"Amih?"
Irham yang baru saja keluar dari mobilnya terkejut saat melihat sang ibu yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang merentang. Irham tersenyum tipis, dan memeluk sang ibu dengan erat.
"Sudah tenang nak?" tanyanya seraya mengusap punggung putranya. Meski ia mengatakan akan membiarkan putranya menenangkan diri, ia tetap merasa cemas khawatir terjadi sesuatu yang tidak-tidak kepada putra semata wayangnya.
"Irham cuma perlu pelukan Amih kok."
Amih Ayana mengeratkan pelukannya dengan sang putra. Irham ini memang tipe orang yang agak manja, mungkin karena anak tunggal, yang terbiasa menerima banyak limpahan cinta dari kedua orang tuanya.
"Lho? Sudah pulang Ham?"
Irham mengangkat wajahnya yang semula berada di bahu ibunya, dan menemukan sang ayah yang berdiri beberapa langkah dari posisinya dan sang ibu yang sedang berpelukan.
"Abi."
Abi Zidan mengangguk, Irham melepaskan pelukannya dari sang Ibu, dan menyalami punggung tangan sang ayah dengan khidmat. Abi Zidan mengusap pucuk kepala Irham, tidak terasa putra tunggalnya ini sudah tumbuh menjadi anak yang patuh, dan pandai. Di usia mudanya sudah berhasil menambah beberapa cabang usahanya. Ah, rasanya baru kemarin ia dan Ayana bergantian merawat Irham kecil yang selalu menangisi kepergiannya setiap kali pergi bekerja.
Kini anak semata wayangnya ini telah dewasa, dan mungkin akan segera menikah. "Sudah tenang toh?" Sang Abi menanyakan hal yang sama seperti Amihnya.
Irham terpaksa mengangguk.
"Yo wes, mandi dulu. Setelah itu, kita jamaah ke masjid. Ada hal penting yang mau Abi bicarakan sama kamu."
Dengan kening yang mengerut, Irhan menatap sang Abi. "Hal penting apa Bi?"
"Ayo masuk dulu, sebentar lagi magrib."
Amih Ayana mengingatkan ayah dan anak itu untuk masuk ke dalam rumah karena hari sudah hampir magrib. Abi Zidan juga menahan apa yang ingin di katakannya kepada sang putra.
Benar saja, tak lama suara adzan terdengar dari masjid di ponpes Al-Hikmah. Irham sendiri bergegas mandi, dan menyusul Abinya untuk melakukan shalat berjamaah di masjid. Perasaannya sendiri masih belum membaik, namun sebisa mungkin ia menahan itu di hadapan kedua orang tuanya, agar mereka tidak khawatir.
"Nanti Abi, sama Irham izin pulang agak malam ya. Abi sama Irham butuh waktu berdua dulu Mi." ucap Abi Zidan kepada sang istri saat berpamitan untuk menuju ke masjid.
"Mas, bicara pelan-pelan sama Irham ya. Kalau Irham nggak mau jangan di paksa, jangan membebani Irham dengan hal 'itu' ya Mas."
Abi Zidan mengangguk. "Iya sayang. Mas nanti akan coba bicara pelan-pelan dengan Irham. Ya sudah, Mas pamit dulu ya."
"Iya Mas.”
"Assalamualaikum." pamitnya.
"Waalaikumussallam."
Ayana memilin jemarinya, perasaannya menjadi cemas. Apakah ini sudah saat yang telat untuk berbicara dengan Irham soal 'itu', sedangkan ia tahu jika perasaan Irham sedang kurang baik.
"Ya Allah, semoga pembicaraan Mas Zidan dan Irham berjalan baik, dan tidak membebani Irham." gumamnya, lalu ia kembali ke kamar, dan lantas berwudu untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim.
*****
Shalat magrib berjamaah sudah selesai, namun ayah dan anak itu masih berada di dalam masjid, tengah sama-sama berzikir dan mengucapkan doa serta harapan, juga pengampunan untuk diri mereka beserta keluarganya.
Setelah selesai, Abi Zidan memberi kode agar putranya itu mengikuti langkahnya untuk duduk di sebuah kursi panjang di taman pondok pesantren. Beberapa santriwati dan santriwan menunduk serta mengucap salam ketika berpapasan dengan mereka berdua.
Keduanya kini duduk di kursi taman tersebut, seraya menatap para santriwan, dan santriwati yang berlalu lalang sembari membawa alquran menuju ke masjid untuk laki-laki, dan perempuan ke ndalem.
"Apa yang mau Abi bicarakan?" tanya Irham yang memecah keheningan yang mendera keduanya.
Abi Zidan menghela napas, lalu menoleh menatap sang putra yang tahun ini berusia 28 tahun. "Ham, apa pun yang akan Abi katakan sama kamu nanti, tolong jangan jadikan beban ya. Abi tidak akan menekan kamu untuk melakukannya, kamu boleh menolak jika memang tidak ingin. Abi, dan Amih akan mengikuti apa pun keputusan kamu."
Irham balas menatap sang Abi, yang terlihat sangat serius. Hal apa kira-kira yang akan di katakan oleh Abinya ini?
"Bagaimana dengan Ning Jihan?"Di terangnya lampu taman, Abi Zidan dapat melihat kerutan pada kening sang putra.
Irham tentu sangat mengenal sosok Ning Jihan, putra Kyai Mahfud pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda, tempatnya mondok saat di bangku SMA, tentunya bersama dengan Fikron juga.
Kyai Mahfud juga sering berkunjung ke rumah untuk bertemu dengan Abinya. Tapi kenapa Abinya membahas Ning Jihan?
"Kenapa tiba-tiba bahas Ning Jihan, Abi?"
Siapa memangnya yang tidak mengenal Ning Jihan, sosok cantik yang pandai memanah, dan berkuda itu? Si cantik dengan segudang prestasi itu namanya juga cukup terkenal, apalagi ia sering menerima endors dan mereview produknya dengan jujur. Kadang juga memberikan kajian-kajian melalui siaran langsung di akun sosial medianya. Sama seperti Ning Safa, Ning Jihan juga di idolakan oleh banyak kaum milenial.
"Kyai Mahfud berniat ingin menjodohkan kamu dengan Ning Jihan."
Deg!
Kenyataan macam apa ini? Ia mencintai Ning Safa, menyebut namanya di setiap malam, tapi kenapa justru orang lain yang akan ia dapatkan?
Apakah doa, serta usahanya kurang kuat? Apa ia kurang berjuang?
Irham mengepalkan tangannya. Ia mencintai Ning Safa sejak dulu, mana mungkin ia bisa menikahi orang lain? Jika sampai terjadi pun, ia hanya akan melukai hati wanita yang akan menikah dengannya karena perasaannya sudah habis untuk orang lain.
Abi Zidan membuka kopiah hitam yang di kenakannya. "Abi, dan Amih tidak mengiyakan. Abi hanya bilang, akan membicarakannya dulu dengan kamu."
Irham tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hatinya terasa sangat sesak sekali.
"Ham, seperti yang sudah Abi katakan sebelumnya, Abi dan Amih tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau, kamu bisa menolak." ucapnya seraya menepuk bahu sang putra."Jangan jadikan ini beban untuk kamu. Ingat, Abi dan Amih akan mengikuti apa keputusan kamu. Urusan Kyai Mahfud, biar Abi yang mengatasinya, kamu jangan khawatir." imbuhnya.
Irham masih enggan membuka suara. Dirinya terlalu terkejut dengan semuanya, bukankah jika ia menolak nama baik Abinya yang akan di pertaruhkan?
"Irham boleh minta waktu untuk memikirkan semuanya Bi?"
Abi Zidan mengangguk, kembali menepuk bahu putranya. "Boleh nak. Tapi ingat, kamu harus jujur dengan perasaanmu sendiri ya."
Irham mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
Fiksi UmumIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...