Kepergian Kyai Ikmal sekeluarga tentu menjadi pembicaraan para santri, apalagi mereka tahu jika Gus Fikron tengah dekat dengan Ning Safa, semua orang mulai berasumsi jika Gus Fikron akan melamar Ning Safa dan segera memperistrinya.
Marshanda dan Mbak Sita yang mendengar kabar itu tampak terkejut. Bagaimana tidak, beberapa hari ini Gus Fikron begitu sangat perhatian kepadanya, bahkan setiap hari membawakan makanan yang di titipkan kepada Mbak Sita.
Ada jarum tak kasat mata yang menusuk hati Marshanda. Bibir tipis itu tersenyum getir, memangnya apa yang ia harapkan? Ia berharap jika Gus Fikron tertarik kepadanya, begitu?
Marshanda menggigit bibir bagian bawahnya, menyadarkan dirinya untuk tidak boleh bermimpi bisa menjadi istri seorang Gus.
Sadar Marsha! Semua perhatian Gus Fikron selama ini hanya karena kasihan padamu. Tidak lebih!
Tapi rasanya kenapa begitu sakit? Apa yang selanjutnya harus ia lakukan dengan perasaan cinta yang rasanya tidak pantas untuk ia miliki ini. Jika di bandingkan dengan Ning Safa, tentu dirinya bukanlah apa-apa. Ia hanya santriwati biasa, yang bahkan baru menghafal 5 juz al-quran, belum mempelajari agama Islam dengan lebih mendalam. Bagaimana bisa ia memiliki perasaan cinta kepada Gus Fikron, orang yang jauh sekali dengan dirinya ini.
Mbak Sita menggenggam tangannya, kedua matanya menatap Marshanda dengan sendu. Marshanda balas menatapnya dengan air mata yang mulai turun membasahi wajahnya. "Sakit sekali rasanya Mbak. Tapi aku bisa apa?"
Mbak Sita mengerti, ia lantas memeluk Marshanda. Marshanda terus menyalahkan dirinya dan perasaan cinta kepada Gus Irham yang diam-diam menelusup dan mulai menguasai hatinya.
Ibarat langit dan bumi, ia dan Gus Fikron memiliki banyak sekali perbedaan dan tetap dilihat dari sisi mana pun, ia tidak pernah pantas jika bersanding dengan Gus Fikron.
"Aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Marshanda yang masih terisak di pelukan Mbak Sita.
Mbak Sita memberikan usapan menenangkan punggung Marshanda. "Menangis saja Sha. Tidak apa-apa, jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri, karena perasaan cinta yang datang di hatimu bukan karena keinginan hatimu. Sabar Sha."
Marshanda semakin menangis, tanpa mereka sadar, tak jauh dari tempat mereka berdua yang tengah berpelukan itu ada Ning Aila yang tidak sengaja mendengar semuanya. Ya, Aila dan Rama tidak ikut karena harus menjaga si kembar yang baru saja tertidur, niatnya datang ke kamar pondok Mbak Sita dan Marshanda karena sedang ingin memakan seblak buatan rumah.
Namun siapa sangka jika ia mendengar sesuatu yang mengejutkan dirinya. Marshanda menyukai Fikron? tanyanya dalam hati seraya mengerutkan kening.
Jika di pikir-pikir, tiada salahnya karena belakangan ini ia juga memerhatikan jika adiknya dan Marshanda cukup dekat setelah hari dimana Marshanda harus menerima kenyataan pahit tentang perceraian kedua orang tuanya, dan dirinya yang kini tinggal sebatang kara di pondok ini.
Bukankah yang salah dalam hal ini adalah Fikron? Adiknya itu seolah memberikan perhatian lebih kepada Marshanda, padahal Fikron dan Ning Safa mungkin saja malam ini akan melakukan lamaran setelah mendengar jawaban dari Ning Safa yang tertunda selama satu minggu ini.
"Ya Allah, Fikron! Apa yang kamu lakukan?"
Perempuam mana memangnya yang tidak akan menaruh hati pada laki-laki yang datang di masa terpuruknya, dan memberikannya perhatian-perhatian lebih.
Kalau begini, Fikron sudah keterlaluan. Ia telah mempermainkan hati perempuan sebaik Marshanda.
Aila menghela napas, kemudian bibirnya menarik senyum dan menghampiri kedua orang yang tengah berpelukan itu, seolah dirinya tidak tahu dan mendengar pembicaraan keduanya.
"Lho, Mbak Marsha kenapa Mbak Sita?" tanyanya.
Mbak Sita, dan Marshanda melepaskan pelukan mereka, keduanya tampak terlihat gugup Marshanda sendiri langsung menghapus air mata di wajahnya yang basah dengan telapak tangan. Melihat itu, Aila meringis di dalam hati, meruntuki kelakuan adiknya yang sudah keterlaluan menyakiti hati Marshanda.
"Um--anu, Ning--"
Aila meraih tangan Marshanda dan menggenggamnya. "Gapapa Mbak. Saya ngerti, berat sekali rasanya tinggal di pondok sendirian dan rindu dengan orang tua." Aila sengaja berkata demikian, sengaja agar tidak membuat perasaan Marshanda kembali bersedih.
Marshanda dan Mbak Sita saling bertatapan, sebelum akhirnya Marshanda mengulas senyum tipis. "Inggih Ning. Ah, kira-kira ada apa ya Ning Aila sampai datang kemari?" Tanya Marshanda.
Ning Aila, menepuk dahinya pelan. "Ah, iya. Mbak bisa bikin seblak ndak? Aku sama Mas Rama lagi pengen makan seblak nih." ucapnya.
"Saya kebetulan bisa Ning!" seru Marshanda, mengingat ia pernah membantu ibunya berjualan jenis makanan berbahan dasar kerupuk rebus itu.
Ning Aila tersenyum lebar, dengan kedua mata yang berbinar. "Waah. Kalau begitu, saya mau ngerepotin Mbak Marsha hehe. Mbak Sita juga boleh ikut bantu kok."
Keduanya mengangguk. "Ayo Ning!"
Ning Aila tersenyum, menatap Marshanda dengan sendu. Demi apa pun, ia akan membuat perhitungan dengan adiknya nanti mengenai luka yang di rasakan oleh Marshanda. "Ayo berangkaaaat!!" seru Aila, yang di akhiri dengan tawa yang menular kepada Marshanda dan Mbak Sita.
*****
Sementara itu, di hadapan cermin yang memantulkan tampilan dirinya yang sudah rapi dengan balutan hijab berwarna peach, yang di padukan dengan gamis berwarna senada. Suara deru mesin kendaraan yang memasuki pekarangan rumahnya sudah terdengar.
Ia meremat jemarinya yang saling bertaut, malam ini dengan penuh pertimbangan yang matang akhirnya ia memutuskan untuk bertemu dengan Gus Fikron beserta keluarga untuk mengutarakan jawaban yang sudah ia dapatkan melalui mimpinya yang semula menampakkan samar-samar wajah seorang laki-laki, akhirnya ia dapat melihatnya dengan jelas.
"Nduk, keluarga Gus Fikron sudah datang."
Saffana Husna Gayatri melihat sosok sang ibu yang terlihat di cermin dengan pintu kamarnya yang terbuka. Safa menghampiri sang ibu setelah menghela napas berat.
Jawabannya sangat rahasia, bahkan kedua orang tuanya juga tidak tahu tentang jawaban apa yang akan ia berikan kepada Gus Fikron.
"Jangan terlalu gugup. Yakinlah dengan keputusan Mbak."
Ning Safa mengangguk. "Inggih Bunda."
"Ayo, semuanya sudah menunggu." ajak Bunda Khilma, seraya menggandeng tangan putrinya.
"Bismillah dulu Mbak."
Ning Safa kembali mengangguk, mengucap lafadz basmallah sebelum akhinya ia berjalan bersama sang ibu untuk menemui keluarga Gus Fikron yang sudah menunggu kedatangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Fiksi UmumIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...