Marshanda tidak banyak bicara, selain karena punggungnya yang sakit, tenggorokannya juga terasa sakit. Ia hanya menjadi pendengar setia sang kakak ipar yang tengah berbicara banyak hal padanya sampai akhirnya keduanya sudah berada di ndalem, dan bersamaan dengan itu Gus Fikron, dan Gus Rama juga baru saja sampai dan masuk ke ndalem.
"Assalamualaikum!"
Kedua Gus itu kompak mengucap salam, dan membawa masing-masing satu buah plastik dengan logo rumah makan ayam kremes yang cukup terkenal di daerah sini.
"Waalaikumsallam." Ning Aila menyalami punggung tangan suaminya, dan sang suami memberikan kecupan pada pucuk kepalanya.
Berbeda dengan Marshanda dan Gus Fikron yang masih terlihat canggung. "Si kembar mana kak?" tanya Fikron kepada Ning Aila.
"Tidur." Jawabnya, ia mendadak sebal melihat sang adik.
Marshanda sendiri sudah pamit untuk kembali ke kamar, Ning Aila segera memberi kode kepada Gus Fikron untuk mengikuti Marshanda. Mereka butuh waktu berdua, jangan sampai komunikasi yang buruk dalam rumah tangga yang pernah di alaminya dan Rama kembali terulang kepada Fikron dan Marshanda.
Cklek!
Marshanda menoleh kala pintu kamar terbuka, memunculkan sosok laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya sejak semalam. Pria itu tampak meletakkan plastik berlogo rumah makan ayam kremes, menu andalan rumah makan tersebut di atas meja.
"Gus, mau mandi sekarang? Biar saya siapkan pakaiannya."
Gus Fikron menghela napas. Ia duduk di sisi ranjang, sementara sang istri tampak tengah membuka lemari pakaian miliknya.
"Kamu nggak ada pertanyaan yang mau di ajukan, padaku?"
Marshanda menghela napas, setelah mengeluarkan sebuah baju koko berwarna abu muda, beserta sebuah sarung berwarna senada dengan motif songket. "Pertanyaan apa? Kak Aila sudah menjelaskannya kok." jawabnya.
"Memangnya apa yang saya harapkan dari pernikahan ini? Njenengan sudah mau menikah dengan saya saja, saya sudah bersyukur. Njenengan sudah menyelamatkan saya dari ayah saya yang sering menyiksa saya."
Gus Fikron tampak mengusap wajahnya, "Sini." Ia tidak bisa memungkiri, jika ia sudah salah karena tidak berpamitan atau mengatakan apa pun saat pergi dari rumah. Wajar saja jika istrinya itu sampai memiliki pemikiran demikian.
Melihat sang istri yang tak kunjung duduk di sampingnya, ia kembali menghela napas dan bergerak mendekati Marshanda, lalu tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Maaf .... " katanya.
Marshanda tampak menelan salivanya dengan susah payah. Ia masih belum terbiasa dengan sentuhan yang sangat tiba-tiba ini dari suaminya. "Maaf ya sayang. Mas nggak maksud menghindar dari kamu. Pikiran Mas langsung kalut saat di telepon dari pihak sana karena ada masalah cukup besar. Sekali lagi, maaf nggih sayang."
Marshanda menggigit bagian dalam bibirnya, suara lembut Gus Fikron yang memanggilnya 'sayang' dan juga Gus Fikron yang mengganti nama panggilannya sendiri menjadi 'Mas' benar-benar membuat jantungnya berdebar. Sungguh demi apa pun, rasanya ia ingin terus berada di dalam dekapan sang suami dalam waktu yang lama.
Bolehkah ia egois meminta agar Gus Fikron tetap bersamanya hingga akhir hayat.
"Mandi dulu Gus. Nanti saya siapkan air hangat di bath up."
Marshanda berdeham saat sang suami tampak mendengkus. Kedua matanya melotot saat sang suami tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya hingga kini keduanya tampak sudah saling berhadapan, tidak sampai disana saja kedua tangan suaminya tengah memeluk pinggangnya seolah tidak akan membiarkannya melangkah walau sedikit pun.
"Coba panggil, Mas. Jangan panggil Gus. Kamu istri Mas sekarang Yang."
Blush!!
Kedua pipi Marshanda terasa panas, dan mengeluarkan rona merah muda yang cantik menghiasi pipi putihnya yang mulus.
Gus Fikron ini apa tidak tahu kalau ia sangat berbahaya, dan membuat hatinya meleleh hanya karena tutur lembutnya itu.
"Yang .... "
Marshanda berdeham, hendak memalingkan wajahnya ke arah lain, namun kalah cepat dengan suaminya yang kini melepaskan pinggangnya, dan malah menangkup kedua sisi wajahnya agar tetap menatapnya.
"Kamu cantik, kalau lagi blushing seperti ini." ucapnya.
Oh, Allah .... Marshanda tidak tahu lagi sudah seperti apa wajahnya sekarang, suaminya ini memang sangat pandai memorak-porandakan hatinya.
Setelah itu, Fikron membawa sang istri untuk duduk di sisi tempat tidur. Gus Fikron juga mengambil pakaian yang masih berada di tangan sang istri dan meletakkannya di bagian tengah tempat tidur.
Marshanda gugup setengah mati saat duduk saling berhadapan seperti ini, apalagi saat jemari sang suami mengusap punggung tangannya dengan begitu lembut. "Maaf ya, jika kesannya semua ini masih terasa tiba-tiba bagi kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Mas tidak pernah sekali pun menganggap pernikahan ini main-main. Meski di awali dengan hal yang cukup mengejutkan, Mas sama sekali tidak pernah merasa terpaksa menikahi kamu."
Marshanda hanya menyimak apa yang di ucapkan oleh sang suami, karena lidahnya tiba-tiba mendadak kelu. Ia benar-benar jatuh ke dalam pesona Gus Fikron yang benar-benar membuatnya tenggelam.
"Mas sama sekali tidak terpaksa menikahi kamu, Yang. Kamu adalah jawaban dari istikharah Mas yang kala itu sempat bimbang karena hati Mas berada di dua pihak, kamu dan Ning Safa. Sampai akhirnya Mas melakukan istikharah, dan ternyata rasa yang Mas miliki semakin besar kepada kamu." paparnya.
"Jadi, berhentilah untuk berpikir kalau Mas menikahi kamu karena terpaksa. Itu semua tidak benar, sayang." Gus Fikron membawa punggung tangan istrinya dan mengecupnya dengan lembut. "Sumpah demi apa pun, Mas mencintai kamu sayang. Jangan pernah ragukan rasa Mas ke kamu ya sayang."
Marshanda tidak tahu sejak kapan air matanya mengalir membasahi wajahnya. Ungkapan cinta dari Gus Fikron benar-benar membuatnya terharu, ia tidak tahu harus mengucapkan rasa syukur berapa kali lagi, sungguh rasanya semua ini benar-benar sangat berarti untuknya.
"Sudah ya, jangan menangis."
Lihatlah sekarang, pria itu tengah mengusap air mata yang mengalir di wajahnya dengan jemari besarnya yang lembut, mengalirkan perasaan hangat yang sangat nyaman bagi Marshanda.
Ia sadar, jika semua ini bukanlah mimpi. Gus Fikron Muhamad Ali, yang dulu hanya bisa ia kagumi dan lihat dari jauh, telah menjadi miliknya.
Rasanya seperti buku novel yang sering ia baca, dimana santri biasa menikah dengan Gus di pesantren dan di perlakukan dengan baik seperti ini.Bibir Marshanda tersenyum. "Bimbing aku menjadi istri yang baik ya Mas. Ajari aku dalam segala hal, ilmu ku masih sangat dangkal."
Gus Fikron tersenyum, dan mengangguk. Perasaannya benar-benar senang bukan main. Marshanda bahkan sudah mulai memanggilnya 'Mas' dan mengganti panggilannya dengan 'aku'. "Iya sayang, kita sama-sama saling belajar ya nanti."
Marshanda mengangguk. "Iya Mas."
Marshanda kembali membeku saat jemari suaminya yang semula berada di pipinya, kini berada di bibir bawahnya. Ibu jarinya tampak mengusapnya, dan sesekali menekannya. Sungguh, Marshanda di landa gugup yang luar biasa, jantungnya bahkan sudah berdetak dengan sangat cepat.Ia dapat melihat pandangan sang suami yang tampak berkabut, hal itu tentu saja membuatnya semakin gugup.
Namun, tidak ada yang terjadi. Suaminya langsung beristigfar, dan memalingkan wajah. "Mas pergi mandi dulu ya, Yang." Katanya dengan bergegas mengambil pakaiannya yang berada di tengah kasur, dan berjalan cepat menuju ke kamar mandi.
Selepas kepergian sang suami, Marshanda tampak menghela napas lega dan meraba dadanya yang masih berdebar. Ugh! Gus Fikron benar-benar membuatnya meleleh!!
****
Gemes banget enggak sih sama mereka berdua? Huhuhu
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficción GeneralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...