Apa yang membuat seseorang terlihat begitu bahagia ketika pulang? Jawabannya pasti karena memiliki rumah untuk kembali kembali pulang, hanya saja ini bukan tentang rumah dalam artian sebuah bangunan tempat kita beristirahat. Kalamkari Padmarini bukan orang yang beruntung itu. Sejak kecil hadirnya hanya dianggap sebagai beban hingga berujung pada pengasingan. Diasingkan karena tak ada yang mau menanggung beban untuk menghidupinya. Menyedihkan bukan, karena sejak awal tak ada kata pulang dalam kamus hidupnya.
Terbiasa berteman dengan kesepian membuatnya tak lagi ingin mempunyai rumah untuk kembali pulang. Tak lagi mengusahakan hal yang dia pun tahu tak akan ada ujungnya. Ditambah dengan kehilangan yang membuatnya kian mati rasa. Entah bagaimana caranya menjalani hari-hari ke depannya, meski dengan langkah yang terseok-seok dirinya akan terus melangkah.
Hidupnya terus berjalan walau dengan langkah pincang. Membangun mimpi yang sempat tertunda menjadi pelipur duka yang dirasa. Pusat Kata sejak awal adalah obat yang dia usahakan. Jatuh bangun sudah Kalamkari cecap. Sebuah usaha yang kini sudah mulai menunjukkan sebuah kestabilan. Puas rasanya bisa membantu banyak orang mendapatkan bacaan yang layak. Setiap kali melihat para pengunjung datang dengan penuh semangat juga mampu menghantarkan energi positif pada dirinya. Seakan dia adalah tempat mereka pulang untuk mencari ketenangan. Senang rasanya menjadi bagian dari sebuah senyuman yang orang lain rasakan.
"Apa gak bosan terus berkutat dengan tumpukan buku ini, kapan kau akan bertemu jodoh jika hari-harimu kau habiskan dengan menyusun tumpukan buku yang tak ada habisnya ini," ucap Agni salah satu sahabatnya yang tengah sibuk menidurkan putranya.
"Yang kau anggap tumpukan buku ini adalah sumber penghasilanku ya, kalau gak ada buku mana bisa aku melanjutkan hidup," sautnya ketus.
"Udah sih, toh gak ada salahnya yang dilakukan Kala. Jika belum bertemu ya berarti belum waktunya. Toh nanti kalau udah saatnya pasti bakal ketemu juga," tanggapan bijak yang dilontarkan Dhara.
"Tujuan seseorang untuk hidupnya itu gak melulu berakhir dengan pernikahan, kau tau itu kan. Jadi jangan memaksakan diri, aku tidak mempermasalahkan bukan jika kalian ingin menikah."
"Ini nih, ujungnya pasti bakal ribut kalau bahas pernikahan."
"Kan emang gitu, belum menikah itu bukan sebuah aib jadi jangan nanya-nanya mulu."
"Aku kan cuma mau nawarin aja, siapa tahu kamu minat," sangkal Agni.
"Enggak deh, makasih loh untuk niat baiknya. Cuma sekarang masih mau fokus sama toko dulu."
"Udah Ni, jangan dipaksa Kala. Makin dipaksa nih anak makin jadi."
Perempuan bermata sayu itu tersenyum tipis. Mereka tahu pasti kenapa sampai detik ini tak pernah melabuhkan perasaannya pada seorang pria. Bukan karena tak ada yang mendekatinya, hanya saja dirinya masih terlalu enggan untuk menjalani sebuah komitmen. Baginya akan perlu banyak usaha untuk meyakinkan jika komitmen yang dibangun itu akan berjalan dengan baik. Karena pondasi yang lemah hanya akan membawa kita pada kekecewaan tanpa batas.
Mereka bertiga terdiam ketika lonceng tokonya berbunyi. Pria berbadan tegap dengan tato yang menjalar di tangannya itu menimbulkan ketegangan di antara mereka. Baik Agni, Dhara maupun Kala tak ada yang berani bersuara. Auranya begitu kuat hingga mampu mengintimidasi tanpa perlu mengeluarkan sebuah ancaman. Debar jantung yang semakin menggila itu membuatnya tak bisa fokus. Suara serak itu menggetarkan sanubarinya. Sampai-sampai tangannya gemetar saat menerima buku yang pria itu sodorkan. Baru kali ini Kalamkari dibuat tak berdaya oleh sosok pria yang paling ditakuti oleh seluruh orang di desa ini. Entah angin apa yang membawanya datang ke sini, tapi itu cukup membuat perempuan bermata sayu itu terngiang-ngiang oleh sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Bersama
ChickLitApa artinya pulang jika tak pernah memiliki ruang untuk bersama. Mereka yang terbiasa diabaikan tak tahu caranya memberi sebuah perhatian. Begitu juga dengan sebuah kehampaan karena selama ini merasa selalu di buang dan diasingkan. Cara semesta memp...