6. Krisis Harga Diri

185 18 5
                                    

Jeno tidak pernah membuat Ruby merasa tenang. Tapi Ruby tidak akan memberitahu lelaki itu tentu saja. Ruby akan berpikir sendiri di dalam kepalanya, mengisolasi perasaannya dan juga segenap emosi yang telah lama dia pendam.

Perkataan Jeno padanya tadi pagi membuat Ruby sedikit hilang akal. Itu terdengar seperti sebuah lamaran tapi Jeno mengatakannya seperti orang iseng.

Ruby takut dia hanya di permainkan atau yang lebih parahnya lagi dia hanya di jadikan pelarian. Kedua posisi itu tidak menguntungkan untuknya.

Ruby memang menyukai Jeno, dan tawaran Jeno mungkin juga akan memberinya sedikit peluang untuk bisa bersama lelaki itu. Tapi tetap saja Ruby merasa ini semua salah. Dia tidak ingin menjadi duri dalam pernikahan orang lain.

Hidupnya memang sudah berantakan sejak awal dan Ruby tidak mau membuat hidup orang lain sama berantakannya dengan dirinya.

Tangisan Rui yang melengking itu akhirnya berakhir. Bayi itu tertidur dengan tenang di dalam dekapan ibunya.

Ruby akhirnya bisa bernafas lega setelah seharian mendengar Rui menangis. Mengurus bayi memang tidak mudah apalagi jika mengurusnya seorang diri.

Gadis itu meletakkan Rui dengan perlahan di atas ranjangnya. Jeno tiba-tiba masuk ke kamarnya, dengan setelan kerjanya yang masih rapi, lelaki itu masuk tanpa salam. Ruby terlalu lelah untuk menegurnya karena Jeno sendiri tak pernah mengindahkan protesnya.

Ruby tak lagi memiliki energi untuk berdebat. Dia membiarkan Jeno bertindak semaunya sementara dirinya hanya duduk diam sembari menatap wajah damai Rui.

"Apa dia rewel?"

Helaan nafas Ruby menjawab pertanyaan Jeno. Dan lelaki itu menatap iba padanya.

Jeno berjalan mendekat, menatap wajah Rui dan juga jejak air mata di pipi gembilnya. Lelaki itu tersenyum simpul lalu kembali melirik Ruby.

"Kalau memang sulit merawat seorang bayi, lalu apa yang bikin kamu memilih mempertahankan Rui ?"

Pertanyaan sensitif yang cukup sulit untuk di jawab. Sesungguhnya Ruby sempat membenci bayinya tapi dia tak sampai hati untuk menggugurkan Rui kala itu. Ini adalah resiko dari kesalahannya. Ruby pikir dia akan menebus dosanya pada Tuhan dengan merawat anak itu.

"Aku cuma sedang menebus dosaku."

"Itu sebuah kecelakaan, bukan dosa."

Ruby tersenyum getir.

"Itu dosa yang ga disengaja."

Tubuh Jeno berputar beberapa derajat kearah Ruby. Tatapannya begitu lembut dengan rasa ingin taunya yang tinggi.

"Apakah... Kamu pernah membencinya? Maksudku... Yah.. Rui seratus persen mirip orang itu..."

"Aku ga benci Rui, aku hanya benci keadaan." Mulut Ruby sedikit berdusta. Dia pernah mendoktrin dirinya sendiri bahwa dia tidak membenci Rui. Dan kini dia telah menyayangi bayi itu dengan ikhlas.

"Tapi semua yang terjadi pasti memiliki sisi positif dan negatif, setidaknya aku punya Rui untuk aku akui sebagai satu-satunya keluarga ku." Lanjut Ruby.

"Ruby.."

Ruby tak ingin menatap Jeno. Hatinya yang melankolis tidak akan kuat jika harus bertemu pandang dengan mata bulan sabit Jeno.

Gadis itu bergerak naik ke atas ranjang, menata selimut dan bantalnya dengan sedemikian rupa agar kasur sempitnya ini muat di pakai bertiga.

Jeno yang tak di persilahkan kini mengundang dirinya sendiri untuk ikut bergabung. Berbaring bersama dan di bawah selimut yang sama. Lelaki itu tak mengambil tempat di sisi Rui melainkan dia berbaring di sisi Ruby dan memeluknya dari belakang.

SECOND CHANCE | LEE JENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang