4. Jadi Prioritas

152 17 0
                                    

Tak pernah ada hari yang tak sunyi untuk Ruby. Gadis itu berputar-putar di dapur setelah menidurkan putranya. Dia memasak untuk makan malam dan sedikit berbincang dengan dirinya sendiri.

Banyak hal yang telah terjadi di dalam hidupnya, beberapa hal hanya terlintas di kepalanya dan beberapa lagi terkubur di dalam perasaannya. Ia menyimpan dengan baik segala lukanya, dan akan menjadi rahasia untuk dirinya sendiri.

Ruby tak memiliki siapapun untuk dia ajak bicara, setelah dia kehilangan Jeno, sosok yang selama ini menjadi teman bicaranya. Tepat saat lelaki itu memiliki pendamping hidup, Ruby sudah sadar diri untuk menjaga jarak.

Mungkin Tuhan telah menyimpan maksud lain untuknya. Ketika Ruby melakukan kesalahan dan Rui tiba-tiba hadir. Bayi kecil itu akan menjadi teman bicaranya mulai saat ini.

Terkadang Ruby tak bisa mengutarakan isi hatinya dengan bercerita, seringkali dia hanya bisa mengutarakannya lewat air mata. Dan  Rui akan bergumam ketika melihatnya menangis.

Bukankah dia memang di takdirkan sebagai yatim piatu?
Dia sudah sendirian sejak awal, lalu kehadiran Jeno membuatnya terlena dan lupa dari mana asalnya.

Ruby sudah memutuskan. Dia akan mengandalkan dirinya mulai sekarang, ini demi kebaikannya dan juga kebaikan Jeno.

Tapi.....

Tampaknya Jeno tak berpikir demikian. Sejauh apapun Ruby berlari, Jeno tetap mendekatinya. seperti sekarang saat lelaki itu memilih rumah Ruby sebagai tempatnya untuk pulang.

Dengan wajah lelah dan senyuman tipis lelaki itu berkata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan wajah lelah dan senyuman tipis lelaki itu berkata...

"Aku bawa oleh-oleh."

Ruby berwajah garang. Dia tak kunjung menyingkir dari ambang pintu.

"Ini bukan rumahmu. Pulang sana!"

Tapi Lee Jeno tak mendengarkan. Dia menyerobot masuk dengan mudah dan membuat Ruby nyaris terjatuh.

"Terima kasih, aku ga akan sungkan, aku anggap ini rumahku sendiri. Dan kamu istriku sendiri." Jeno duduk semaunya di sofa Ruby dengan kaki menyilang di atas meja.

"Jangan ngawur ya Jen. Kamu udah punya istri, sana pulang ke rumahmu."

"Siapa yang kamu maksud? Ahh.. cewek sialan yang aku tampung di rumahku itu ?"

Astaga, Ruby tidak pernah tau kalau Jeno memiliki mulut sekejam itu. Bisa-bisanya dia bicara begitu soal istrinya.

Ruby ingin sekali mendorong Jeno pergi tapi dia sadar itu adalah hal yang sia-sia. Jeno saja menerobos masuk dengan mudah, jadi pasti sulit mengeluarkan lelaki itu dari rumahnya.

Pada akhirnya Ruby hanya pasrah. Mungkin dia akan di salahkan lagi karena kebebalan Jeno dan sifat egoisnya.

"Kenapa sih komitmen selalu kalah melawan ego? Apa cinta kalian selemah itu ? Kalian bangun itu selama 3 tahun loh."

Ucapan Ruby tak pernah meleset dari fakta, sekalipun Jeno denial terhadap perilakunya tapi jauh di dalam pikiran rasionalnya dia membenarkan ucapan Ruby.

Bahwa apa yang telah dia bangun ketika berpacaran dengan Caroline selama 3 tahun, semuanya kalah dengan ego nya.

Muncul sebuah pertanyaan di dalam kepala Jeno. Apakah selama ini dia tidak benar-benar mencintai Caroline ?

Ahh... Rasanya tidak. Dia yakin akan eksistensi perasaannya, tapi....
Kenapa jadi begini ?

"Caroline itu istrimu, dia yang harusnya jadi prioritas mu, bukan aku."

Tatapan Jeno mengarah padanya, meskipun begitu pikirannya terlihat masih di awang-awang.

"Iya aku tau, aku ngutamain dia kok. Cuma aku kasihan karena kamu sendirian."

"Aku ga butuh buat di kasihani Jen. Aku tau aku menyedihkan tapi aku ga mau mengemis belas kasihan dari kamu."

Jeno mendesah gusar. Lelaki itu bergeser tidak tenang lalu menurunkan kakinya dari atas meja.

"Bukan gitu maksudku, aku bukan mengasihanimu yang seperti itu...." Jeno terlihat bingung memilih kata. Dia menatap Ruby sekilas, lalu menatap arah lain dengan wajah sedikit frustasi.

"Aku tuh ga bisa berhenti khawatirin kamu, saat tiba-tiba kamu ga bisa di hubungin, kamu sakit atau kamu mau kemana-mana sendiri, Pikiranku ga tenang Ruby. "

Dan Jeno sendiri bingung kenapa dia merasa demikian. Mengkhawatirkan Ruby sampai seperti itu dan mengabaikan Caroline. Padahal Jeno tau dia mencintai Caroline tapi rasanya Ruby telah merenggut semua perhatiannya.

Ruby berkedip-kedip cepat. Gadis itu juga bingung. Sedikit salah tingkah membuatnya tak bisa lagi menatap mata Jeno.

Entah kenapa, kata-kata Jeno barusan membuat nya merasa menjadi sosok yang spesial. Tapi Ruby buru-buru menyangkalnya karena dia tidak yakin gadis sepertinya pantas mendapatkan itu.

"Y-yaa.. mulai sekarang jangan. Kamu harus perbaiki hubunganmu sama dia."

Ruby memilih untuk pergi,  menjauh dari Jeno rasanya ribuan kali lebih baik  daripada terus berdiri disana dan diam-diam mengharap lebih. Sekali lagi dia tak pantas untuk merasa di cintai oleh Jeno karena memang Jeno bukan miliknya.

Ruby berjalan ke kamarnya. Beruntung malam sudah cukup larut hingga Rui tak terbangun karena perdebatan ibunya.

Sialnya Jeno mengikutinya, dia menyelonong masuk dan berbaring di kasur Ruby lalu merangkul Rui seperti anaknya sendiri.

"Jen.. kamu tuh ya..."

"Aku ga bisa tidur di sofa. Kamu masa tega biarin aku tidur di sofa."

"Yaa kalau ga bisa pulang aja... Itu kan tempat tidurku."

Jeno tak ingin berdebat, terutama ketika Rui sedang tidur. Lelaki itu bangun dan menarik tangan Ruby mendekat. Jeno juga membukakan selimut untuk Ruby lalu mendorongnya hingga gadis itu berbaring di sisi lain ranjang.

"Udah ga usah debat, kasian Rui nanti ga bisa tidur. " Katanya beralibi.

Jeno berbaring dengan Rui ada di tengah mereka. Dia mulai memejamkan matanya dengan senyuman tanpa dosa. Mengabaikan Ruby yang masih menatapnya kesal.

Akhirnya dia bisa tidur dengan tenang tanpa memikirkan Caroline, tanpa perlu menahan emosinya pada wanita itu. Jeno akan melupakan sejenak masalahnya dengan Caroline dengan menggunakan Ruby sebagai pelarian.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SECOND CHANCE | LEE JENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang