Panjang umur sekali, Ning Marshanda melihat Mbak Sita yang sedang membersihkan kaca jendela di luar pondoknya. "Mbak Sita!!"
Mbak Sita berbalik dan tersenyum senang mendapati seseorang yang sudah sangat ia rindukan. Keduanya lantas saling berpelukan, seolah tidak bertemu selama bertahun-tahun.
"Lho, kok Ning ada disini?"
Ning Marshanda merengut. "Ih, jangan panggil Ning. Panggil Marsha aja seperti biasa."
"Iih, mana bisa begitu. Sampeyan sekarang istrinya Gus Fikron. Aku ndak mau melunjak kalau manggil nama saja."
Ning Marshanda menghela napas. "Uwes terserah Mbak maunya gimana." katanya yang membuat Mbak Sita terkekeh.
"Masuk yuk, Ning."
Ning Marshanda mengangguk, lalu masuk ke dalam pondok tempatnya dulu tinggal dengan Mbak Sita. "Kangen banget sama kamar ini." katanya.
Mbak Sita terkekeh, membiarkan Ning Marshanda duduk di sisi dipan kayu miliknya. Ia mengambilkan tiga buah Aqua gelas yang ia letakkan di atas meja berisi buku-buku dan kitab miliknya.
"Ning."
"Hm? Kenapa Mbak?"
"Ning, maaf aku kok ya ngerasa kalau ustadzah Anita rada nganu, ya?"
Ning Marshanda mengerutkan keningnya, sebisa mungkin ia menyembunyikan bagaimana sifat ustadzah Anita yang sempat mengancam, serta mencekiknya dan juga mengirimkan foto kedekatannya dengan suaminya. "Nganu gimana maksudnya Mbak. Nggak boleh su'udzan lho mbak, pamali."
"Aku bukannya su'udzan lho Ning. Serius, aku sama beberapa santri lain juga ngerasa kok beliau kayak sengaja nempel-nempel sama Gus Fikron."
Ning Marshanda tersenyum tipis. "Ya kan beliau ustadzah senior disini. Wajar kan kalau suamiku lebih banyak berinteraksi dengannya."
Mbak Sita menghela napas. Temannya ini terlalu santai menanggapi kejanggalan itu. Tidak tahu saja kalau sebenarnya Ning Marshanda sedang ketir-ketir, ustadzah Anita jelas adalah ancaman yang besar untuknya. Sukur-sukur kalau Gus Fikron suaminya itu tidak tergoda, jika tergoda bagaimana?
"Sampeyan apa nggak curiga, dan khawatir?"
Tentu saja ia khawatir, makanya ia sengaja berkeliaran di pondok untuk mengawasi sejauh mana Ustadzah Anita akan bertindak sejauh mana.
"Kalau aku curiga, ya sama saja namanya aku tidak percaya pada Gus Fikron.
Bohong!
Padahal hatinya sudah ketar-ketir sepanjang mendengarkan ucapan Mbak Sita.
Yakin, memangnya sampeyan akan percaya kepada Gus Fikron, Sha? Batinnya berucap.
"Udah ah Mbak, jangan bahas itu. Aku kesini mau ajakin Mbak beli seblak di kantin hehe."
"Lha, jauh-jauh kesini cuma mau ngajak nyeblak, Ning?"
Ning Marshanda tertawa melihat wajah Mbak Sita yang terkejut. "Iya hehe. Maunya ngajak Kak Aila, cuma Kak Aila dan keluarga lagi siap-siap mau pergi ke tempat orang tuanya Mas Rama."
Kedua mata Mbak Sita memicing. "Kok aneh ya? Kayak orang ngidam."
Ning Marshanda semakin tertawa. Ngidam apanya? Pagi ini saja ia kedatangan tamu bulanannya, kok. Lagi pula, masa iya langsung hamil sih?
"Ngawur banget. Emang kalau ngajak nyeblak, artinya ngidam? Ayo Mbak iiih."
Mbak Sita menghela napas dan akhirnya mengangguk. "Sek, aku ambil uang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Fiksi UmumIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...