Brina benar-benar diantar ke dokter spesialis kandungan untuk memeriksakan kondisi area kewanitaannya. Brina dengan jujur menjelaskan apapun yang ia rasakan selama ini dan dokter pun menyarankan untuk pemeriksaan lebih lanjut dengan USG. Dari hasil USG itu Brina ternyata punya gejala PCOS. Yang mana bisa saja ada kista yang tumbuh di rahimnya. Dengan kondisi tubuh yang lemas pun Brina juga terpaksa dirawat untuk sementara waktu.
Kondisi Brina sendiri sempat benar-benar drop ketika tahu ia harus opname. Dengan terpaksa ia diberi obat penenang dan akhirnya terlelap tidur. Saat terbangun pun, Brina masih saja menangis. Ia benar-benar takut jika Sadam akan meninggalkannya. Bahkan setelah semuanya disiapkan.
"No, kita bisa lewatin ini semua. Kamu enggak sendirian, sayang. Aku enggak akan pergi. Aku tetap milih kamu sampai kapanpun." Sadam berusaha meyakinkan Brina.
"Kamu anak tunggal, kak ... kalau aku enggak bisa kasih kamu keturunan ... keluargamu gimana?" Brina khawatir.
"Masalah keturunan, aku enggak ambil pusing. Kita bakal tetep usaha. Kalau dikasih ya kita harus jaga dengan baik. Kalau enggak, kamulah yang harus aku jaga dengan sungguh-sungguh." Sadam mengecup kening Brina setelahnya.
"Ah iya, sayang ... Karena kondisimu sekarang ini, ini jadi bahan evaluasi pra-nikah kita juga. Deteksi dini tentang kondisimu dan juga kualitas punyaku bisa jadi pengukur kemungkinan. Meskipun mungkin meleset, setidaknya kita sudah paham risikonya. Tapi maaf ya? Kamu harus konsumsi obat untuk sebulan sampai dua bulan ke depan. Memperkecil risiko, bukan menghilangkannya. karena enggak bisa." Sadam mendetail penjelasannya.
Pemeriksaan berkala didapat oleh Brina. Ia merasa lega saat dokter mengatakan bahwa ia bisa pulang esok hari. Brina harus rutin check up beberapa bulan ke depan.
☆☆☆
Brina mencari cara untuk menghibur dirinya sendiri. Salah satunya dengan kembali menjadi barista di kafe yang telah membawanya hingga ke titik yang sekarang. Hanya saja Sadam selalu mengingatkan agar dirinya tak terlalu lelah bekerja.
"Enak ya sebentar lagi kamu jadi nyonya Sadam. Semuanya terjamin pastinya," celetuk salah satu barista di kafe itu.
"Jangan begitu, kalian akan mengenalku tetap sebagai Sabrina yang sama." Jawab Brina.
Banyak suara tak mengenakkan karena kabar Brina bisa saja infertil. Tentu, bukan karyawan kafe itu yang memulai pembahasan itu.
"Kasihan keluarga kak Sadam kalau tahu calon istri satu-satunya cucu mereka ternyata susah hamil."
Sadam mendengar ucapan itu dan segera menarik Brina ke ruangannya. Ia tahu kalau Brina akan merasa sangat tertekan.
"Mereka hanya tahu namamu, mereka tak akan jadi aku. Yang akan menghadapi ini semua, kita berdua. Bukan mereka berdua." Sadam mengingatkan Brina. "Aku udah bilang sejak di rumah sakit, kan? Kamu masih percaya aku?"
Brina mengangguk.
"Kamu di dalem sini aja sampai aku mau pulang nanti. Ada yang kamu perluin, bilang aja." Sadam meminta Brina untuk diam di tempat.
"Aku urus yang di dapur dalem aja. Minimalisir ketemu orang luar lebih dari cukup. Aku bakal bosen kalau di dalem sini terus."
"Ah iya, tolong cek stok menu lunch. Kemarin kayaknya ada stok kosong yang enggak dilaporin. Cek juga area masaknya. Kalau ada alat yang perlu diganti nanti kita beli." Sadam mengalah dan mengarahkan apa yang harus Brina lakukan sebagai penggantinya.
"Tuh kan, dapur masih butuh aku." Brina tersenyum menang.
"Quality check pastry sebelum dikirim ke kafenya Hani Bani." Sadam mengingatkan.
"Selalu, sayang." Brina melangkahkan kakinya masuk ke dapur.
☆☆☆
Arbani yang tengah membersihkan meja bekas pelanggan terus melihat ke arah kakaknya. Brina datang untuk memantau berjalannya kafe yang diurus oleh adik-adiknya. Arbani terus memastikan kalau Brina tak boleh memegang satupun pekerjaan yang bisa Ia dan Sehan tangani selagi senggang.
Sehan sibuk menata stok roti-rotian baru yang diantar langsung oleh Sadam dan Brina saat datang. Sehan dengan lembut menawari Brina untuk menjajal minuman kafe itu. Saat Brina memesan minuman bersoda atau punya base kopi yang kuat, Sehan dengan lantang menolak.
"Kan banyak non-coffee sama yang non soda. Aku cuma nawarin milkshake atau teh." Sehan menutup buku menu khusus untuk Brina.
"Rose and Rosella tea aja deh kalo gitu, nanti bungkus chamomile tea buat aku sama earl grey buat Sadam ya. Bikin milkshake buat Soka, kalian tahu selera adik kalian itu." Brina pasrah dengan apa yang Sehan lakukan.
"Siap, kak!" Sehan dengan sigap segera menyiapkan pesanan.
"Kakak abis ini langsung pulang aja, ya? Nanti kakak sakit lagi, kak Sadam yang repot. Kak Sadam sering banget loh direpotin kakak waktu sakit. Iya, kan?"
"Enggak ngerepotin sama sekali kok. Kan aku sayang sama Brina. Capek bolak-baliknya emang, tapi kalau Brina enggak ditanganin dengan baik juga aku enggak bisa lihat Brina yang sekarang." Sadam mengatakannya tepat di samping Brina.
"Janji jangan tinggalin kak Brina ya, kak?" Arbani terdengar memohon.
Sadam mengacungkan jari kelingkingnya.
☆☆☆
Soka sedikit kerepotan ketika melihat kucing-kucingnya pup begitu banyak. Hani dan Bani makan agak lebih banyak dari biasanya sehingga kotoran yang mereka keluarkan juga lebih banyak dari yang biasanya juga. Soka menggerutu karena Brina tak membantunya. Namun, kekesalannya itu tak bertahan lama ketika Brina pulang dengan membawa susu kocok spesial buatan Sehan.
"Kak Brina sangat paham kelemahanku," ucap Soka.
"Bagaimana kuliahmu?"
"Menyenangkan, minggu depan wisuda kakak, kan? Hm ... Rasanya akan jadi perhelatan wisuda terbaik di kampus itu." Soka sedikit hiperbola.
"Bukan karena kakak pastinya. Masih banyak wisudawan yang lain yang lebih baik dari kakak." Brina menanggapinya dengan santai.
"Sehan Arbani belum pulang?" Tanya Soka tiba-tiba.
"Belum. Banyak hal yang harus mereka kerjakan di kafe. Hari ini lumayan ramai." Brina menjawabnya dengan fakta lapangan yang tadi ia sempat lihat.
"Kak ... jangan terlalu banyak pikiran. Dalam waktu dekat ini banyak hari penting untuk kakak ... aku tidak mau melihat kakak sakit lagi. Jujur, aku selalu merasa tidak tega karena sekalinya kakak sakit ... Kakak benar-benar terbaring lemah. Aku tidak mau itu terulang lagi. Kalau ada apa-apa jangan takut buat bilang ke aku, dan Kak Sadam kalau kaka sudah menikah nanti." Soka duduk berlutut di bawah Brina yang duduk di sofa.
Brina tersenyum simpul. Ia mengelus puncak kepala adiknya itu. Awalnya ia tidak tega tinggalkan Soka sendiri di rumah peninggalan ibu mereka ini. Namun mengingat kini ada Sehan dan Arbani, Brina tak lagi khawatir.
Kucing-kucing hitam milik Brina dan Soka berjalan mendekati pemiliknya. Perangai mereka memang sedikit berbeda dari Hani dan Bani yang sebelumnya. Pembawaan mereka lebih tenang meskipun tingkah mereka lebih liar. Dua kucing itu masih sama manjanya dengan yang dulu mereka punya. Hani dan Bani berebut naik ke pangkuan Brina. Brina terkekeh saat kedua kucing itu mendusal ke tubuhnya yang sedikit lemas.
"Soka, antar kakak ke kamar ya? Entah kenapa rasanya tiba-tiba lemas." Brina meminta tolong.
Soka dengan sigap mengangkat tubuh Brina dengan kedua tangannya. Brina terkejut dengan kekuatan adik laki-lakinya itu. Dengan gendongannya, Brina diantar masuk ke kamar dan dibaringkan langsung oleh Soka.
"Tiduran aja kalau capek, kak. Aku yang nunggu Sehan sama Arbani pulang. Kakak istirahat aja di kamar, okay?" Soka pamit dari kamar Brina membiarkan kakaknya itu beristirahat.
"Hani, Bani, temani kakak ya? Jangan ganggu kakak beristirahat tapi." Soka berbicara pada dua kucing yang rupanya mengikuti langkahnya masuk ke kamar Brina.
"Melihat kalian sebenarnya sudah cukup jadi semangatku. Tapi, tubuhku makin ringkih ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Lucks
FantasyKucing hitam membawa sial? Itu hanya Mitos. Kedatangan kucing hitam di kehidupan Brina dan adiknya mengubah semuanya menjadi lebih berwarna. Banyak kejutan yang dua kucing itu hadirkan di tengah sunyinya rumah kecil itu. Menghadirkan banyak cinta da...