Mobil yang di kendarai oleh Gus Irham berhenti di parkiran sebuah taman kota yang sangat ramai di sore hari. Ada banyak sekali stand jajanan yang berjejer disana, dan di penuhi oleh para pembeli. Ning Safa sendiri tampak sangat senang, ia hendak membuka pintu mobil setelah mesin mobilnya mati, namun pergelangan tangannya di tahan oleh sang suami.
Ya, keduanya memutuskan untuk pergi keluar setelah berpamitan kepada Amih, dan Abi. Ia beberapa hari ini memang memperhatikan istrinya yang terlihat mulai jenuh karena di rumah terus, apalagi ia masih mengumpulkan niat untuk mengajar anak-anak di pondok, selama itu ia tentu jenuh karena tidak memiliki kegiatan apa pun.
"Kenapa Mas?"
"Jangan keluar dulu." katanya, sebelah tangannya membuka laci dashboard mobil. Mengambil sesuatu yang terbungkus oleh plastik bening.
Ning Safa dapat melihat, jika benda itu berwarna senada dengan pakaian couple yang di kenakan mereka.
Pakaian yang katanya Gus Irham hadiah pernikahan dari Baba Ikmal, dan Umi Shilla yang merupakan kemeja lengan pendek berwarna coklat susu untuk Gus Irham, dan gamis berwarna senada yang di lengkapi payet pada bagian dada, dan kedua pergelangan tangan. Tak hanya itu, pakaian tersebut di lengkapi hijab syar'i berwarna senda.
Ning Safa memperhatikan suaminya yang tengah membuka bungkusan itu. Tak lama, kedua matanya melebar saat sang suami membentangkan sebuah kain, yang berupa niqab yang berwarna senada."Pakai ini ya?"
Ning Safa menatap benda itu dengan lekat. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba terenyuh, ia memang sempat memiliki niatan untuk mengenakan niqab, namun niatnya itu terus maju mundur sampai sekarang. Melihat suaminya yang tampak menatapnya dengan penuh harapan, ia akhirnya mengangguk singkat.
Dirinya hanya bisa mematung saat sang suami mendekat padanya, dan memasangkan niqab tersebut padanya. Hatinya benar-benar sangat terenyuh, sampai kedua matanya berkaca-kaca. Gus Irham bukan hanya laki-laki baik, penyayang, dan bersabar. Suaminya ini adalah laki-laki yang romantis dengan caranya sendiri, bagaimana mungkin laki-laki ini terus membuatnya jatuh cinta setiap hari.
Gus Irham tersenyum, saat niqab itu sudah terpasang rapi. Entah kenapa ia tiba-tiba mendadak menjadi posesif, ia tidak mau wajah istrinya di lihat orang lain, apalagi laki-laki. Ia hanya ingin wajah cantik ini di lihat olehnya saja seorang diri.
Sebenarnya, itu karena ada beberapa ustadz yang memuji kecantikan istrinya. Alih-alih senang, ia malah menjadi geram sendiri.
"Kenapa tiba-tiba?" Tanya Ning Safa setelah lidahnya sempat kelu beberapa saat.
Gus Irham lagi-lagi mengulas senyum, "Maaf ya, kalau kesannya Mas agak memaksa." Tangannya terulur, memberikan usapan pada pipi sang istri yang tertutup niqab dengan warna senada dengan pakaian yang mereka kenakan. "Mas cuma nggak mau kalau kecantikan kamu di lihat banyak orang."
Tatapan keduanya saling terkunci, kata-kata serta usapan yang di berikan oleh suaminya berhasil membuat hatinya berdesir. Oh, Tuhan suaminya ini mengapa begitu pandai membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan tindakan simple seperti ini.
"Gapapa ya, pakai ini dulu."
Ning Safa mengangguk. Ia juga memaklumi sifat suaminya yang berubah agak posesif seperti ini. Karena kecemburuan suaminya ini jelas, dan cukup mendasar. Suaminya menginginkan ia tidak menjadi fitnah dan dosa untuk orang lain.
"Iya, gapapa." jawabnya.
Setelahnya, keduanya turun dari mobil. Berjalan dengan saling bergandengan tangan, menelusuri satu persatu stand makanan yang berjejer. Gus Irham sedari tadi sibuk mengikuti langkah istrinya yang ke sana-kemari, tanpa merasa keberatan, apalagi kala istrinya tampak antusias dan senang menemukan makanan kesukaannya. Ia yakin, di balik niqab nya sang istri tengah tersenyum lebar seraya memperhatikan pedagang telur gulung yang tengah membuat pesanannya.
Diam-diam Gus Irham mengabadikan momen kebersamaan mereka dengan membuat video.
"Mas, mau juga nggak?" tanya sang istri yang tengah menatap ke arahnya.
"Kamu beli berapa emangnya?"
"Sepuluh ribu hehe. Dapet lima."
"Ya sudah, tambah sepuluh ribu lagi."
Kedua mata istrinya langsung berbinar. "Boleh?"
Gus Irham terkekeh. "Boleh. Mas juga mau soalnya."
Ning Safa langsung mengangguk senang. "Pak, tambah lagi ya sepuluh ribu." katanya. "Mau pedes, apa gimana?" Ia kembali beralih menatap sang suami.
"Pedes juga boleh, tapi sedeng aja."
Ning Safa kembali beralih kepada pedagang telur gulung, menyebutkan pesanannya yang ingin di buat pedas, sedang saja. Setelah itu ia membayar sesuai dengan harga pesanannya.
"Mau beli apa lagi?" tanya Gus Irham.
"Tadi aku lihat, di sebelah sana ada yang jual strawberry smoothies. Mas. Aku mau beli itu nanti."
"Boleh. Mau jajan apalagi?"
Ning Safa tampak melihat-lihat stand jajanan lain, sampai kemudian ia berhenti di sebuah stand penjual takoyaki, yang bersebelahan dengan pedagang es buah. Ia memesan satu porsi takoyaki, dan satu cup es buah untuk sang suami.
Setelah itu keduanya berjalan ke taman, duduk di kursi taman di bawah pohon rindang. Ia menyuapkan dadar gulung kepada suaminya yang sempat mematung, menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.
"Aaa .... "
Gus Irham membuka mulutnya, menerima suapan telur gulung yang masih agak panas di dalam mulutnya. Sebelah tangannya merangkul pundak istrinya yang juga tengah menyantap telur gulung. Gus Irham juga mulai senang menerima suapan makanan dari sang istri, tak terasa semua makanan telah habis. Keduanya kini beralih meminum minuman mereka berdua dalam hening, menikmati kebersamaan mereka dengan sangat tenang.
"Kamu senang?" tanya Gus Irham.
Ning Safa langsung mengangguk, "Senang sekali. Terima kasih, ya Mas."
Gus Irham mengangguk singkat, lalu mengecup pelipis sang istri. "Mas janji akan sering-sering ajak kamu main keliar nanti. Yang penting, kamu doakan supaya Mas tetap sehat, dan rezekinya lancar. Biar bisa mendampingi kamu terus, dan bawa kamu jalan-jalan kemana pun kamu mau."
Ning Safa mengangguk, ia menyandarkan kepalanya pada bahu sang suami. "Amiin. Amiin ya rabbal alamin."
Sore itu, mereka lewati dengan penuh kebahagiaan sampai kumandang adzan magrib menggema, keduanya lantas berjalan bersama menuju masjid yang tidak jauh dari posisi mereka. Sampai sana mereka terpisah, karena tempat wudhu dan area shalat laki-laki dan perempuan itu berbeda.
****
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin ❤️❤️
Huhu maafin banget baru bisa update, dan ngucapin sekarang. Riweuh banget karena masih suasana lebaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficção GeralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...