Demam

48 2 0
                                    

Brina mengambil sebuah papan kayu tripleks. Ia memberi warna dasar pada papan kayu itu sehingga full berwarna putih. Brina menyiapkan beberapa warna cat. Dengan perlahan ia menggoreskan kuasnya untuk memberi pola dasar lukisannya. Dengan bantuan kipas angin ia mengeringkan lukisan itu. 

Brina menggendong Hani dan Bani masuk ke studionya. Seperti yang ia janjikan waktu itu, Brina mengajak dua kucing tersebut membuat lukisan dengan memanfaatkan telapak kaki mereka. Brina membiarkan dua kucing itu berjalan di atas papan kayu dengan cat yang masih setengah basah. Setelah dirasa cukup, Brina mengangkat dua kucing itu dan mencuci kaki Hani dan Bani dengan kain basah. 

Brina memberi mereka hadiah berupa creamy treat. Hani dan Bani tertidur di studio itu sementara Brina sibuk mengeringkan hasil karya dua kucing itu. Hari ini, ia akan melakukan bimbingan penyusunan proposal pameran. Tak lupa ia memamerkan lukisannya itu terlebih dulu ke dosen pembimbing. 

"Kamu membuatnya dengan memanfaatkan kaki-kaki kecil mereka? Bagaimana caranya mereka menurut? Ini bahkan terlihat rapi ..." Sang dosen pembimbing menunjuk hasil lukisan itu dari layar perangkat pribadinya.

"Mereka memang penurut. Entahlah aku rasa mereka paham bahasa manusia." Jelas Brina.

"Simpan lukisan itu, saya ingin melihatnya di pameran nanti. Proyek yang lain juga sudah dikerjakan, kan?" tanya dosen pembimbingnya.

"Ah itu, proyek untuk audio visual information tentang kopi, dari tanaman hingga hidangan olahannya. Sudah, semoga saja bisa ditayangkan di pamerannya juga." Brina yakin dengan rencananya. 

"Harus, dong. Kan ini memang tujuan utama pamerannya, kan?"

Brina seketika mendapat ide yang cukup brilian untuk hal itu.

***

"Aku merasa kurang puas dengan lukisan itu. bulu kakiku membuatnya berantakan." Bani mengomentari lukisan di papan tripleks.

"Tapi kurasa Brina sangat suka dengannya. Kita harus membuat kejutan yang lain untuk Brina." Hani merasa yakin.

Pintu rumah tiba-tiba terdengar dibuka. Hani dan Bani panik karena tidak tahu kalau ada yang akan pulang secepat ini. Mereka bersembunyi di studio.

"Bani? Hani? Kalian di mana?" terdengar suara Brina mencari mereka berdua. Ia curiga ada sesuatu yang aneh di studio dan ia berjalan mendekat ke tempat itu. Ia mendengar suara yang agak berisik dari tempat itu.

Hani dan Bani keluar dari studio dengan wujud manusia mereka. Mereka dengan malu-malu menyapa Brina dan membuat Brina mematung sebelum jatuh pingsan. Hani dan Bani mengangkat tubuh lemas Brina dan membawanya ke kamar. Segala usaha mereka lakukan agar Brina segera siuman. Bani yang paling takut kalau terjadi sesuatu yang buruk.

Brina perlahan terbangun dan menatap dua laki-laki itu bingung. "jadi kalian nyata?" tanyanya.

Hani mengangguk meyakinkan. "Jangan bangun dulu, tubuhmu pasti masih lemas. Kalau mau duduk aku bantu," Hani memegangi punggung Brina yang ingin bangkit ke posisi duduk.

"Hani?"

"Ya?"

"Ternyata benar ini Haniku ... Hani yang mengomel kala aku minum americano."

"Kak ... Argh ... Jangan terlalu sering minum kopi, ya?" Hani agak kaku ketika mencoba memanggil Brina dengan sebutan kakak.

"Iya, aku akan kurangi."

Bani terdiam dan memandangi wajah Brina lebih dekat. Matanya yang cokelat kehitaman membulat seperti saat wujudnya adalah kucing. Brina terkekeh dengan tingkahnya. Brina mengusak rambut panjang Bani dan membuatnya tersenyum.

Cat LucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang