Bunda Khilma menatap putrinya yang berbaring lemas di atas brankar, dengan selang infus yang terpasang di tangannya. Dokter yang memeriksa sudah keluar dari ruangannya. Bunda Khilma baru saja mendengarkan penjelasan mengenai keadaan putrinya yang cukup membuatnya shock.
Putrinya ini tengah mengandung. Karena usia kandungannya yang masih sangat muda, serta kabar mengejutkan yang di dengarnya hari ini membuatnya terguncang, hingga harus bedrest selama satu minggu di rumah sakit.
Bunda Khilma shock, selain karena bahagia dengan kabar kehamilan putrinya, ia juga terkejut dengan kenyataan yang terjadi bahwa keadaan putrinya juga sangat lemah.
"Irham tahu, kalau kamu sedang hamil?" tanyanya seraya duduk di kursi yang berada di sisi tempat tidur putrinya.
Ning Safa menggeleng lemah. "Belum, Bun."
Bunda Khilma menghela napas.
"Rasanya kurang apik, kalau Safa memberitahu tentang ini di saat Mas Irham sedang kehilangan kedua orang tuanya. Safa ndak mau bahagia di atas penderitaan suami Safa sendiri."
Bunda Khilma mengerti, bagaimana pun kejadian hari ini memang benar-benar sangat mengejutkan. Bunda Khilma membelai pucuk kepala putrinya, "Iya, tapi kamu harus cepet sembuh lho. Irham butuh pelukan dan support dari kamu."
Ning Safa mengangguk. "Inggih Bunda."
Bunda Khilma mengangguk. Lalu memberikan kecupan pada kening sang putri. "Kamu sekarang apa-apa harus hati-hati. Kamu nggak sendirian sekarang, ada satu nyawa lagi yang ada dalam rahim kamu."
Ning Safa mengangguk dengan perasaan haru. Akhirnya ia bisa berada di titik ini, di titik yang selalu ia impikan, yakni menjadi seorang Ibu.
"Nanti Khalis dari rumah temannya langsung kesini. Dia pasti heboh banget tahu kalau Mbaknya lagi hamil."
Ning Safa terkekeh, ia sudah menduga akan seheboh apa reaksi adiknya nanti.
"Kamu juga, kalau kepingin apa-apa bilang ya sama Bunda, atau Khalis. Biar anak kamu nanti nggak ileran." Kata Bunda Khilma seraya terkekeh."Emangnya bener ya Bun, kalau pas ngidam nggak kesampaian anaknya nanti bisa ileran?"
Bunda Khilma tertawa. "Entah. Ada yang katanya cuma mitos. Tapi ada juga lho yang jadi kenyataan."
Pembicaraan itu terhenti kala ponsel milik Ning Safa berdering, Ning Safa meminta tolong kepada Bundanya untuk mengambilkan ponsel miliknya yang berada di dalam tas selempang yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya.
Bunda Khilma memberikan ponsel kepada putrinya. "Irham telepon." katanya.
Sekali lagi, Ning Safa meminta tolong kepada bundanya untuk menaikkan kepala ranjang, agar ia bisa bersandar dengan nyaman. Setelah itu, barulah ia menjawab panggilan video dari suaminya.
"Assalamualaikum."Wajah tampan suaminya tampak sembab. Tentu saja, suaminya itu pasti menangisi kepergian dua orang yang sangat berarti baginya secara mendadak, dan sekaligus.
Ning Safa mengulas senyum, "Waalaikumussallam. Mas. Gimana? Tahlilnya sudah selesai?" tanyanya.
Suaminya tampak menatap lekat dirinya. "Sampun, sayang." Wajahnya mendadak sendu, melihat wajah pucat istrinya. Meski tampak tersenyum, namun ia yakin jika perasaan istrinya tengah rapuh.
"Maaf ya Mas, di saat sedang begini aku malah nggak ada buat Mas."
Suaminya tampak menggeleng, seharusnya ia yang minta maaf karena meninggalkan istrinya yang tengah sakit sendirian disana tanpa dirinya. "Mas yang minta maaf. Maaf Mas nggak bisa ke sana dulu temenin kamu."
"Nggak apa-apa Mas. Aku sama Bunda juga mengerti. Nggak usah khawatir, aku di temenin sama Khalisa juga nanti."
Suaminya lagi-lagi kembali sendu. Nggak usah khawatir katanya? Mana bisa begitu, seandainya tubuhnya sedang tidak lemah begini, ia pasti akan menemani istrinya semalaman di rumah sakit, dan pulang ke rumah setelah subuh. Tapi, ia tidak bisa tubuhnya terlalu lemah, semua yang terjadi hari ini masih membuatnya shock.
"Mas, nggak apa-apa. Katanya dokter juga aku baik-baik aja kok. Cuma perlu istirahat agak lama aja, hehe."
Mendengar suara tawa itu, entah mengapa hatinya Gus Irham seperti di cubit dengan keras. Ia tanpa sadar telah abai kepada istrinya sendiri.
"Mas usahakan nanti untuk tengokin kamu ke sana Sayang."
"Nggak apa-apa Mas. Beneran deh. Mas beresin di sana dulu aja, nanti kalau aku sehat, aku pulang ke rumah kok ya. Jangan terlalu di pikirkan, mendingan Mas istirahat aja sekarang."
Gus Irham menggigit bibir bagian dalamnya, lihatlah istrinya ini alih-alih memarahi karena tidak bisa berada di sisinya yang sedang sakit, ia malah meminta dirinya untuk tetap di rumah menyelesaikan segala urusan sampai tujuh hari ke depan, sedangkan dirinya sedang sakit sendirian.
Sungguh, ia merasa malu. Terlebih kepada Bunda Khilma yang tengah berjaga sendirian, kesannya seperti ‘jika bukan keluarga kami, siapa yang akan menjaga Safa’.
"Mas istirahat ya, jangan sampai sakit juga lho."
Gus Irham mengangguk. "Kamu juga istirahat yang banyak ya Sayang, biar cepat sembuh. Mas kangen banget sama kamu."
Ning Safa mengangguk, dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Iya Mas. Safa juga, kangen sama Mas." Katanya, lalu keduanya sama-sama meneteskan air mata, seolah menjelaskan jika keduanya sama-sama saling merindukan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Ning Safa tersenyum menatap sang Bunda yang menggenggam sebelah tangannya. Turut merasakan kesedihan sang putri, di dekat pintu sudah ada Khalisa yang duduk di sebuah sofa, adiknya itu tampak kalem karena Bundanya melarang untuk jangan banyak tingkah karena kakaknya tengah bertelepon dengan suaminya. Selain itu juga, kamar rawat kakaknya memiliki dia buah ranjang yang di sekat dengan gorden.Setelah tatapan mata mereka bertemu, Khalisa langsung menghampiri sang kakak, menyalami punggung tangan dan memberikan kecupan pada pipi kanan, dan kiri kakaknya. Hal yang selalu mereka berdua lakukan jika saling bertemu.
"Selamat ya. Aku seneng banget, karena mau jadi aunty hehe."
Ning Safa, dan Bunda Khilma terkekeh. "Bibi aja deh, jangan aunty." Goda Ning Safa.
"Iih, aunty aja lah. Biar gaul." putus sang adik. "Omong-omong, udah berapa minggu Mbak?"
"Katanya dokter tadi udah enam mingguan." Jelas Bunda Khilma.
Khalisa langsung mengusap perut datar sang kakak. "Hallo adek bayi. Kenalin, ini aunty Khalis. Sehat-sehat ya, biar kita cepet ketemuu."
Bunda Khilma, dan Ning Safa tertawa melihat Khalisa yang sangat antusias sekali menyambut kehadiran calon bayi yang di kandung kakaknya. Kehadiran Khalisa membawa keceriaan bagi Ning Safa dan Bunda Khilma.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficção GeralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...