"Mbak Sita! Mbak Sita!!"
Sosok perempuan yang baru saja di panggil namanya itu menghentikan langkahnya. "Iya ada apa ya Gus?"
Kening Fikron mengerut, kenapa rasanya banyak sekali keanehan yang terjadi? Mulai dari Mbak Sita yang berpura-pura tidak melihatnya, dan tentang sosok Marshanda yang tidak terlihat mondar-mandir ke ndalem seperti biasanya.
Sekarang, Mbak Sita bahkan berbicara dengan datar kepadanya. Tidak seperti biasanya. Ada apa sebenarnya?
"Gus ngapunten, jika sekiranya tidak ada hal penting--"
"Mbak Marsha apa kabar? Saya kok jarang lihat Mbak Marsha ke ndalem?"
Mbak Sita tampak menghela napas, Gus Fikron ini apa tidak tahu jika sikapnya sangat membingungkan bagi Marshanda, ia bersikap baik seolah memberikan harapan lebih, namun kemudian ia menyakiti hati Marshanda hingga ke dasar paling dalam.
"Ngapunten Gus. Bukankah sikap Gus Fikron yang seperti ini, adalah salah?"
Salah?
Fikron kembali mengerutkan keningnya. Apalagi ini? Pikirnya. Ia sungguh tidak bisa mencerna maksud dari perkataan Mbak Sita ini.
"Apa toh maksudnya Mbak? Saya kok ndak paham." tanyanya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa rasanya Mbak Sita ini sangat berbelit-belit sih?
Mbak Sita menghela napas kesal.
"Hayoh! Ngapain sampeyan di dapur segala hah?" Ning Aila muncul begitu saja dan langsung menarik telinga kanan sang adik, hingga sang empunya mengeluh kesakitan.
"Kak! Aduuuh apa sih jewer-jewer?!" serunya kesal, tanpa ia sadar sang kakak memberikan isyarat kepada Mbak Sita untuk segera pergi dari hadapan Fikron.
Ia sebenarnya sejak tadi mencuri dengar pembicaraan mereka berdua. Jujur saja ia dari kemarin sudah gatal ingin menceramahi adiknya ini yang sudah mempermainkan perasaan perempuan itu semakin gatal rasanya. "Ayo sini kakak mau bicara sama kamu."
"Ya lepas dulu, jangan di jewer kupingnya Fikron Kak!!"
Huh!
Aila melepaskan tangannya dari telinga sang adik, ia menatap Fikron dengan garang karena adiknya itu sedang celingukan mencari Mbak Sita. "Ngapain kamu celingak-celinguk, hah?" katanya seraya mengusap kasar wajah sang adik.
"Kakak kenapa sih ih? Aneh banget, bawaan ngidam lagi pasti nih--awww--"
Fikron mengaduh saat pinggangnya mendapatkan cubitan maut dari kakaknya. "Iya memang. Bahkan kalau di turuti, kakak rasanya pengen makan kamu hidup-hidup. Rawwwrr!!"
Fikron merinding sendiri melihat kakaknya yang seperti itu. Jika di pikir-pikir kenapa sih dengan orang-orang hari ini? Kenapa semuanya tampak marah dan kesal kepadanya? Padahal seingatnya ia tidak pernah membuat kesal orang-orang.
Fikron dengan pasrah mengikuti langkah kakaknya yang membawanya ke teras samping rumah, dimana si kembar Fahmi dan Fahira tengah bermain bersama ayah, beserta kakek dan neneknya.
Ia dan sang kakak duduk di kursi taman di bawah pohon mangga yang lebat. "Jujur dari kemaren kakak pengen banget nampol kamu tau nggak!"
Fikron hanya menyimak, kepalanya mendadak pusing karena tidak mengerti dengan semua orang hari ini.
"Kamu belum cerita lho, soal jawaban Ning Safa semalam."
Fikron menghela napas. Ia meraba dadanya, tidak ada perasaan apa pun saat sang kakak menyebut nama perempuan yang semalam telah menolaknya. Atau, tanpa sadar sejak awal rasa yang ia miliki untuk Ning Safa adalah ketertarikan pada prestasi, dan sepak terjang anak sulung Ayah Malik dan Bunda Khilma, bukan cinta.
Bukan kah itu berarti, tanpa ia sadari sejak awal hatinya sudah tertambat kepada orang lain. Seorang perempuan yang selalu muncul di pikirannya, dan rasa ingin selalu bertemu dan melihat sosok itu.
Fikron mengangkat wajah, matanya menatap dedaunan yang rimbun. "Ya giti, Fikron di tolak Kak."
Aila menoleh menatap Fikron. "Di tolak?"
Tunggu, bukankah seharusnya adiknya itu bersedih karena penolakan Ning Safa, tapi kenapa wajahnya terlihat biasa saja?
"Fik?"
"Hm." Fikron bergumam, dan balas menatap sang kakak. "Kenapa sih lihat Fikron begitu?"
Aila tidak menjawab, ia justru malah menempelkan telapak tangannya pada kening sang adik. "Ndak panas kok. Sampeyan ini apa masih waras dek?"
Fikron terbahak. "Kakak ini kenapa sih? Dari tadi kok membingungkan sekali."
Aila berdecak setelah memukul bahu sang adik. "Yang membingungkan itu kamu lho. Kamu kok biasa aja sih setelah di tolak Ning Safa? Harusnya kamu tuh nangis, ngurung diri di kamar, mogok makan, terus---"
"Maaf ya, aku bukan kakak yang lebay nangisin Mas Rama. Dulu aja sok-sok nolak, giliran di tinggal Mas Rama aja nangis-nangis."
Aila mencebik mendengar ocehan sang adik yang menyindirnya karena kelakuannya dulu. "Heh! Kita lagi ngebahas kamu lho, kok malah jadi bahas Kakak sama Mas Rama!"
Fikron terbahak. Ya, kakaknya itu memang benar, alih-alih merasa bersedih, justru ada perasaan lain yang datang. "Selama menunggu jawaban Ning Safa, Fikron juga beristikharah Kak. Namun semakin hari rasanya perasaan Fikron kepada Ning Safa semakin samar. Justru, Fikron mendapatkan perasaan asing saat melihat Mbak Marsha, kak." Ia menghela napas. "Apa sebenarnya Fikron mencintai Mbak Marsha ya Kak?"
Mendengar naa Marsha, Aila jadi teringat dengan percapakan yang ia dengar kemarin malam. Tentang Marshanda yang juga menyimpan rasa pada Fikron.
"Kamu itu, kalau suka ya bilang toh. Jangan bikin perasaan anak orang terombang-ambing."
"Terombang-ambing piye toh maksudnya?"
"Lah, kamu apa nggak mikir kalau sikap kamu kemarin-kemarin itu kayak ngasih harapan palsu ke Mbak Marsha?"
"Ha--ha--harapan palsu? Apasih kak aku nggak ngerti."
Aila berdecak, ia lantas berdiri dari posisinya. "Pikir aja sendiri. Mbak mau mgasuh si kembar dulu."
"Kak! Kakak!" serunya, namun sang kakak sudah berjalan menghampiri si kembar.
Fikron menggaruk pelipisnya. "Apasih? Malah kabur, bikin bingung saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Genel KurguIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...