Nothing Impossible

9 0 0
                                    

Soka merasa bersyukur kakaknya sudah dapat kembali beraktivitas dengan normal. Kabar mengenai mahasiswi yang pingsan di pamerannya sendiri memang tersebar di lingkungan kampusnya bahkan di fakultas tempat Soka menimba ilmu, Fakultas Ekonomi.

"Bagaimana kabar kakakmu?" Anthony, sahabat Soka sejak masih SMA itu bertanya. Mereka kini sedang berada di kantin fakultas mereka.

"Sudah lebih baik dan sedang mempersiapkan sidang. Hari ini kamu ada berapa kelas?" Soka menanya.

"I've finished all my classes today. Habis makan siang aku mau ngerjain tugas proyek berkelompok. Kamu?" Anthony menjawab dengan sangat santai

"Sama, sayang banget kita sekelas cuma dua kali seminggu." Soka menyayangkan kalau ia dan teman karibnya sejak SMA itu harus dipisahkan karena jadwal kuliah yang berbeda.

"Soka, aku ingin bertanya sesuatu. Dua laki-laki yang waktu itu jadi barista di pameran kakakmu, mereka siapa?" Anthony mengalihkan pembicaraannya.

"Mereka kakakku juga. Putra dari ibu sambungku sebelum bertemu ayah. Yang rambutnya agak panjang itu setahun lebih tua dariku. Yang tinggi itu seumuranku sebenarnya, hanya beda sebulan," jelas Soka. Soka sendiri terkejut dengan jawabannya yang mendetail. "Mereka selama ini memang tinggal terpisah dari Bunda. Mereka lebih sering menginap di rumahku setelah pulang dari asrama mereka."

"Mereka tidak kuliah? Mereka sudah kerja?"

Soka terdiam. Ia benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mulutnya pun terasa seperti dipaksa bungkam. Ia tak mungkin menceritakan asal-usul mereka yang sebenarnya.

Anthony dikejutkan oleh kehadiran teman sekelasnya yang menepuk pundaknya tiba-tiba. Anthony segera pamit pergi. Ia dan teman sekelasnya segera mengerjakan tugas kelompok mereka. Soka bernapas lega karena Anthony tak terlalu menunggu jawabannya. Teman sekelas Soka pun juga segera menyusul mencarinya.

Soka sengaja memilih kafe yang baru saja dibuka sebagai tempatnya berdiskusi dengan teman-teman. Menu di kafe itu masih terbatas karena ketersediaan alat yang masih minim. Akan tetapi, stok aneka roti dan donat cukup banyak. Soka malah terkejut ketika tahu yang melayani dirinya dan teman-temannya justru Sehan.

"Bang Sehan?"

"Soka? Udah selesai kuliahnya hari ini?" Sehan bertanya sembari menurunkan pesanan Soka dan teman-teman ke meja.

"Udah, ini mau kerja kelompok dulu sebelum pulang. Abang ngapain di sini?" Soka bingung.

"Kamu enggak tahu kalau Abang sama Aa' Bani mulai kerja?" Sehan menaikkan alisnya.

"Abang sama Aa' mana pernah cerita. Kemarin waktu kakak pulang aja kalian diem banget kayak bisu." Soka menjawabnya sesuai realita.

"Kak Sadam yang nyaranin buat kerja di sini. Kafe ini di bawah pengawasan dia." Sehan menerangkan.

"Oh iya, ini kafe juga punya kak Sadam. Lukisan kak Brina masih kepajang semua lagi." Soka melihat sekelilingnya.

"Kafe ini punya kakak kamu?" Tanya teman Soka begitu Sehan terlihat menjauh.

"Calon suami kakak aku, tepatnya. Kakak aku yang perempuan. dia bikin pameran di sini dan ya ... kakak-kakakku yang lain juga yang ngelola. Tapi aku baru tahu kalau yang ngurus ini itu di kafe ini dua kakak laki-lakiku."

"Kakak kamu yang tadi ... kok enggak mirip sama kamu?" Tanya teman Soka yang lain.

"Dia kakak tiriku. Ayahku menikah lagi dengan bunda yang punya dua anak laki-laki. Aku juga masih punya adik perempuan dari mereka." Soka menjelaskannya sesingkat mungkin.

Diskusi tentang tugas kuliah akhirnya dimulai saat pesanan terakhir mereka datang. Tak ingin banyak mengulur waktu, masing-masing langsung mengerjakan tugas yang telah dibagi. Sesekali mereka berbincang bagaimana proyek ini akan berlangsung. Presentasi akhirnya dibuat semenarik mungkin dengan topik perekonomian negara berkembang.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang