**Maafkan segala typo yang bertebaran. BELUM REVISI SOALNYA!!**
.
.
.Gus Irham menggandeng Ning Safa ke arah meja yang di gunakan saat akad tadi, keduanya duduk berdampingan dan menandatangani beberapa dokumen kelengkapan pernikahan sebelum akhirnya keduanya mendapatkan buku nikah masing-masing. Ayah Malik tampak menangis, melihat putri sulungnya yang kini sudah resmi di sunting orang.
Setelah melakukan foto dengan berbagai pose sesuai arahan photografer, keduanya berjalan bersama dengan saling bergandengan tangan ke pelaminan yang sudah di sediakan.
Pasutri baru itu duduk di kursi, bagaikan raja dan ratu. Mereka benar-benar sangat serasi, si cantik dan si tampan itu tampak sangat memukau di atas pelaminan.
Gus Irham sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya dari Ning Safa, bahkan bibirnya juga tidak berhenti tersenyum. Rasa bahagia benar-benar memenuhi seluruh rongga dadanya, Ning Safa sudah sepenuhnya menjadi miliknya.
"Cantik sekali." Bisik Gus Irham.
Wajah Ning Safa langsung memerah mendengar pujian itu, apalagi saat melihat wajah tampan suaminya dari dekat, ah benar-benar tidak nyaman untuk jantungnya. Ning Safa segera menundukkan kepalanya, menyembunyikan kedua wajahnya yang memerah. "Gombal banget iish."
Gus Irham menanggapinya dengan tersenyum lebar, si cantik yang dulu ia cintai secara diam-diam, dan ia sebut di setiap doanya benar-benar telah menjadi miliknya sekarang. Ia bersumpah, sampai kapan pun tidak akan pernah meninggalkan istrinya ini.
Ning Safa, terlihat sangat cantik dengan wajahnya yang bersemu. Ia jadi sangat gemas, dan ingin memeluknya saat ini juga. Tapi tidak bisa, karena mereka sedang menjadi tontonan umum, terlebih ada Fikron yang menatapnya dengan jahil, anak itu pasti akan mengejeknya karena sempat menangis saat Bunda Khilma menyerahkan Ning Safa kepadanya.
Satu persatu para tamu naik ke atas pelaminan, mengucapkan selamat dan beberapa dari mereka memberikan kado. Gus Irham sempat terkejut kala santri putra, dan santri putri turut memberikan kado pernikahan untuknya.
"Owalah, repot-repot segala di bikinin kado segal. Suwun nggih Mbak santri, Kang Santri." ucap Gus Irham, lalu mereka melakukan foto bersama, Amih Ayana, Abi Zidan, dan kedua orang tua Ning Safa juga ikut berfoto sebelum para santri memutuskan kembali ke pondok setelah selesai makan.
"Nikah itu enak lho Gus."
Nah, Gus Irham memutar kedua bola matanya. Benar, kan si bungsu putra Baba Ikmal itu mulai menyeletuk aneh-aneh. Sedangkan Ning Marshanda memilih duduk bersama Ning Safa seraya mengambil beberapa foto selfie, keduanya sama-sama enggan melihat kelakuan para suami mereka yang sepertinya sebentar lagi akan beradu mulut.
Gus Irham melotot, saat sepupunya itu memasukkan sebuah papper bag kecil kepadanya. Benar-benar sangat mencurigakan sekali.
"Nggak mau. Aku nggak mau terima kado dari kamu. Pasti isinya aneh-aneh."
Fikron tertawa, nah itu malah membuat Gus Irham semakin yakin jika isi kado yang di berikan oleh Fikron berisi barang-barang yang aneh.
"Nggak boleh su'udzan lho. Siapa tahu, aku ngasih kamu kado kunci mobil."
Gus Irham mencebik. "Heleh mana mungkin."
"Hiih dasar. Ini ambil dulu!" seru Fikron.
Dengan wajah kesal, dan malas Gus Irham merebut paper bag dari tangan Fikron dengan kasar. "Makasih banyak."
Fikron tertawa, dan menepuk bahunya. "Nah gitu dong dari tadi."
Gus Irham memutar kedua bola matanya. "Yo wes, sampeyan mening turun lagi sana. Lama-lama liat muka sampeyan bikin darah tinggi."
Fikron mendengkus, "Ayo Yang, kita pulang duluan. Disini pengantinnya nggak ramah!" serunya.
Ck, ck. Ning Safa dan Ning Marshanda hanya menggelengkan kepala mereka melihat kelakuan para suami mereka. "Ning, pamit ya. Baba sama Umi kayaknya ndak langsung pulang sekarang deh. Aku sama Mas Fikron sementara mau handle pondok dulu." papar Ning Marshanda.
Ning Safa mengangguk. "Inggih. Hati-hati ya, makasih juga sudah datang dan kasih kado hehe." Ning Safa, dan Ning Marshanda tampak saling berpelukan.
"Sama-sama Ning."
Setelah itu, keduanya pamit dan mulai meninggalkan area pesta pernikahan Gus Irham dan Ning Safa.
*****
Sebelum adzan dzuhur, kedua mempelai itu turun dari panggung pelaminan, keduanya kini tengah berada di ruang tamu kediaman keluarga Ning Safa. Gus Irham dan Ning Safa tampak duduk saling berhadapan, dengan Gus Irham yang memegang satu piring penuh berisi nasi dan beberapa jenis lauk yang di ambilkan oleh Ning Aila.
"Cuma satu, Gus?" tanyanya.
Gus Irham mengangguk. "Iya, Aila cuma ambilin makan satu piring doang. Tapi kayaknya sengaja deh, soalnya piringnya sampe penuh begini." katanya seraya terkekeh pelan.
Ning Safa menggigit pipi bagian dalamnya. Itu berarti ia dan Gus Irham akan makan satu piring, dan satu sendok juga mengingat Gus Irham hanya memegang satu sendok.
"Sendoknya juga?" tanyanya refleks.
Ah, Gus Irham langsung menatap sendok yang berada di tangannya. Benar, hanya ada satu sendok, lantas bagaimana dong?
Gus Irham berdeham, "Nanti deh, aku coba minta ke Aila sendoknya."
"Eh, mau kemana?"
Gus Irham menghela napas, panjang umur sekali, pikirnya. Ning Aila tiba-tiba muncul bersama Fahira yang sudah berganti pakaian dengan baju biasa, yang terlihat nyaman untuknya.
"Minta tolong ambilin sendok lagi dong." kata Gus Irham.
Ning Aila berdecak, pasutri baru ini kenapa sih? Ia kan sengaja agar mereka bisa makan sepiring berdua, dengan sendok yang sama, saling suap-suapan gitu lho. Tapi, malah mereka kok nggak peka sekali, ck!
"Nggak ada! Sendoknya di pake semua, sisa itu doang satu. Ya udah sih, kalian itu udah sah, mau satu sendok berdua, atau saling cium jua boleh. Udah halal kok, nggak bakalan dosa!"
Duuh, Ning Safa dan Gus Irham menggerutu di dalam hati. Ning Aila ini benar-benar terlalu blak-blakan. Mereka kan jadi maluuuu.
"Wes, tinggal makan doang kok repot." Sifat emak-emak nya Aila muncul. "Makan dulu, nanti keburu shalat dzuhur terus nanti pingsan pas di dandanin lagi gara-gara enggak makan dari pagi!!"
Ah, lihatlah ibu dari si kembar itu menatap keduanya dengan tajam. Gus Irham berdeham, dari pada omelan Ning Aila semakin merembet kemana-mana ia memilih unguk segera makan.
"Bismillah .... " gumamnya, lalu ia mengarahkan sendok berisi makanan ke hadapan bibir Ning Safa.
Ning Safa sebenarnya gugup setengah mati, agak malu juga. Tapi keberadaan serta tatapan tajam Ning Aila kepada mereka berdua, akhirnya membuatnya memutuskan untuk membuka mulut dan membiarkan Gus Irham menyuapinya.
"Nah, gitu. Coba kalau dari tadi, udah habis dari tadi juga." kata Ning Aila yang membuat kedua pipi pasangan baru itu memerah.
Mereka sama-sama berpikir, jika makan dengan satu sendok yang sama, itu berarti mereka sedang berciuman secara tidak langsung melalui sendok tersebut.
"Aku sama Ira mau tetep disini. Mau ngawasin kalau kalian beneran ngabisin makannya. Pamali, nggak boleh buang-buang makanan." Katanya. Modus, padahal sengaja ingin mengerjai pasutri baru yang masih tampak malu-malu.
Aila tertawa dalam hati, senang sekali rasanya bisa menggoda mereka berdua. Haha.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
General FictionIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...