When They're not at Home

51 3 0
                                    

"Kakak di kafe sampai sore, dong? Aku bawa kunci rumah sekalian deh kalau gitu." Soka mengambil set kunci rumah. 

"Biar kakak aja yang kunciin semuanya nanti. Kamu langsung berangkat aja sana," ucap Brina yang juga tengah bersiap untuk berangkat bekerja.

Soka pun segera bergegas berangkat ke sekolahnya. Sementara Brina masih sibuk untuk menyiapkan pakan kedua kucing kesayangannya dan juga mengecek satu persatu pintu dan peralatan rumah yang tersambung listrik atau api. Setelah merasa aman, ia pun merasa siap untuk berangkat bekerja dan mengunci pintu depan rumah itu.

***

"Ini benar sudah aman?" anak lelaki berambut panjang celingukan melihat sekitar rumah.

"Pakai dulu bajumu, bodoh," ujar anak lelaki lain yang memiliki tindik berbentuk jarum di telinganya. Ia melempar baju ke arah yang berambut panjang tadi.

Keduanya celingukan dan memastikan tidak ada kemungkinan Brina atau Soka kembali dalam waktu dekat. Keduanya akhirnya merebahkan diri mereka di karpet ruang tengah. Tingkah mereka seperti kucing yang merasa sangat senang. 

"Makanan yang dibeli Brina memang enak, tapi aku suka makanan manusia. Apa Brina menyimpan sesuatu di kulkasnya?" tanya yang berambut panjang lagi.

"Jangan ambil makanan sembarangan, Brina nanti tahu kalau ada yang mencurinya." tegur lelaki bertindik. 

"Aku lapar, Hani." yang berambut panjang tadi merajuk.

"Sebentar," ucap lelaki bertindik yang dipanggil Hani. Ia mengambil dua bungkus mi instan dalam cup yang tersimpan di sebuah kotak. "Brina dan Soka bahkan tidak pernah tahu ini ada di sana. Makan ini saja. Kita masak airnya di dapur, bereskan semuanya kalau selesai." 

Tak mendapat respon, Hani menepuk dahinya ketika menyadari Temannya malah sibuk dengan gulungan benang wol. "Bani?" panggilnya pelan.

"Nanti aku yang buang sampahnya."

"Baik kalau itu maumu."

Tak banyak obrolan yang keluar dari mulut kedua pria muda yang sibuk menyiapkan makanan yang mereka sebut 'makanan manusia' itu. Ya, dua pria muda itu tak lain adalah Hani dan Bani, dua kucing yang amat sangat disayangi oleh Brina dan Soka. Candaan mereka berdua masih tak begitu jauh dari kebiasaan mereka sebagai kucing.

"Hani, apa kamu ingat nama manusiamu sebelum diubah jadi kucing?" tanya Bani, yang berambut panjang.

Yang ditanya menggeleng, Hani membalas hanya dengan menunjuk balik Bani, responnya juga sama. Bani hanya menggeleng dan mengerucutkan bibirnya.

"Ingin rasanya ingat nama kita saat lahir dulu. Tapi penyihir sialan itu malah mengutuk kita entah apa alasannya dan membawa kita ke sini. Kau lahir di Seoul, Korea Selatan, kan?" celetuk Hani.

"Ya, tapi aku besar di Ulsan, kau lahir dan tinggal di Ilsan, kan?" Bani menebak.

"Benar, tapi entah kenapa rasanya kalau kita bisa kembali pun, orang tua kita tak akan ingat siapa kita." keluh Hani.

"Beruntung kita ditemukan oleh Brina dan Soka yang mau dan mampu merawat kita. Makanan kucing yang dibeli Brina enak dan lihat, rambutku tumbuh dengan bagus karenanya." Bani memegang rambutnya yang agak panjang. 

"Aku ingin tanya pendapatmu soal laki-laki yang mengantar Brina beberapa hari lalu. Menurutmu, dia benar-benar baik, kan?" Hani bertanya.

"Laki-laki yang man—oh ... Sadam?" Bani sedikit terbata karena hampir lupa nama laki-laki dewasa yang mungkin umurnya tak jauh dari umur manusia mereka. 

Hani mengangguk. Ia menunggu jawaban Bani sembari menuang air panas ke cup berisi mi yang juga sudah dituang bumbu. Ia menutup segel yang memang hanya dibuka setengah dengan mengganjalnya menggunakan garpu lipat bawaan mi instan tersebut. Hani sempat menaikkan alisnya seakan menunggu jawaban Bani, sayangnya, Bani sendiri masih bingung apa yang harus ia katakan.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang