Little Attention

46 4 0
                                    

Brina merasa begitu dimanja oleh Sadam beberapa hari terakhir karena ia terpaksa diantar jemput kala ingin ke kampus. Beberapa mata tertuju padanya setiap ia diturunkan di pintu masuk fakultas dari mobil Sadam. Beredar kabar kalau Brina merupakan kekasih Sadam. Tak sedikit yang nyinyir karena tahu posisi Brina dan Sadam di lingkungan kafe. Sadam hanya menanggapinya dengan tertawaan setiap Brina mengadu.

"Mereka hanya tahu luarnya, sayang. Hanya Edgar dan Suthan yang tahu kebenarannya," ucap Sadam begitu santai.

"Ih, mereka tuh udah terkenal sebagai bandar gosipnya cowo dari zaman SMA dulu." Brina kesal karena memang faktanya seperti itu. 

"Obatnya udah habis, kan?" Tanya Sadam memastikan.

"Belum, tapi yang bikin aku tidur kayak orang mati udah habis dari beberapa hari lalu." Brina menunjukkan beberapa strip obat yang tersisa.

"Hahaha, obat yang bikin kamu istirahat total itu. Kalau obatnya udah habis kamu baru kuizinin masuk kerja." Sadam memberi pengumuman. 

"Tinggal besok sih kalau dihitung dari sisa obatnya. Lusa aku ke kafe, ya?" Brina memastikan.

"Iya, sayang. Hari ini kamu udah selesai, kan? Atau ada perlu apa lagi?" Tanya Sadam sebelum menyalakan mesin mobilnya.

"Kayaknya aku butuh bubuk sama biji kopi buat project aku yang selanjutnya. Aku mau bikin lukisan dari dua bahan itu." Brina mengawang rencananya.

"Ambil di kafe aja, tapi maaf sebelumnya, aku bakal kasih yang deket expired date atau udah lewat masa laik pakainya, enggak apa-apa?" Tanya Sadam. 

"Aku emang sengaja mau minta yang itu," Brina begitu berbinar ketika Sadam mengizinkannya mengambil bahan langsung dari kafe.

"Makan siang sekalian di kafe, ya? No coffee for you," Sadam akhirnya mulai menjalankan mobilnya menuju kafe.

***

Sadam dan Brina awalnya makan dengan tenang hanya berdua di kafe. Obtolan mereka cukup santai hingga pesanan terakhir mereka datang ke meja mereka. Brina merasa bersalah karena beberapa rekan kerjanya harus bekerja ekstra di saat jatah shift mereka yang bersamaan dengan Brina. 

"Enggak apa-apa, fokus ke TA kamu aja dulu, kita maklum apalagi setelah tahu kondisi kamu yang harus bedrest dari kak Sadam."

"Besok aku udah berangkat kok."

"Seneng dengernya kalau gitu, kabarnya kamu sama kak Sadam jadian, ya?" Goda rekannya tadi.

"Siapa yang bilang begitu? Enggak ih."  Brina menyangkal. 

"Udah ngaku aja, ya kan kak Sadam?" 

"Kita enggak pacaran, tapi aku berani pastiin aku calon suami Brina."

"Kak!" Suara Brina meninggi. 

"Aku serius, Brina." Sadam menggenggam tangan Brina. 

Edgar dan Suthan lagi-lagi mampir ke kafe Sadam hari ini. Mereka ternyata sengaja mendatangi kafe karena ingin meledek Sadam yang memang jadi bahan pembicaraan di himpunan. Bahkan desas desus yang terdengar di himpunan mahasiswa fakultas Ilmu Bahasa dan Seni itu adalah Sadam yang siap menikahi Brina ketika selesai wisuda nanti. 

"Siapa yang nyebarin rumor itu duluan? Ngarang bebas aja bisanya." Sadam ikut tak terima kali ini.

"Ada pokoknya." Suthan menjawab dengan santai. 

Edgar mengomentari kalau Brina dan Sadam memang terlihat semakin dekat sekarang ini. Edgar bahkan penasaran bagaimana keduanya bisa dengan cepat dirumorkan akan menikah padahal kedekatan mereka baru terlihat dua minggu terakhir. Bagaimana itu bisa terjadi?  tanyanya. 

"Jangan ceritakan bagian itu," pinta Brina. 

"Tak akan." Sadam meyakinkan

"Brina emang abis kenapa? Lo macem-macem sama dia?" Suthan menunjuk-nunjuk. 

"Makin ngarang bebas deh lo. Enggak lah, Brina emang banyak gue temenin akhir-akhir ini. Bukan yang aneh-aneh, ya kan?" Sadam menatap Brina dengan tatapan manisnya.

"Sabrina, lo harus tau ini sih ... Lo punya kucing kan?" Edgar menebak.

"Iya, emang kenapa?"

"Sadam tu aslinya takut sama kucing, tapi dia trabas aja demi deket sama lo." Edgar  membocorkan rahasia itu.

"Eh? Astaga? Kok kakak enggak bilang, sih?" Brina malah berbalik panik. 

"Ya persis yang dibilang Edgar, aku sengaja bodo amat sama ketakutanku demi deket sama kamu." 

"Kan aku bisa singkirin Hani sama Bani kalau kakak bilang kakak takut." Brina merasa bersalah.

"Hani dan Bani is not that bad ternyata. Kucing-kucingmu manja ya?"

"Iya, yang satunya tukang ngomel tapi. Kakak tau sendiri, kan dia yang paling berisik suka ngeong?" 

"Hani?" Sadam bertanya. Brina menjawabnya dengan anggukan.

"Wih, udah di tahap apal sama peliharaan pasangan, udah makin lengket juga."  Suthan meledek.

"Bani kayaknya perlu ke salon, sayang. Aku agak khawatir bulunya yang di bawah perut jadi agak gimbal. Kemarin aku coba deketin kayaknya ada bagian bulu yang kusut. Atau aku beliin sisir khusus dulu aja ya? Nanti kita mampir petshop sebelum pulang." Sadam menawarkan.

"Boleh, makanan mereka yang basah emang udah mau habis juga." Brina mengingat ingat.

Sadam dan Brina telah selesai dengan makan siang mereka. Sadam menitipkan kafe ini ke orang kepercayaannya lagi sementara ia mengantar Brina pulang terlebih dulu. Sadam mengancam Suthan dan Edgar yang menggodanya lagi. 

***

"Sayang, jangan paksain kalau kamu emang ngerasa belum sepenuhnya sehat, ya? Aku masih maklum kalau misal kamu enggak jadi berangkat kerja." Sadam memperingatkan.

Brina tiba-tiba menitikkan air mata. Ia merasa terharu karena kini ada yang memperhatikannya selain Soka. Brina spontan memeluk Sadam dan membuat pria itu terpaku. Sadam lantas membalas pelukan itu dengan dekapan lembutnya. Ia mengusap punggung sang puan yang kini menangis.

"Hei ... Hari ini kamu kayaknya agak emosional. Udah deket tanggalnya ya?" Sadam menebak.

"Tanggal ... oh?" Brina sadar akan sesuatu.

"Kamu jarang perhatiin siklusmu ya?" Sadam agak khawatir.

"Enggak terlalu, tapi sering telat juga." Brina berusaha menjawab dengan jujur. 

Sadam merogoh tasnya dan memberikan sebuah benda. Rupanya itu adalah kompres hangat yang bisa berulang kali dipakai. Sadam tahu karema selama ini ia memperhatikan jika Brina kerap mengeluhkan sakit di bagian perut hingga paha.

"Aku balik ke kafe ya? Aku tunggu kamu di kafe semampu kamu aja. Jangan paksain harus berangkat, ya?" Sadam melangkah menjauh dari gang rumah Brina.

Brina masuk ke rumah dan segera merapikan barang-barang yang dibelinya di petshop. Brina tersenyum ketika dua kucing kesayangannya mendekat dan manja padanya. Pendant kucing kembar terpasang apik di masing-masing kalung mereka berdampingan dengan pendant grafir nama mereka. Brina lantas menilik mesin makanan otomatis milik dua kucing itu dan mengisi ulang dengan kibble yang baru.

"Kalian mau apa?" Brina akhirnya duduk untuk mengajak Bani dan Hani bermain. Ia mengambil pancing bulu dan membuat dua kucingnya ini melompat-lompat senang.

Brina merasakan perutnya mulai tak enak. Nyeri juga mulai menyerang area pahanya. Brina terkekeh saat sadar kalau apa yang Sadam katakan ternyata memang benar. Brina pun segera mengganti seluruh pakaiannya dan mencucinya. Setelah itupun ia mencoba untuk menginstal aplikasi pendeteksi siklus kewanitaan.

Brina mengabari Sadam bahwa ia ternyata memang masuk jadwalnya untuk menstruasi. Sadam meneleponnya dan terkikik.

"Perhatian kecilmu ini ternyata memang berarti bagiku, kak. Terima kasih," ucap Brina sebelum menutup kembali teleponnya.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang