“Jangan banyak omong lo! Udah, diem dulu bentar,” bekap Dava kepada gadis itu yang terus saja mengoceh.
Dava menatap Alenza lekat. Kepalanya bergerak miring. “Ada yang perlu gue tau dari lo, Al. Kenapa mereka yang tadi ada di kantong bilang kalo dia saudara kandung? Emangnya lo sama Egata-Kezav saudara tiri?” tanyanya heran.
Ia sedang menunggu jawaban dari Alenza yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Dava mengernyitkan keningnya bingung. “Lo ditanya kenapa malah natap dendam sama gue sih, Al?” kesal Dava tak mengerti.
Alenza menggigit telapak tangan Dava yang sedang membekap mulutnya. Membuat tangan itu terlepas dari mulutnya. Dava mengibaskan tangannya yang terasa sakit. “Gigi lo tajam banget udah kayak singa!” sungutnya kesakitan.
Gadis itu menatap sengit. “Emangnya lo udah pernah digigit singa, huh?!” sentak Alenza menyulut mendapatkan gelengan kepala Dava.
“Lagian sialan banget sih lo, Dav! Kenapa gue yang disalahin, mau jawab juga tadi tangan lo masih nempel di mulut gue!” sarkasnya sembari berkacak pinggang.
Dava tersenyum lebar setelah menyadari kesalahannya. Alenza bergerak jalan menuju bangku yang ada di sana, duduk dengan rasa lega.
Lelaki itu memilih duduk di samping sahabatnya. “Jadi, jawabannya apa? Mama lo pernah nikah dua kali? Bukannya lo cuma punya 2 saudara doang ya?” ujarnya menuntut jawaban.
Alenza menghela napasnya panjang. “Gue itu bukan anak kandung dari Dazeen. Lo emang nggak pernah tau ‘kan kalo gue ini di angkat jadi bagian keluarga Elior?” beritahunya membuat Dava mendelik terkejut.
“Hah, serius? Jadi sejak kapan lo tau kalo Dazeen bukan Papa kandung lo?” Dava mendekat membuat Alenza menjadi menjauhkan wajah lelaki itu darinya.
“Jadi intinya, gue tau kalo tua bangka itu bukan Papa asli gue waktu umur... eum berapa ya? Mana lupa lagi! Kayaknya waktu gue sama lo pertama kali ketemu di pantai deh, barengan gitu soalnya,” jelasnya membuat Dava mengangguk paham.
“Ih, jahat banget lo sama gue. Kenapa nggak dari dulu kasih tau gue sih,” cecarnya merasa kecewa.
Alenza merangkul bahu lebar Dava sersya memberikan tepukkan pelan. “Sorry, Dav. Gue nggak berani cerita tentang hal itu ke siapa aja,” ujarnya menjadi merasa bersala.
“Kalo lo ketemu gue di pantai waktu itu, berarti seinget gue kita umur 4 tahunan,” beritahunya setelah mengingat-ingat moment mereka.
Tiba-tiba Dava menjentikkan jarinya membuat bunyi petikkan jari. “Oh, gue baru ngerti sekarang! Selama ini yang lo sebut panggil Papa itu buat Dazeen, tapi kalo Daddy berarti buat orang tua kandung lo ‘kan?” serunya mendapatkan anggukan membenarkan gadis itu.
“Terus terang aja, waktu gue menghilang tiba-tiba itu ya karena gue ketemuan sama mereka sekian lamanya berpisah,” jelas Alenza membuat Dava mengerti.
“Nomor lo ganti?” tanya Dava mendapatkan gelengan kecil dari gadis itu.
“Bukan nomor yang ganti, tapi handphone gue.” Ujarnya seraya mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Dia langsung memberikan benda pipih itu kepada lelaki itu membuat Dava segera bertukar nomor di ponsel Alenza.
“Simpan nomor gue,” pintanya membuat Alenza memutar bola matanya malas.
“Gue hafal nomor lo, Dav. Nggak usah khawatir kalo gue nggak bisa hubungin lo, santai aja, sahabat sejati jelas tau apa aja tentang sahabatnya,” sahut Alenza menunjukkan senyuman manis.
“Oh iya, kok bisa sih Alesya ada di Indonesia?” tanyanya bingung.
“Bisa lah, dia ‘kan masih hidup,” ujarnya menjawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENZA
Teen FictionDalam kehidupan yang penuh dengan luka dan kesakitan, Alenza, seorang gadis malang, berjuang untuk menemukan arti hidupnya. Dengan keluarga yang tidak pernah mencintainya, Alenza merasa seperti ombak yang terus-menerus menghantam pantai, tanpa perna...