Irham tidak pernah sepenasaran ini sebelumnya. Ia tidak pernah ingin tahu hadiah apa yang di berikan Fikron kepada Ning Safa, tapi wajah senang Ning Safa membuatnya penasaran.
Kemudian tatapan matanya jatuh pada pergelangan tangan Ning Safa yang mengenakan sebuah gelang, hal yang baru pertama kali di lihatnya. Tidak ada jam tangan yang melingkar seperti biasanya, padahal Ning Safa sangat menyukai jam tangan, kenapa tiba-tiba memakai gelang?
Hatinya menjadi gelisah, ia memberikan Ning Safa kado berupa jak tangan serta gelang yang menurutnya cantik dan cocok untuk Ning Safa, namun gelang yang di kenakan Ning Safa itu bukanlah gelang pemberiannya, kalau begitu apakah itu dari Fikron?
"Gus, Ning, saya pamit ke toilet sebentar ya." Irham butuh waktu untuk menenangkan diri.
Ia sendiri bingung kenapa ia sampai tidak bisa mengendalikan perasaannya begini?
Setelah mendapatkan persetujuan dari mereka, Irham segera berjalan ke toilet. Ia perlu membasuh wajah, siapa tahu setelah itu pikirannya akan kembali tenang.
Sementara itu, Fikron sendiri merasa senang bukan main saat melihat gelang pemberiannya di kenakan oleh Ning Safa. "Syukurlah Ning, kalau Ning menyukai hadiah pemberian saya." Rasanya tidak sia-sia ia berkeliling di mall seharian untuk mencari kado yang cocok untuk orang yang diam-diam bersemayam di hatinya.
Ning Safa mengangguk. "Sekali lagi, matur nuwun saget ya Gus."
"Sama-sama Ning. Eh, kapan sampeyan mengisi kajian lagi?"
"Hm, minggu depan Gus. Tapi masih daerah masjid dekat dari sini kok. Kalau jadwal ke luar kota dua bulan lagi rencananya."
"Wah, materinya sudah di siapkan Ning?"
"Hm, materinya sudah di siapkan dari sekarang malah. Bagaimana pun, saya harus reset dengan melihat kitab, atau buku-buku. Memberikan materi dalam kajian ndak mudah Gus."
Fikron mengangguk. Ia tentu tahu itu, dirinya juga akan selalu melakukan hal yang sama jika ada undangan mengisi kajian, dan juga saat akan mengajar di pondok ia juga akan membaca ulang kitab dan buku sebelum mengajar para muridnya di pondok.
Tatapannya beralih kepada Khalisa, "Ning Khalis kalau tidak salah sudah semester akhir ya?" tanyanya.
Ning Khalisa mengangguk, wajahnya seketika berubah kesal. "Iya sudah tahap skripsi Gus. Tapi dosennya Khalis tuh resek banget, masa sampe sekarang Khalis masih stuck di bab 4. Suruh revisi terus, tapi nggak di kasih tahu salahnya dimana."
Fikron dan Ning Safa tertawa mendengar keluhan kesal yang di lontarkan oleh Ning Khalisa, di sertai wajahnya yang juga memberengut sebal setiap kali mengingat dosen pembimbingnya itu.
"Ya kamu apa nggak coba tanya ke dosenmu dek?"
Ning Khalisa berdecak. "Sudah Mbak. Tahu nggak jawabnya apa?"
Ning Safa menggeleng.
"Cari tahu saja sendiri. Baca ulang lagi tulisan kamu Khalisa!"
Ning Safa, dan Fikron kembali tertawa saat Ning Khalisa memarodikan cara bicara dan gestur tubuh dosen pembimbingnya yang selalu membuatnya malas dan sebal. Adik Ning Safa itu bahkan beberapa kali mengeluh malas untuk pergi ke kampus karena enggan bertemu dengan dosennya.
"Ya kalau kamu mau lulus, kamu harus tetep menghadapinya dek. Iyakan, Gus?"
"Benar." jawab Fikron seraya menganggukkan kepalanya.
"Tapi Mbak--Iissh pokoknya dosennya Khalis itu nyebelin bangeet ...."
Lagi-lagi keduanya tertawa, mengalirkan denyut nyeri pada sosok laki-laki yang hendak kembali bergabung. Salahkah ia merasa cemburu kepada Fikron, walau ia dan Ning Safa tidak memiliki hubungan apa pun?
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Ficción GeneralIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...