The Hug

16 3 0
                                    

Brina berangkat ke kafe agak lebih awal dari yang telah ditentukan. Ia mengecek semua kebutuhan kafe dari stok bahan hingga kebutuhan kemasan take away. Dengan sangat teliti ia akan mencatatnya untuk membuat daftar prioritas re-stock barang. Setelah rampung pengecekan, Brina membuat laporan singkat yang langsung ia sampaikan ke Sadam.

"Nanti ikut aku beli sama pesen beberapa barang juga. Tapi hari ini kamu harus full satu shift." Sadam memberi perintah.

"Tapi aku udah izin buat ambil setengah aja ... kan aku bisa ambil jam sisanya di weekend nanti ..." Brina agak protes.

"Aku butuh kamu ada di sini minimal sampai sore nanti. Please, ya?" Sadam memohon.

Brina hanya bisa pasrah. Ia malah takut kalau gajinya dipotong hanya karena tak menuruti bosnya itu. Brina langsung memasang apron seragam kafe dan mulai melayani pelanggan yang berdatangan untuk melakukan Brunch.

Tubuh Brina menegak ketika melihat mobil yang memang ia kenali memasuki area parkir kafe. Saat sosok yang juga dikenalinya keluar dari mobil itu, Brina berusaha terlihat sibuk dengan meracik kopi untuk tamu itu. Telapak tangannya berkeringat gugup. Sebab pria itu datang sendirian ke kafe.

Saat akan mengambil gelas untuk penyajian kopi, Brina tidak mengindahkan telapak tangannya yang basah. Gelas yang diambilnya meleset dari genggaman dan jatuh pecah berkeping-keping. Dengan sigap Brina memunguti pecahan besar gelas itu dan malah berujung melukai jari-jarinya.

"Ambil sapu, bersihin pecahan gelasnya. Biar Brina aku yang tanganin." Sadam agak berteriak ke pegawainya yang lain.

Brina berjongkok bersembunyi di bawah meja kasir karena begitu gugup dan menahan perih akibat serpihan kaca yang sempat menancap di jari-jarinya. Sadam mendekat dan mendekap Brina sebelum mengecek keadaan jemari kekasihnya yang terluka. Dengan perlahan Sadam membersihkan luka itu dengan tisu basah dan membalut luka yang terlihat agak membuka dengan plester yang selalu dibawanya.

"Kenapa? Udah, jangan nangis. Enggak apa-apa, itu kecelakaan kecil." Sadam mengusap air mata Brina yang perlahan membasahi pipinya. Tangannya meraih tangan Brina yang tak terluka. Menggenggamnya dengan penuh kehati-hatian. Sadam akhirnya mengajaknya untuk kembali berdiri menghadap meja kasir.

"Ayah ..." cicit Brina. Ia bersembunyi di belakang Sadam.

"Selamat datang kembali tuan Arjuna. Ada yang bisa saya bantu?" Sadam mengambil alih tugas Brina.

"Kopi hitam manis panas dan satu set camilan andalan kafe ini. Dan untuk putriku ..."

"Americano dingin dan donat clear glaze." Brina menyambar.

Sadam menoleh ke arah Brina. Ia menatap dengan yakin kalau Brina akan baik-baik saja saat bertemu dengan ayahnya itu. Brina tak yakin saat akan meninggalkan meja kasir.

"Temui ayahmu dulu, sayang. Jangan membuatnya menunggu." Sadam membisiki Brina. "Aku akan menyusul saat pesanan kalian siap."

Hening. Senyap. Ini yang Brina rasakan saat duduk berhadapan dengan ayahnya sendiri. Tak ada satupun suara tercipta di sekitar mereka. Sampai akhirnya Sadam datang dengan membawa nampan berisi pesanan mereka dan duduk di samping Brina.

Sadam beralih duduk ke meja di sampingnya untuk tak mengganggu.

"Apa kabar, nak?" Ayah Brina membuka percakapan. 

"Seperti yang ayah lihat, aku baik. Bagaimana dengan ayah sendiri?" Brina agak kaku menjawab pertanyaan ayahnya sendiri.

"Ayah juga baik-baik saja. Ayah dengar Soka sudah mendaftar perguruan tinggi, ya?" 

"Sudah, aku pun juga segera selesai dengan studiku. Sebentar lagi aku akan mengadakan pameran dan sidang akhir. Bunda dan Syakira apa kabar? Aku belum pernah bertemu mereka lagi sejak hari itu, apalagi Bunda." Brina sedikit mengalihkan.

"Bunda sempat sakit beberapa waktu lalu. Syakira naik kelas empat tahun ini. Kalian sempat bertemu, kan?" 

"Kenapa ayah tidak bilang kalau Bunda sakit? Pantas waktu itu Aku bertemu dengan Syakira di rumah makan yang agak dekat dari rumah sakit kala itu." Brina menanggapinya dengan begitu terkejut. 

"Kamu sendiri juga, kan? Syakira yang cerita. Itulah sebabnya ayah tak ingin membuatmu terpikir. Ayah tak ingin membuatmu semakin menderita." Ayah Brina memandangi putrinya yang berkaca-kaca. 

Brina kembali terisak. Tangannya diraih perlahan oleh Sadam dan punggung tangannya diusap. 

"Brina, maafkan ayah karena tidak melibatkanmu saat membuat keputusan menikahi Bunda. Ayah akui itu salah dan ayah tahu konsekuensinya."

"Itu sudah lama terjadi, Syakira adalah alasanku untuk akhirnya menerima kalian." Brina akhirnya memberanikan diri menggenggam tangan ayahnya.

"Soka mungkin jadi yang paling menyimpan dendam dengan ayah ... " Ayah Brina tertunduk dalam.

"Tidak, adik tidak seperti itu. Ayah, aku senang akhirnya aku bertemu dengan ayah ... Aku memang bahagia dengan hidupku ... Tapi, aku masih butuh ayah. Tapi ... Ayah ... Tolong terima ini." Brina mengeluarkan sebuah kartu. "Aku ingin mengembalikan uang yang ayah berikan. Di kartu ini, masih utuh."

"Nak, simpan saja. Gunakan untuk membayar kebutuhan Soka masuk kuliah. Ayah sengaja memberikannya." Ayah Brina menahan putrinya yang bergerak memberikan kartu ATM yang kala itu dikirim lewat pos. "Brina, ada hal lain yang ingin ayah sampaikan."

Mendengar itu, posisi duduk Brina menegak. Ia berusaha mendengarkan apa yang akan ayahnya itu utarakan. Brina sesekali menengok ke arah Sadam yang menunggunya di bangku sebelah. Sadam memberi isyarat untuk Brina memprhatikan ayahnya terlebih dulu. 

"Kamu sudah dewasa, dan ayah rasa sudah waktunya kamu mencari pendamping hidup, kamu tidak bisa terus hidup dengan ayah dan bunda. Ayah rasa kamu sendiri juga sudah menemukan cinta selain dari ayah, kamu ... Bahagia bersama dengan Sadam, kan?" Tanya Ayah Brina.

Brina menoleh ke arah Sadam. Sadam mendekat padanya dan merangkul bahunya. Brina tersenyum. Sadam meraih tangan Brina yang sempat terluka. Brina menatap Sadam dengan sedikit memelas. Perih masih begitu ia rasakan karena tangannya yang berkeringat. Sadam mengulurkan sesuatu dengan tangannya yang lain yang sempat merangkul bahu Brina dan meletakkannya di atas meja. Tangannya kini merangkul pinggang Brina dan membuat Brina kegelian. 

"Ih kak ... Geli tau kalau dipeluk di situ."

"Donat kamu dimakan dulu, keburu diicip semut nanti." Sadam berusaha mengalihkan perhatian Brina.

Brina mengambil donatnya dan mematung ketika melihat kotak kaca yang terbuka dan menampakkan cincin. Brina sepontan meletakkan kembali donatnya dan menoleh ke arah Sadam. Sadam mengambil cincin dari kotak kacanya. Sadam memposisikan dirinya menghadap Brina dan siap memasangkannya ke jemari Brina.

"Dari dulu aku selalu bilang, aku enggak mau lama-lama pacaran sama kamu. Aku mau statusku calon suami kamu, bukan sekadar pacar kamu. Kalau udah lulus nanti, aku bakal usahakan segera, kita punya rumah sendiri. Kamu mau kan, menikah denganku?" Sadam bermaksud melamar Brina di hadapan sang Ayah, langsung.

Brina dengan spontan menjawabnya. Ia meresponnya dengan anggukan. Tak peduli dengan rasa perih di jemari jemarinya, ia kini menatap jari manisnya yang sedang dipasangi cincin yang diberikan oleh Sadam. Ia dengan seksama melihat detail cincin pemberian Sadam itu. Cincin emas muda dengan mata batu mulia.

Pelukan hangat Sadam berikan ke Brina yang mulai kembali terisak. Sadam mengusap punggung kesayangannya itu agar kembali tenang.

"Hei, kemana Brinaku yang selalu ceria? Hari ini kamu terlalu banyak menangis. Ada apa denganmu, sayang?" Sadam agak khawatir dengan Brina yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Selama ini aku tidak bisa menangis saat sedih sekalipun ... Justru gugup dan kebahagiaan seperti inilah yang melelehkan air mataku ... Aku sendiri bingung ... Kak ... Terima kasih ..." Brina menghapus air matanya sendiri.

"Sepertinya semua sudah tersampaikan dengan baik. Ayah senang bisa bertemu lagi denganmu, nak. Ayah titip Soka, ya?"

"Pasti. Ayah, datanglah ke pameran seni milikku nanti. Aku sedang mempersiapkannya." Brina berdiri ketika melihat ayahnya juga bangkit dari posisinya.

"Informasikan selebihnya nanti. Ayah usahakan datang bersama bunda dan adikmu." 

Brina bergerak mendekat pada ayahnya dan spontan memeluk sang ayah. "Aku benar-benar akan menunggu ayah ... Kumohon datanglah ..." 

"Ayah akan usahakan," jawab sang ayah.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang