Gus Irham menatap pantulan dirinya yang sudah siap dengan beskap pengantin adat Jawa, lengkap dengan keris yang berada di bagian belakang tubuhnya. Tidak terasa hari yang di tunggunya sejak lama akhirnya tiba, hari ini ia akan mempersunting wanita yang sudah ia sukai sejak lama.
Ning Saffana Husna Gayatri, ya perempuan itu berhasil menarik dan memenjarakan hatinya untuk dirinya seorang. Ning Saffana Husna Gayatri sudah mengisi penuh hatinya sejak keduanya sama-sama kuliah dulu, siapa sangka pada akhirnya perempuan itu akan menjadi istrinya hari ini.
Perasaan senang membuncah di dalam dadanya, bunga-bunga bermekaran di dalam sana. Sungguh, tiada hari yang lebih membahagiakan dari hari ini bagi Irham Zaid Al-Fattah.
"Sudah siap, Nak?"
Gus Irham menoleh dan menemukan sang ibu yang mengenakan gamis syar'i berwarna cream dengan kain brokat berwarna putih yang menghiasi pakaian yang di kenakannya, lengkap dengan cadar berwarna senada.
Sang Ibu menghampiri, dan mengusap sisi wajah putranya yang tersenyum cerah, dan begitu tampan dengan setelan beskap adat Jawa yang di kenakannya. "Masya Allah. Tampan sekali anak Amih." ucapnya. Tidak menyangka jika hari ini tiba dengan cepat, Irham sudah dewasa dan akan mempersunting Ning Safa untuk menjadi istri sebagai pelengkap hidup, dan penyempurna ibadahnya.
Gus Irham yang melihat kedua mata ibunya berkaca-kaca, lantas meraih tangan Amihnya yang berada di sisi wajah, dan mengecup telapak tangannya. "Doakan agar semuanya lancar ya Mih." katanya.
Amih Ayana mengangguk. "Tentu sayang. Amih akan selalu mendoakannya."
Gus Irham menatap wajah sang ibu dengan berkaca-kaca, "Amih, terima kasih ya selama ini sudah menyayangi Irham. Maaf kalau Irham selama ini belum bisa membanggakan Amih, dan juga Abi."
Amih Ayana menghela napas. Menatap sang putra dengan lekat. "Kamu ini bicara apa toh. Kamu sudah cukup membanggakan untuk Amih, dan juga Abi. Wes sekarang ayo keluar dari kamar, Baba dan yang lain sudah menunggu di depan."
Gus Irham mengangguk, Amih Ayana memberikan kecupan pada kening putranya. "Semoga semuanya berjalan lancar." ucapnya.
Gus Irham tersenyum, seraya menggandeng tangan ibunya ia bergegas keluar dari kamar, benar saja semua keluarga besar keluarga Baba Ikmal sudah menunggunya dengan mengenakan dresscode berwarna senada dengan yang di kenakan Amihnya, si kembar juga mengenakan pakaian dengan warna senada.
"Waah akhirnya keluar juga. Gugup nggak, Ham?" Tanya Ning Aila dengan heboh.
Ah, Ning satu itu memang tidak pernah berubah. Masih saja berisik, padahal sudah mau punya tiga anak.
Gus Irham terkekeh. "Alhamdulillah enggak. Nggak tahu, kalau udah hadap-hadapan sama penghulu nanti." katanya seraya terkekeh.
Semua orang turut tertawa, Abi Zidan sendiri mengulas senyum tipis, ia dapat melihat aura penuh kebahagiaan yang terpencar dari wajah putranya yang sudah gagah dan siap untuk pergi ke kediaman Kyai Malik, melangsungkan akad nikah disana.
Ah, putranya tumbuh dengan begitu cepat, hingga tak terasa ia dan istri mengantarkan pria itu ke pelaminan. Rasa bahagia sungguh meliputi dadanya, Irham putra semata wayangnya sudah bahagia dengan pilihannya sendiri.
"Mau aku kasih jampi-jampi enggak Ham, supaya nanti nggak gugup lagi?" Itu adalah suara si usul Fikron yang lagi-lagi membuat suasana pagi di kediaman orang tua Irham begitu penuh keceriaan.
Si jahil itu sengaja membuat suasana ceria untuk mengusir rasa gugup yang di rasakan oleh sepupunya, karena ia pun pernah merasakan hal yang sama, gugup sampai jantungnya berdebar sangat kencang saat akan menuju hari yang sudah di tunggu.
"Sudah, sudah. Ayo kita berangkat, hari sudah siang." Lerai Baba Ikmal yang baru saja melihat arloji di tangannya dan menunjukkan pukul delapan pagi.
Akad nikah itu memang di laksanakan pukul sembilan pagi. Jarak tempuh dari kediaman Abi Zidan ke kediaman Ning Safa sekitar empat puluh menitan, jadi akad pada jam sembilan pagi sudah tepat.Amih Ayana, dan Abi Zidan satu mobil dengan Gus Irham dengan mobil yang di kemudikan oleh Kang Badru. Sementara Baba Ikmal satu mobil dengan Rama dan keluarga kecilnya. Fikron satu mobil dengan Ning Marshanda dengan mobil miliknya.
Sebagian santri putra, dan putri juga ikut dengan rombongan untuk memeriahkan acara pernikahan Gus Irham, sementara sebagiannya lagi tetap di pondok bersama abdi ndalem yang di percaya untuk menyiapkan serangkaian acara untuk penyambutan Ning Safa nanti.
Selama perjalanan, Gus Irham terus meremas jemarinya, semakin dekat dengan tujuan rasa gugupnya semakin besar, jantungnya juga semakin berdebar.
"Bismillah Nak, Insyaallah semuanya akan berjalan dengan baik."
Rupanya Abi Zidan terus memperhatikan gerak-gerik putranya yang duduk di bangku depan bersama Kang Badru yang sedari tadi lebih banyak diam. "Inggih Abi. Rasanya gugup sekali, sampai Irham ingin menangis." katanya yang mendapatkan kekehan pelan dari kedua orang tuanya.
"Abi juga mengerti, Abi juga dulu begitu. Apalagi Abi menyukai Amih dari lama, begitu Amih resmi bercerai, Abi langsung tancap gas. Takut terlambat lagi."
Amih Ayana berdeham, seraya memukul pelan bahu suaminya. Tanpa mereka ketahui, di balik cadarnya ada kedua pipi yang bersemu. Ah, suaminya ini selalu senang membuatnya tersipu malu.
Meski Gus Irham sudah mendengar cerita itu berkali-kali, ia sama sekali tidak pernah merasa bosan, karena ia kagum dengan ketulusan cinta yang di miliki oleh kedua orang tuanya sampai sekarang, meski usia mereka tidak lagi muda tapi ia masih bisa melihat cinta yang besar dari keduanya. Benar-benar definisi cinta sejati.
Ia berharap jika ia dan Ning Safa juga akan hidup langgeng bersama dengan cinta yang tidak pernah pudar sampai tua.
****
Dduuuuhh, siapa yang ikut deg-degan juga kaya Irham?
Makin gak sabar nggak sih nunggu akad nikahnya mereka? Hihi
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Fiksi UmumIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...