Panic

44 3 0
                                    

"Brina, kenapa kamu tidak ke kafe beberapa hari ini? Kau menghindar dariku?" Sadam terdengar begitu khawatir dengan Brina di teleponnya. 

"Bukan begitu, kak. Maaf, aku sedang merasa tak enak badan. Aku lupa mengabari kalau aku akan absen kerja." Brina berkata jujur.

"Astaga, kenapa tak ada yang mengabariku? Aku ke rumahmu, ya?" Sadam langsung menutup teleponnya. 

Brina hanya bisa terdiam karena ucapan Sadam terdengar serius. Tubuhnya yang memang masih agak lemas membuatnya hanya bisa pasrah. Tapi di sisi lain, bosnya itu berhak tahu keadaan yang membuatnya hampir seminggu tak datang untuk bekerja di kafe atau sekadar mampir mengerjakan TA di sana. Brina mengajak bicara Hani dan Bani supaya dua kucing itu tak mengganggu ketika Sadam benar-benar datang ke rumah.

Lima belas menit berlalu, ada orang yang mengetuk pintu rumah. Brina dengan langkah malasnya membukakan pintu. Ia langsung disambut dengan Sadam yang begitu panik melihat wajahnya yang masih pucat. 

"Udah, kamu duduk aja." Sadam malah menyuruh Brina. 

"Kak, aku udah enggak apa-apa." Jawab Brina yakin.

"Enggak apa-apa dari mananya? Kamu masih pucat gitu. Tau gini aku udah dari kemarin ke sini jengukin. Udah ke dokter?" Sadam bertanya.

Brina menggeleng, ia tak mungkin pergi ke dokter sendirian sementara Soka harus tetap berangkat sekolah. Brina hanya khawatir jika dirinya akan merepotkan orang lain karena memberanikan diri pergi ke dokter sendirian dengan kondisi tubuh seperti itu. 

"Tapi kamu masih punya stok obat yang biasa kamu minum, kan? Ah iya, kalau gejala belum hilang dalam tiga hari kamu memang harusnya ke dokter, sayang." Sadam mendekat pada Brina dan mengusap puncak kepalanya. "Aku antar, ya? Hari ini juga." 

Brina menatap Sadam. Pria muda itu tak sedang bercanda. Bahkan kini ia sibuk mencari kunci mobil di kantungnya. "Ambil jaketmu, aku antar kamu ke dokter keluargaku. Jangan menolak," katanya.

Brina melangkah ke dalam kamar mengambil baju hangat miliknya dan dompet untuk berjaga-jaga. Ia keluar dari kamar dan dituntun oleh Sadam. Brina meminta izin untuk memberi makan kedua kucingnya dulu, Sadam mengangguk mempersilakan. Ia sedikit bermonolog meminta ke kedua kucingnya untuk menjaga rumah. Sadam hanya tersenyum dan sedikit ngeri dengan hal tersebut. 

Brina mengunci rumah dan mengatakan adiknya selalu membawa kunci cadangan. Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di depan gang. Sadam dengan hati-hati membukakan pintu dan memastikan posisi duduk Brina nyaman. 

Saat Sadam masuk ke bangku kemudi, Sadam langsung kembali banyak bicara.

"AC-nya aku kecilin meskipun kamu udah pakai jaket, ya? Kalau pusing, dipakai buat tidur aja dulu. Nanti aku bangunin kalau udah sampai." 

"Kak,"  tahan Brina. Sadam diam sesaat setelahnya. "Makasih ya?"

"Sama-sama, Brina. Sudah, aku akan menemanimu sampai nanti kamu membutuhkan perawatan lanjutan atau hanya membawa pulang obat, ya? Aku akan hubungi adikmu kalau ternyata sakitmu parah." 

Brina mengulum senyumnya. Ia hanya bisa menurut pada Sadam saat ini. 

***

"Hani, Brina bagaimana keadaannya ya?" Bani khawatir dengan keadaan Brina.

"Ya, kuharap dia baik-baik saja. Toh, dia dijaga Sadam, kan?" Hani berbalik bertanya. 

"Sadam terlihat baik, bahkan dia sangat khawatir dengan Brina. Kalau dia nanti masih ikut mengantar Brina pulang, aku ingin berterima kasih padanya." Bani berucap yang membuat Hani sedikit was-was.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang