GARIS TAKDIR || 44

1.7K 145 2
                                    

Umi Shilla, dan Gus Fikron menunggu hasil testpack dengan cemas dan berdebar di luar kamar mandi. Ning Marshanda juga sama berdebarnya, perlahan ia mengikuti cara dari petunjuk yang tertera di balik kemasan.

Deg!

Jantungnya seolah berhenti, kala alat yang berada di tangannya menunjukkan dua garis merah. Sesuai petunjuk, jika muncul dua garis maka artinya ia positif hamil.

Ia menutup mulut dengan sebelah tangannya, sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca dan mengeluarkan air mata yang tidak bisa di cegahnya.
Hamil, berarti ia akan menjadi Ibu.

Apakah ia bisa mengemban amanah sebesar itu nantinya?

Apakah ia bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya kelak?

Apakah---

Tok, tok, tok.

"Dek, masih lama? Kamu nggak kenapa-napa kan?"

Pertanyaan penuh nada panik, serta di iringi suara ketukan pintu membuat Ning Marshanda yang tengah menangis itu segera menghapus air mata, ia menyimpan alat itu di pinggir wastafel sementara dirinya langsung membasuh muka. Ia menghela napas beberapa kali, sebelum akhirnya membuka pintu kamar mandi, dimana sang suami serta Ibu mertuanya tengah menunggunya dengan raut cemas.

Gus Fikron segera menghampiri sang istri, membelai pucuk kepalanya dan memberikan kecupan disana sebagai tanda kelegaan hatinya karena tidak ada hal buruk apa pun yang terjadi kepada sang istri.

"Mau duduk dulu?" tawar Gus Fikron.
Ning Marshanda tidak bergeming, tapi tatapan matanya menatap sang suami dengan lekat, seraya memberikan testpack kepada sang suami, ia berucap, "Mas, aku hamil." katanya dengan suara lirih.

Kedua mata Gus Fikron membulat, ia gegas meraih testpack di tangan sang istri dan melihat hasilnya. Hatinya senang bukan main melihat ada dua garis merah yang sangat jelas disana.

"Gimana Fik?" Tanya Umi Shilla.

Gus Fikron tersenyum kepada sang ibu, dan menunjukkan dua garis merah itu. "Alhamdulillah, Umi punya cucu lagi." Ucapnya penuh syukur, dan senang. "Selamat ya nduk." kata Umi Shilla seraya memeluk menantunya dengan senang.

"Nanti ajak Mbak Marsha periksa ke dokter kandungan ya. Kalau nggak, dua hari lagi tuh pas banget jadwalnya Kak Aila cek kandungan juga, nanti ikut bareng sama mereka aja Fik."

Gus Fikron mengangguk.

"Buat sekarang nanti Umi teleponin Bidan Sera, biar di kasih vitamin sama obat anti mual dulu. Mbak Marsha juga suruh istirahat dulu saja, kasian lemas begitu." Imbuh Umi Shilla.

Gus Fikron kembali mengangguk, ia membimbang istrinya untuk naik ke atas ranjang, Umi Shilla juga sudah pamit keluar dari kamar karena harus segera menghubungi Bidan Sera.

"Mas .... "

Gus Fikron duduk di sisi ranjang sembari menatap lekat istri kecilnya, kehamilan Ning Marshanda jelas hal adalah hal yang sangat membahagiakan. Keduanya sama-sama tidak menyangka jika mereka di berikan kepercayaan oleh sang maha kuasa secepat ini.

"Dalem sayang. Kenapa? Mau minum? Kepalanya pusing?"

Ning Marshanda menggeleng, bukan itu semua. "Mas, aku takut."

Gus Fikron mengerutkan keningnya. "Kenapa sayang?"

Ning Marshanda mengusap perutnya yang masih datar itu. "Aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik nanti. Aku--"

"Ssstt, sayang. Jangan terlalu di pikirkan, kita akan sama-sama belajar menjadi orang tua yang baik nanti untuk si kecil. Mas juga masih belum paham tentang ilmu parenting."

Keduanya terdiam saat Bidan Sera datang masuk bersama Umi dan Babanya, setelah selesai memeriksa beliau memberikan vitamin dan obat mual kepada Ning Marshanda, tidak lupa juga menyarankan untuk pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sungguh, hari ini keluarga Baba Ikmal sedang di liputi kebahagiaan.

*****

"Amiih .... "

Amih Ayana menoleh ke arah putranya yang memeluknya dari belakang saat dirinya baru selesai menata piring ke rak samping wastafel.

"Kenapa Ham? Tumben-tumbenan manja-manja begini sama Amih." Kekehnya, sang putra juga turut terkekeh.

Gus Irham dan Ning Safa sudah berada di kediaman Amih Ayana sejak kemarin, kedatangan mereka tentu di sambut dengan senang. Apalagi Amih Ayana terus menempeli menantunya, sampai putranya sendiri merasa kesal. Mereka juga baru saja selesai makan siang, piring-piring kotor sudah di cuci bersih oleh Ning Safa, setelah lumayan kering Amih Ayana pindahkan ke rak.

Sedangkan Abi Zidan sendiri sudah berangkat mengajar ke pondok.

"Gapapa. Irham mau ngomong sama Amih." katanya seraya melepaskan pelukannya dari sang ibu.

Amih Ayana membalikkan tubuh dan menatap sang putra. "Mau ngomong apa? Ayo duduk di kursi bar." katanya. Karena mereka sedang berada di dapur, jadi satu-satunya kursi yang dekat dengan mereka adalah kursi bar, di meja pantry.

Ibu dan anak itu duduk bersama di kursi. "Mau ngomong apa?"

"Miih, tolong terima Safa dengan baik ya Mih. Sayangi Safa seperti Amih menyayangi Irham. Amih tahu sendiri, safa sejak kecil memang agak keras, tapi selebihnya Safa hanya perempuan lemah seperti perempuan pada umumnya."

Amih Ayana tiba-tiba terharu mendengar penuturan putranya yang sangat menghargai wanita yang bergelar sebagai istrinya.

"Kalau Safa ada salah dalam melakukan apa pun, atau perkataannya agak kasar tolong jangan membencinya ya Mih." Tambahnya.

Amih Ayana mengangguk, dan menggenggam kedua tangan putranya. "Ham, sebelum kamu mengatakan semua ini. Amih tentu sudah menerima Ning Safa seperti anak Amih sendiri, kamu nggak perlu takut kalau Amih akan membenci istrimu. Amih juga nggak mau di benci mantu Amih satu-satunya."

Mendengar itu, Gus Irham tersenyum. "Makasih Amih." katanya yang di balas anggukan kepala oleh sang ibu.

"Sama-sama. Amih juga titip sama kamu, jangan sampai berbuat kasar dalam hal berbicara atau tindakan kepada Ning Safa, karena yang akan kecewa nanti bukan hanya Ning Safa, tapi Amih juga."

Gus Irham mengangguk. Ia akan selalu ingat pesan yang di berikan oleh orang yang sangat ia cintai ini.

Ning Safa yang semula berniat memberikan ponsel suaminya yang mendapatkan panggilan tak terjawab dari Gus Fikron, langkahnya tiba-tiba berhenti di tembok dekat dapur, kedua matanya memanas mendengar pembicaraan ibu dan anak itu. Sungguh, ia sangat beruntung sekali mendapatkan suami serta ibu mertua yang sangat menghargai dan menyayanginya seperti ini.

"Kamu harus menjaganya dengan baik, Nak. Ia rela meninggalkan seganya hanya untuk membersamai kamu. Tolong ingatkan Amih juga, jika tanpa di sengaja Amih menyakiti istri kamu."
Ibu dan anak itu lantas saling memeluk.

Ah, Ning Safa lagi-lagi meneteskan air matanya.

*****

Maaf ya jika sekiranya masih banyak typo, aku belum revisi. Mwehehe

GARIS TAKDIR  [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang