GARIS TAKDIR || 41

1.7K 142 7
                                    

Ning Marshanda mengepalkan kedua tangannya yang bergetar dengan hatinya yang  tentu saja sangat terluka dengan sikap dan perkataan suaminya barusan. Marah-marah nggak jelas katanya?

Ia ingin sekali bertanya, bagian mananya ia marah-marah kepada suaminya tersebut? Ia hanya bertanya satu kalimat, tapi suaminya malah membalasnya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan.

Bibirnya bergetar, bagaikan mimpi di siang bolong, ia yang begitu mendambakan dan berpikir jika Gus Fikron adalah suami dan laki-laki yang tepat untuknya. Laki-laki yang tidak akan seperti ayahnya, nyatanya semua itu hanya angan-angannya belaka.

Gus Fikron dan ayahnya adalah laki-laki yang sama. Laki-laki yang hanya baik di awal saja, seperti yang ayahnya lakukan dulu kepada ibunya.

Ning Marshanda memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Ia ingin menangis, namun ia menahannya. Ia memilih beranjak ke atas ranjang, dan berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh wajahnya hingga ke wajah, posisinya juga berbalik miring ke arah lain, bukan menghadap ke tempat suaminya tidur seperti biasanya. Biarlah, malam ini ia akan tertidur dengan hati yang sesak.

Cklek

Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, memunculkan sosok Gus Fikron yang sudah berganti pakaian. Ia menghela napas melihat sang istri yang sudah berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

Ia lantas berjalan, berlutut di depan sang istri yang sepertinya sudah terlelap. Ia menyingkap selimut yang menutupi wajah istrinya, menatapnya dengan dalam dan mengusap kening istrinya dengan lembut. "Maaf .... " Ia sadar, jika dirinya telah membentak istrinya.

Istrinya itu pasti sangat sedih dan sakit sekali hatinya. "Maaf ya sayang .... " Gus Fikron menyesali perbuatannya, seharusnya ia tidak melampiaskan semuanya kepada istrinya yang tidak tahu apa-apa tentang masalah yang di hadapinya seharian ini di pondok.

Selain karena sibuk mempersiapkan acara kenaikan kelas, pondok juga sedang di hebohkan dengan adanya pencurian uang beberapa santri putra, juga ada beberapa santriwati yang ketahuan mengendap-ngendap keluar dari pondok di malam hari untuk bertemu laki-laki yang merupakan kekasih mereka.

Permasalahan hari ini benar-benar sangat pelik, hingga pihak pondok terpaksa dan berat hati, memulangkan para santriwati yang bermasalah itu ke orang tua mereka. Sementara untuk pelaku pencurian, mereka semua masih belum mendapatkannya. Mungkin malam ini akan di adakan jaga keliling di pondok putra.

Ia memang mengaku sangat lelah, sampai tidak memedulikan ponselnya yang di mode silent tang selalu ada di saku celana bahan yang di kenakannya hari ini. Ia benar-benar sangat sibuk, mengingat ia harus bertanggung jawab penuh atas pondok menggantikan Babanya yang sudah menua, meski begitu Babanya masih turun tangan untuk membantunya mengurus pondok.

Gus Fikron menghela napas, memberikan kecupan pada kening istrinya, dan membaringkan tubuhnya ke atas ranjang menghadap sang istri yang memunggunginya, dan lantas memeluknya.

*****

Gus Fikron tahu, jika kesalahannya semalam sudah begitu sangat fatal. Sejak subuh tadi, istrinya itu tidak banyak bicara, meski masih menjalankan kewajibannya dengan menyiapkan segala keperluannya, memasak, dan mengambilkan makan untuk sarapannya saat sarapan bersama di ruang makan, tapi tetap saja cukup membuat Gus Fikron ketar-ketir.

Ini jelas konsekuensi yang sangat berat baginya.

Masalahnya bukan itu saja, istrinya itu bahkan tidak mau menerima sentuhannya, selain bersalaman saat dirinya pamit pergi ke pondok. Ia juga sudah mencoba untuk menjelaskan, namun sepertinya istrinya itu sudah tidak berminat mendengarkannya.

"Saya juga izin ke pondok Gus. Kangen sama Mbak Sita." Katanya setelah menyalami punggung tangan Gus Fikron.

Gus Fikron mengerutkan keningnya. "Yang? Kok panggil Gus lagi, sih?"

Ning Marshanda masih menunjukkan wajah datar. "Kenapa? Keberatan? Saya juga nggak protes tuh, waktu njenengan bentak-bentak semalem."

Gus Fikron menghela napas, dan menatap istrinya memelas. "Yaaang .... "
Ning Marshanda tidak menggubrisnya, sebaliknya ia langsung berjalan meninggalkan suaminya yang langsung mengekor di belakangnya. "Yang, plis. Jangan gini, Mas udah minta maaf dan jelasin juga."

Namun lagi-lagi sang istri sudah terlanjur ngambek. "Yaaang .... " Sungguh, mungkin jika di lihat oleh mata orang lain, pasangan ini sedang bercanda seraya beradegan India yang terlihat romantis, padahal Ning Marshanda sedang ngambek dan mendiamkannya sejak subuh tadi.

"Apa sih Gus."

"Yaaang .... " Gus Fikron mengusap wajah, dan meraih kedua tangan istrinya dan mengecupnya. "Jangan gini Yang. Iya mas minta maaf, Mas yang salah. Mas--"

"Sudah ya Gus. Malu lho di liat orang. Saya mau ke Mbak Sita, mau sekalian belajar dulu. Maklum, suami saya kan sibuk banget, saya nggak mau ganggu takut kena semprot lagi." Ning Marshanda sengaja menekankan dua kata itu, menyinggung suaminya yang semakin mencebik.

"Astagfirullah, Yang .... "

Gus Fikron benar-benar kehabisan ide untuk membujuk istrinya, kakaknya pasti senang ini melihatnya menderita begini karena sejak setelah sarapan kakaknya itu tertawa dan mengejeknya. "Sukurin haha. Cewek kalau ngambek beuuuh jangan harap bisa cepet Maafin kamu."

Dan ucapan kakaknya itu benar.

"Sudah ya, saya mau ketemu Mbak Sita."

Gus Fikron masih menatap istrinya dengan memelas. "Yang .... "

"Assalamualaikum!"

Lihatlah, istri kecilnya itu langsung mengacir meninggalkannya yang bahkan baru membuka mulut untuk menjawab salamnya. Ya Allah, Gus Fikron benar-benar frustrasi karena kelakuan istrinya yang tiba-tiba seperti itu.

Tanpa keduanya sadari, ada seorang wanita bercadar yang diam-diam menggeram kesal dan mengepalkan tangannya. Seharusnya pasangan itu sedang bertengkar, tapi kenapa justru terlihat malah semakin romantis, Gus Fikron juga semakin menempel kepada Marshanda.

Sial! Cara apalagi yang harus ia lakukan untuk menghancurkan hubungan mereka?

*****

Sukurin Haha. Emang enak di cuekin istrinya sendiri haha 🤣

GARIS TAKDIR  [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang