10. Keputusan

3.7K 168 17
                                    

Dani selesai masak. Ia meletakkan nasi goreng dan telur gulung itu diatas meja.

"Kakak." Lirih mereka karena iba dengan Dani yang tak berhenti mengeluarkan air mata tanpa Isak tangisnya. Itu pasti menyakitkan.

Ke5nya turun dari kursi dan memeluk Dani bersamaan membuat Dani luruh.

"Hiks..."

Tangan mungil Fana menangkup pipi Dani yang sebelahnya nampak merah karena ditampar Tion.

"Dani."

Mereka menoleh dan melihat pria asing masuk kedalam rumah. Dani familiar dengan suara itu.

"Loh kok kamu nangis? Kenapa, Dan?" Tanya dokter Mali membantu Dani agar duduk nyaman di kursi meja makan.

"Tadi kak Dani berantem sama kak Tion, paman." Jawab Rehan yang cukup mengerti kondisi.

"Kak Tion nya kasar?"

"Kakak cantik ditampar, paman."

Dokter Mali mengangguk mengerti.

Lalu mengecek suhu badan Dani yang nampak masih panas.

"Sesek napas ga, Dan?" Dani menggeleng kecil.

"Semalam saya kemari karena kamu pingsan. Tion yang menghubungi saya. Jadi sekarang saya kemari lagi untuk ngecek kamu. Jangan nangis terus, Dan. Kasian paru-paru kamu. Atau mau ketemu bunda kamu? Saya antar."

Dani menarik napas dalam kemudian mengusap kasar wajahnya.

"Dani ga papa, om. Nanti aja Dani sendiri ke rumah. Om mau periksa Dani, kan? Sok atuh."

Mali menghembuskan napas pelan kemudian mulai mengecek kondisi Dani yang lumayan membaik.

"Pastiin kamu ga telat makan ya, dan. Lambung kamu harus diperhatiin dan jangan sering nangis."

"Iya."

"Yaudah saya harus pergi. Kalau ada apa-apa, telepon saya saja."

"Om ga makan dulu? Dani udah masak."

"Nggak usah. Saya banyak pasien. Lain kali ya." Dani mengangguk lirih.

Sebelum pergi, Mali memberikan baybay fever pada kening Dani untuk  sekedar meredakan panasnya sedikit.

"Kakak nggak papa?" Tanya polos Fana membuat Dani menatapnya. Ia tersenyum kecil dan mengangguk.

"Nggak papa. Ayo makan dulu. Habis itu kakak antar kalian ke ibu. Ibu sama bapak pulang hari ini. Kalian ga akan tinggal di jembatan lagi. Tinggal disini. Semua keperluan kalian kakak yang tanggung. Dan mulai Senin depan, kalian akan sekolah."

"Kenapa?" Tanya Rehan membuat Dani mengerutkan keningnya.

"Kenapa kakak jadi orang baik banget? Ga pernah kita ketemu orang sebaik kakak."

Dani tersenyum mendengarnya. Ia mengusap kepala Rehan pelan.

"Saling membantu itu perlu, Rehan. Kalian masih anak-anak. Masa depan kalian masih panjang. Udah ah jangan bahas itu. Nanti ibu kelamaan nunggunya. Mari makan."

Mereka menurut dan Dani membagi rata makanan yang ia masak. Banyak ia belajar mengolah dapur dari bunda nya membuat tangannya tak asing dengan bahan dapur.

Setelah makan mereka berangkat ke rumah sakit diantar pak Joko. Tentu saja Dani yang memanggilnya.

Anak-anak sangat senang ibu mereka baik-baik saja. Malah bisa tersenyum cerah dengan kondisi lebih baik dari sebelumnya.

Rencananya sore mereka akan pulang. Tapi sayangnya siang itu Dani harus pergi duluan.

"Maaf ya, Bu, pak. Dani ga bisa bantu pulangnya. Soalnya ada urusan. Tapi ibu bapak sama anak-anak nanti diantar pak Joko ke rumah."

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang