Brina berangkat bekerja dengan hati yang tak tenang. Ia baru saja pulang dari kampus untuk mengajukan seminar proposal pamerannya. Pengujian ini harus ia lewati sebelum benar-benar melaksanakan pamerannya nanti. Brina merasa tak tenang karena jadwal seminar itu bisa keluar kapan saja dengan jadwal yang juga tak menentu. Akan tetapi, Brina tetap berusaha untuk tak kehilangan fokusnya agar pekerjaannya tak berakhir berantakan.
"Udah keluar jadwalnya?" Tanya Sadam tiba-tiba.
"Belum kak, aku juga baru banget masukin. Tapi katanya sih enggak mungkin sampai antri," jawab Brina.
"Ada yang masih perlu dibantu buat itu? Temen-temen kamu ada kan yang bersedia dateng buat jadi audiens?" Sadam benar-benar memperhatikan apa yang harus Brina siapkan.
"Sayangnya kayaknya massanya kurang. Aku enggak begitu deket sama temen-temen kelasku. Aku juga kurang yakin buat ngundang yang kayak Edgar sama Suthan."
"Let me call them to attend. Cukup kan kalau cuma aku sama mereka?" Tanya Sadam.
"Minimal lima audiens sih ... cukup." Brina mulai mantap.
"Abis ini aku anter kamu pulang, kamu mau mampir ke mana dulu, gitu?" Tanya Sadam.
"Em ... enggak ada sih, masih bisa besok abis sempro aja kali. Masih lumayan lama." Brina memperkirakan kebutuhannya beberapa hari ke depan.
"Ambil stok kopi buat kamu, tapi aku enggak izinin kamu ambil coldbrew. Jaga kesehatan kamu, ya? Langsung kabarin kalau jadwalnya keluar." Sadam mengacak rambut Brina gemas.
Brina menyelesaikan tugasnya dan melihat kembali apa yang telah dikerjakannya dalam satu shift. Penjualan pada saat shiftnya memang selalu membludak. Laporan keuangan shiftnya segera ia buat sebelum akhirnya ia berganti pakaian untuk bersiap pulang. Ketika dirinya siap melangkah keluar dari kafe, Sadam rupanya telah siap di dekat mobilnya. Sadam tidak bercanda dengan tawaran mengantarnya pulang ke rumah. Brina hanya menggeleng sembari melangkah mendekat dengan senyumnya yang manis.
"Yakin enggak mau mampir ke mana dulu? Cek lagi ponsel kamu coba." Sadam menunjuk benda pipih yang Brina genggam.
Brina terkejut karena jadwal seminarnya langsung keluar. Beruntung, seminar proposalnya itu masih sekitar tiga hari dari hari itu. Sadam pun menyanggupi untuk datang dan mencoba menghubungi Suthan dan Edgar. Brina malah semakin merasa tak keruan.
"Tiga hari ke depan enggak usah berangkat kerja, powerpointnya udah jadi kan? Tinggal presentasi? Belajar aja buat menguasai materi. Kalau butuh bantuan buat bawa dummy lukisan yang dipamerin, bilang aja. Aku jemput kamu maksimal satu jam sebelum seminar mulai." Sadam mendikte.
"Kak ..." Brina tak mengeluarkan sepatah kata apapun dan langsung memeluk laki-laki itu.
"You need those all, fokus belajar, bantuan angkut-angkut." Sadam menekankan.
"Oke, makasih ya ... I love you." Brina berhasil membuat Sadam mematung kaku.
Itu memang pertama kalinya Brina mengatakan hal yang biasanya Sadam sendiri lontarkan. Sadam tersenyum bahagia ketika tahu benih cinta memang mulai mekar di hati Brina untuknya. Sadam mengusak rambut Brina untuk membuatnya melepas pelukan itu.
***
"Fokus banget? Mau ujian ya kak?"
Tanya seseorang dengan suara berat yang agak asing di telinga Brina. Hani—Sehan—lah yang bicara itu."Iya—kapan kamu jadi manusia lagi? Aku enggak ketiduran perasaan?" Brina benar-benar terkejut.
"Ngerasanya aja enggak ketiduran. Coba ngaca itu di pipi ada apa?" Sehan menunjuk pipi Brina yang memerah dan berbekas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Lucks
FantasyKucing hitam membawa sial? Itu hanya Mitos. Kedatangan kucing hitam di kehidupan Brina dan adiknya mengubah semuanya menjadi lebih berwarna. Banyak kejutan yang dua kucing itu hadirkan di tengah sunyinya rumah kecil itu. Menghadirkan banyak cinta da...