Paw Paint

42 5 0
                                    

Brina membuka kotak catnya. Ia mulai membuat sketsa lukisan yang akan dipajangnya. Ia juga menaruh kopi di sampingnya untuk menemaninya mengerjakan lukisan itu. Brina sempat merasa terganggu karena Hani, kucingnya masuk dan mengeong tanpa henti. Terutama ketika kucing itu menangkap keberadaan gelas kopi hitam di meja proyek. Brina hanya tertawa kecil dan membuat kucing itu terdiam dengan memberinya makan hingga kenyang dan tertidur.

Semakin hari, Brina memang merasa sedikit aneh dengan kucing yang satu itu. Tingkahnya yang mulai banyak mengomel dan sedikit jahil. Semakin mirip dengan manusia. Berbeda dengan Bani yang tingkahnya memang seperti kucing pada umumnya.

Ia kembali fokus ke kanvasnya dan  mulai menggoreskan kuas. Pesan yang ingin ia sampaikan mengenai kopi cukup kuat. Warna yang dipilihnya dominan kecokelatan. Brina puas dengan goresan tipis yang dibuatnya dengan cat akrilik itu. Sembari menunggu kering dengan meletakkannya, Brina menghampiri Hani yang tidur di atas tempat tidur khusus kucing. 

"Kalau kamu manusia, aku yakin kamu bakal lebih berisik ngingetin aku soal kopi. Maaf ya?" Brina mengusap tubuh kucing itu. 

Hani merenggangkan tubuhnya dan menguap karena terbangun. Ia menjilat telapak kaki depannya sebelum beranjak dan merenggangkan tubuhnya lagi. Ia berjalan mendekati lukisan yang masih setengah kering dan tak sengaja menyentuhnya. Kaki depan itu lantas menginjak bagian kanvas yang masih putih. Jejak kaki Hani tercetak jelas di sana.

Brina nyata ingin berteriak. Lukisan itu ternoda oleh jejak kaki Hani. 

"Miaw" terdengar suara Hani yang tahu kalau Brina agak kesal.

"Aku tak mungkin marah padamu, kamu hanyalah kucing. Tak apa, aku akan membereskannya nanti. Kemarikan kakimu, sebelum catnya membekas di mana-mana." Brina mengambil selembar kertas tisu dan mengusap telapak kaki kucing itu dengan hati-hati. 

"miaw" Hani terdengar menyesal.

"Tidak, aku tidak marah padamu." Brina mengusak kepala kucing itu gemas. "Oh astaga, kamu semakin paham bahasa manusia, ya? Lucunya." Brina gemas dengan Hani dan menciumnya.

Brina menatap kucing itu dan sempat terkejut dengan refleknya sendiri. Ia takut kalau setelah mencium kucing itu lalu berubah menjadi manusia. 

"Sebentar ..." Brina akhirnya melihat lagi lukisannya. 

"Apakah memang harusnya aku memanfaatkanmu? Paw-mu sama sekali tidak merusak estetika lukisanku." Brina membawa Hani ke dalam gendongannya.

"Miaw." 

"Iya, tapi jangan yang ini. Sudah cukup satu paw-mu dulu yang mengenai kanvasku yang ini. besok akan kusiapkan media lain. Tunggu ya?" Brina merebahkan tubuhnya di lantai studio rumahnya.

Tak butuh waktu lama, Brina terlelap. Dalam hitungan detik juga Hani berubah ke wujud manusianya. Hani panik dan segera mencari baju untuk menutupi tubuhnya dan mencari Bani. Setelah mendapatkan bajunya, ia kembali ke samping Brina yang tertidur begitu saja di atas lantai yang keras.

 "Serius, aku tidur seperti ini sebagai kucing saja rasanya tak begitu nyaman, bantal, alas, setidaknya Brina butuh karpet." Hani berbicara sendiri.

Hani melangkah keluar studio kecil milik Brina dan menuju ruang tengah. Bani asyik bermain di sana dengan pancingan bulu meskipun wujudnya kini manusia. Hani memberi kode untuk memberinya bantal di samping tempatnya duduk. Bani lantas langsung melemparnya.

"Jangan berisik, Kau mau Brina terbangun melihat kita? Pakai bajumu dengan benar!" Hani menangkap bantal itu dan sadar suara peraduan kapas sintetis dan sarung bantalnya cukup berisik.

"Brina di rumah?" Bani agak panik setelahnya.

"Astaga, tadi dia bermain denganku di ruangan dekat garasi. Berikan aku alas dudukmu itu. Brina tidur di lantai, kalau aku menggendongnya pindah ke kamar, aku khawatir dia akan trauma." Hani meminta.

"Kain tebal ini?" Bani bangkit dan memberikan barang yang dimaksud pada Hani. "Bagaimana dia tidur, aku ingin lihat." 

Hani dan Bani perlahan melangkah ke studio kecil itu.  Brina masih pulas tertidur di lantai. Dengan perlahan Hani dan Bani bekerja sama untuk menyelipkan kain tebal dan bantal di bawah tubuh Brina sebagai alas tidur. Mereka lega karena perempuan itu tak terbangun karena gerakan sentuhan kecil yang mereka perbuat ke beberapa bagian tubuh Brina.

Bani melihat ke meja pendek dan menemukan segelas besar kopi hitam americano racikan Brina sendiri. Berniat mencicipi dengan menyeruputnya dengan sedotan stainless yang dipakai Brina, Bani nyaris mual karena baru tahu Americano yang dibuat kali ini tanpa gula.

Hani tertawa kecil melihat temannya itu. Ia tak ingin membuat suara yang berlebih. Hani menengok lukisan yang tadi sempat ia kotori dengan jejak kakinya. Hani sempat merasa menyesal karena Brina memang hampir marah padanya. Namun, Brina malah mengalihkan emosinya itu dengan mengajaknya mengobrol meskipun tahu Hani tak akan membalasnya. 

"Hani, Brina cantik." Bani berkomentar.

"Aku tahu, hatinya juga cantik," respon Hani.

"Kau merusak lukisan Brina, ya?" Bani melihat noda berbentuk telapak kaki kucing di atas kanvas yang tengah dikeringkan.

"Brina tertidur karena menahan emosinya, ini salahku."

"Kita berubah jadi manusia kali ini karena ulahmu?" Bani menanyakan. 

"Setidaknya kita harus membereskan sesuatu. Tapi tak mungkin kalau lukisan ini, Brina bisa curiga," jawab Hani.

"Sepertinya dengan memberikan alas tidur untuk Brina, cukup. Itu membayar penyesalanmu, kan?" Bani memastikan lagi.

"Kurasa," tutur Hani.

Hani dan Bani bermain dengan sangat berhati-hati berharap Brina tak terbangun. Lama-kelamaan mereka merasakan kantuk. Mereka memilih tidur di dekat Brina.

***

Brina terbangun dan terkejut karena ia sekarang beralaskan bantal dan juga kain hangat. Ia juga melihat Hani dan Bani, kucingnya, tidur di dekatnya. 

"Di tidurku yang singkat ini aku bermimpi kalau kalian yang memberiku alas tidur ini. Aku membayangkan wajah kalian tampan, hahaha, ini mungkin karena efek aku terlalu lelah." Brina bermonolog.

Brina keluar dari studionya dan mengambil dry food untuk kedua kucing itu. Ia meletakkannya begitu saja di tempat mereka makan. Brina tahu hanya dengan dentingan kecil, dua kucing itu akan terbangun dan segera menghampiri makanan mereka.

"Lukisan dengan cap kaki Hani akan kupertahankan, narasinya yang akan kuubah, nanti aku butuh kalian untuk membuat lukisan baru." Brina mengusap punggung dua kucing yang tengah makan. 

Brina kembali ke studio berniat merapikan alat lukisnya. Ia menyeruput sedikit kopi yang asih ada di dalam gelas. Pandanganya teralihkan oleh baju-baju yang tergeletak di samping alas tidurnya tadi.

"Baju ini ... Mirip yang dipakai Hani, ini punya Bani. Mereka benar-benar memakai baju ini di mimpiku." Brina menimang kedua atasan itu dan memandanginya bergantian.  "Apa mungkin benar mereka yang melakukannya?" 

***

"Kakak, kakak kenapa diam sedari tadi?" Soka mendapati Brina melamun sejak ia pulang. 

Soka lantas melihat ke arah lukisan yang sedang Brina pajang untuk dikeringkan. Soka melihat kalau ada jejak kaki kucing di lukisan itu. Soka lantas menanyakan siapa yang melakukan itu. Brina santai menjawab kalau itu ulah Hani. Brina memberitahu Soka untuk tidak memarahi Hani karena Brina tahu itu tidak sengaja terjadi karena posisi lukisan yang memang dibiarkan horizontal di lantai.

"Kakak sakit?" Soka bertanya hal lain.

"Kakak hanya merasa aneh, bagaimana bisa kakak bermimpi Hani dan Bani ada di samping kakak sebagai manusia? Mereka bahkan memberi bantal untuk kakak tidur di studio tadi. Ini aneh, tapi terasa sangat nyata."

Soka memberikan respon terkejut. Ia membelalakkan matanya. 

"Di mimpi itu ... Hani dan Bani bagaimana?"

"Mereka lebih tinggi dari kamu, tapi badan mereka lebih kecil. Hani ... Dia punya tindik di telinganya. Bani, rambut dia panjang, sebahu. Tatapannya lucu, dan kakak sayup sayup mendengar Bani bilang kalau kakak cantik." 

Soka makin terkejut mendengarnya. Ia ingin mengatakannya, tetapi ia telah berjanji untuk menjaga rahasia itu. Rahasia Hani dan Bani.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang