Sadam sengaja menjenguk Brina hari itu. Ia hanya ingin tahu perkembangan kondisi orang yang ia anggap sebagai kekasihnya. Sadam bersyukur karena kondisinya semakin membaik meskipun Brina hanya banyak berdiam diri di kamar. Brina tak lagi mengeluhkan demam tinggi dan beberapa bagian tubuhnya yang kemarin terasa kaku dan nyeri juga berangsur membaik. Brina sangat-sangat berterima kasih pada Sadam yang telah mengantarnya ke dokter. Kalau saja Brina menolak pun, mungkin kini Brina terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan kritis.
"Brina, aku tahu kayaknya kamu bakal bosen kalau aku bawain donat kesukaan kamu dari kafe terus. Hari ini aku bawa cromboloni sebagai gantinya." Sadam meletakkan sekotak cromboloni di nakas samping tempat tidur Brina.
"Enggak usah repot-repot, lagian yang makan juga bukan aku. Aku cuma icip sedikit terus dihabisin sama Soka. Makan sedikit aja rasanya kenyang, kak. Belum lagi kalau enggak cocok, aku bisa muntah. Sampai sekarang masih kayak gitu." Brina bercerita.
"Ada masalah apa lagi sama badan kamu? Mau aku anter kontrol?" Tanya Sadam.
"Kayaknya enggak usah deh kak ... Emang mulut sama perut aku yang agak sensitif selama sakit." Brina menolak ajakan Sadam.
"Ya udah kalau gitu, Adik kamu pulang jam berapa biasanya? Aku temenin sampai adik kamu pulang nanti." Sadam menawarkan.
"Kafenya gimana? Karyawan ga ada yang ngawasin?" Brina khawatir dengan kafe yang ditinggal oleh Sadam.
"Ada Rendi. Selain kamu, aku udah cukup percaya sama dia buat awasin temen satu shiftnya. Jangan khawatir, di masa yang akan datang kita bakal urusin kafe itu gantian." Sadam berniat menggoda Brina.
"Apa sih ... " Brina mengerucutkan bibirnya gemas.
"Aku serius loh, sayang."
Kucing-kucing kesayangan Brina mengeong tiba-tiba. Brina terkejut karena kedatangan dua kucingnya itu langsung membuat Sadam agak menjauh.
"Hei, kalian kenapa? Kalian suka dengan mesin makanan otomatis kalian yang dibelikan kak Sadam, kan? Sudah kenyang?" Brina mengelus dua kucingnya itu ketika mereka naik ke pangkuannya.
Dua kucing itu kompak menoleh ke arah Sadam dan mengeong. Seperti ingin mengucapkan terima kasih.
"Mereka paham?" Sadam agak bergidik.
Brina terkekeh. Ia membiarkan dua kucingnya itu berlari keluar lagi. Brina tahu ini jamnya mereka tidur.
"kak, aku ngantuk, kakak enggak apa-apa kalau aku tidur?" Brina mengeluh.
Sadam mengangguk, ia malah membantu Brina memposisikan dirinya agar nyaman saat tertidur. Tangannya terus menggenggam jemari Brina yang tampak kurus. Sadam khawatir karena Brina ternyata kehilangan berat badannya semasa sakit. Sadam bertekad untuk terus mendampinginya hingga ia kembali sehat.
Sadam melihat wajah Brina yang mulai terlelap. Ia terkekeh karena membayangkan ketika ia telah menikahi perempuan di hadapannya itu.
"Jadi ini wajah yang akan aku lihat setiap hari nantinya?" Gumamnya. Dengan sadar, Sadam mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Brina.
"Miaw." Kucing berbulu pendek tiba-tiba masuk dan mengejutkan Sadam. Sadam berusaha tak takut ketika kucing itu naik ke pangkuannya. Ia dengan ragu mengelus punggung kucing itu yang malah membuat Hani makin betah berada di pangkuannya.
Sadam sempat memegang charm yang tergantung di kalung kucing itu. Hani, yang tertulis di sana.
"Hai, Hani. Kamu suka dengan mesin makanan otomatisnya, kan? Maaf sebelumnya aku membelikan itu agar Brina tak lagi terpikir untuk memberi kalian makan di saat dia sakit seperti ini. Bani masih penasaran dengan mesinnya, ya?" Sadam berusaha mengaak kucing itu bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Lucks
FantasyKucing hitam membawa sial? Itu hanya Mitos. Kedatangan kucing hitam di kehidupan Brina dan adiknya mengubah semuanya menjadi lebih berwarna. Banyak kejutan yang dua kucing itu hadirkan di tengah sunyinya rumah kecil itu. Menghadirkan banyak cinta da...