolah telah menjadi rumus kehidupan. Semua orang terpukul dengan kepergian Amih Ayana dan Abi Zidan untuk selama-lamanya, namun setelah tiga hari kemudian, bayi berjenis kelamin laki-laki lahir dari Ning Myiesha Aila Rizqiyana.
Bayi laki-laki itu seolah menjadi obat dari kesedihan mereka semua. Bayi laki-laki yang di beri nama Muhammad Faqih Ghazali. Anak laki-laki yang lahir dengan berat badan 3,1 kg, si tampan yang lahir setelah adzan subuh itu tampak lucu dengan kedua pipinya yang gembil dan kulitnya yang masih berwarna merah begitu sangat menggemaskan.
Setelah memastikan bayi Ning Aila telah lahir dengan selamat, Gus Irham pamit untuk ke ruang rawat istrinya. Kebetulan Ning Aila memang di rawat di rumah sakit yang sama dengan istrinya.
Jika di pikir, ini adalah kali pertama ia menjenguk sang istri. Begitu ia sampai di ruangan, membuka pintu ia di kejutkan dengan istrinya yang tengah muntah di tempat tidur dengan Bunda Khilma yang memegangi plastik kantong hitam untuk menampung muntahannya.
Gus Irham langsung menghampiri keduanya, sementara Khalisa baru keluar dari kamar mandi setelah buang air kencing.
"Astagfirullah. Safa kenapa Bun?"
Bunda Khilma melirik sang menantu sekilas, lalu kembali memijat tengkuk putrinya yang tidak berhenti muntah sejak tadi. Tanpa perlu di suruh, Gus Irham mengambil alih tugas Bunda Khilma, ia gantian memijat tengkuk dan memegang plastik hitam yang semula di pegang ibu mertuanya."Nak Irham gapapa, biar Bunda aja."
Gus Irham menggeleng, "Gapapa Bun. Biar Irham aja, Bunda istirahat aja ya."
Baik Ning Safa, Bunda Khilma, dan Khalisa sama-sama terkejut dengan kedatangan Gus Irham yang tiba-tiba."Mas .... " Ning Safa memanggil dengan suara lemahnya.
"Dalem sayang. Masih mau muntah?"
Ning Safa seketika menggeleng, "Mau ke kamar mandi."Gus Irham mengerti. "Sebentar ya, Mas buang ini dulu ke kamar mandi. Habis itu baru Mas bantu kamu ke kamar mandi."
Ning Safa mengangguk singkat, memperhatikan suaminya yang masuk ke dalam kamar mandi tanpa menutup pintunya. Bunda Khilma dapat melihat jika Gus Irham tengah menumpahkan cairan muntahan putrinya ke dalam kloset, lalu membersihkan plastiknya dengan air, kemudian barulah ia membuangnya ke dalam tong sampah. Menantunya itu melakukan semuanya tanpa merasa risi atau jijik.
Setelah itu, ia membantu sang istri dengan menggendongnya ala bridal tanpa tedeng aling-aling, Bunda Khilma membantu membawakan tiang infus ke kamar mandi. Gus Irham mendudukkan tubuh istrinya di atas kloset yang tertutup, mengambilkan air dalam gayung untuk istrinya berkumur, lalu mencelupkan tangannya di air bersih untuk menyeka wajah istrinya, semua itu ia lakukan dengan sangat lembut dan hati-hati, membuat Bunda Khilma sendiri tersenyum karena putrinya ini sangat beruntung memiliki suami seperti Gus Irham yang memperlakukannya dengan sangat baik.
"Sudah, yang?" tanya Gus Irham.
Ning Safa mengangguk, Gus Irham kembali menggendongnya untuk duduk di atas ranjang.
"Bun, sebenarnya Safa sakit apa?" tanya Gus Irham yang tidak tega melihat kondisi istrinya yang tampak sangat lemas.
Baru saja Bunda Khilma hendak membuka suara, seorang dokter spesialis kandungan masuk untuk melakukan visit kepada Ning Safa, bersama seorang perawat.
"Selamat pagi, Ibu Saffa. Bagaimana hari ini? Masih mual dan muntah?" Sesaat dokter Stefani tersenyum ramah kepada Bunda Khilma, dan Gus Irham.
"Masih dok. Ini baru saja habis muntah." Jawab bunda Khilma.
Dokter Stefani tersenyum. "Itu biasa di sebut morning sickness. Hal wajar juga yang sering terjadi pada ibu hamil di trimester pertama. Tapi obat anti mualnya harus di minum terus ya."
Penjelasan dari Dokter Stefani jelas mengejutkan Gus Irham. Jadi, selama ini istrinya di rawat bukan karena sakit, tapi karena sedang hamil?
Kenapa tidak ada yang memberitahunya?Tak lama, ada satu perawat lagi yang masuk dengan membawa alat usg kecil. "Baik, ibu Safa kita lihat bayinya dulu ya." Kata Dokter Stefani.
Ning Safa mengangguk, Gus Irham membantu sang istri untuk berbaring. Dokter Stefani menyingkap gamis rumahan yang di kenakan Ning Safa sampai ke atas perut lalu mulai memeriksa setelah mengoleskan gel dingin.
Bunda Khilma, Gus Irham, dan juga Khalisa melihat ke arah monitor yang memunculkan titik hitam yang masih kecil.
"Nah, bayinya sudah cukup sehat kok. Tapi ibunya tetap harus bedrest ya." Jelas Dokter Stefani yang kembali menurunkan pakaian Ning Safa. Lalu tatapannya beralih ke Gus Irham. "Bapak suaminya ya?"
"Iya Dok."
"Bapak juga harus bantu menjaga ibu dan bayinya agar tetap sehat ya, dengan cara terus men support dan memberikan kasih sayang yang lebih untuk keduanya. Jangan sampai ibunya kelelahan atau stres berlebihan ya."
Gus Irham mengangguk singkat. Jujur, ia masih sangat terkejut dengan kenyataan yang ada. Tidak, ia bukannya kecewa karena Ning Safa hamil di saat-saat sulitnya seperti sekarang. Ia hanya merasa kecewa, mengapa sampai dirinya yang paling dekat, tidir di kamar yang sama dengan istrinya justru malah tidak tahu jika istrinya sedang mengandung.
Lantas bagaimana hari-hari yang di jalani istrinya selama tiga hari ini? Melihat bagaimana lemahnya keadaan istrinya tadi, dan betapa parahnya morning sickness yang di alami istrinya, ia tidak bisa membayangkan jika selama tiga hari ini Ning Safa melewati itu semua sendirian.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca, ia bahkan tidak merespons kala Dokter dan kedua perawat itu pamit keluar setelah mengantarkan sarapan dan obat untuk istrinya.
Bunda Khilma dan Khalisa pamit keluar, memberikan waktu berdua pada kedua calon orang tua itu.
Sepeninggal Bunda Khilma dan Khalisa, Gus Irham menatap istrinya dengan lekat. "Kenapa nggak bilang?"
Ning Safa menoleh kepada Gus Irham. Lidahnya mendadak kelu, ia tengah bertanya-tanya dalam hati, apakah suaminya ini sedang marah padanya?
Gus Irham mengusap wajahnya dengan gusar, kala tak dapat jawaban dari sang istri, namun siapa sangka jika laki-laki itu tiba-tiba saja menangis setelah duduk di kursi samping tempat tidur, seraya mengecup punggung tangannya. "Kenapa nggak bilang? Kamu pasti selama ini kesusahan ya, harus menanggung semuanya sendirian?"Kedua mata Ning Safa tiba-tiba memanas, entah efek hormon kehamilan atau karena terbawa suasana haru, ia ikut menangis.
"Maaf sayang. Maaf Mas nggak ada di masa-masa sulit kamu. Maaf Mas nggak bisa nemenin kamu yang---"
Ning Safa menggeleng seraya terisak "Nggak Mas. Berhenti minta maaf. Semua ini bukan salah Mas. Semua rasa sakit, dan kejadian luar biasa saat mengandung, adalah nikmat yang di berikan oleh Allah. Jadi, ini semua bukan salah Mas."
Gus Irham tergugu, merapatkan genggaman tangannya pada tangan lemah istrinya. Meski Ning Safa berkata demikian, rasa bersalah di hatinya tidak kunjung surut. Ia merasa sangat egois karena hanya memikirkan kesedihannya sendiri, dan menjadi abai akan istrinya yang sedang mengalami masa-masa sulitnya sendirian.
Gus Irham mengangkat wajah, tangan yang semula menggenggam tangan istrinya beralih mengusap air mata Ning Safa dengan lembut, dengan ribuan rasa syukur ia berdiri, dan membungkukkan tubuh melabuhkan bibirnya pada kening sang istri. Hadirnya calon bayi di tengah-tengah masa sedihnya setelah kehilangan orang yang sangat berarti bagaikan obat hati untuk Gus Irham yang tengah terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficción GeneralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...