10. Haruskah Menghilang?

3.3K 279 38
                                    

Happy reading ......

Jika hujan saja mampu menerima takdirnya
tanpa sebuah penghakiman, kenapa aku
tidak? Tapi seringkali aku lupa, jika
aku hanyalah manusia yang tak
selalu merasa kuat akan
hidupnya di dunia.

— Xabiru Mahendra

.

.


.


.





Hujan tak pernah mengeluh saat di jatuhkan berkali-kali. Meski pasti rasanya juga sakit, namun hujan selalu menjalani takdirnya untuk terus ada. Setiap tetesan hujan yang tercipta, untuk beberapa orang, akan sangat melegakan.

Aroma hujan memberi tenang jiwa dan raga. Seperti malam ini, Biru tengah berdiri di balkon kamar dan memandang rintik hujan yang sudah tak sederas tadi.

Ia menikmati hujan sambil menunggu guru lesnya datang. Ya, guru les baru yang akan menggantikan Nero selama satu Minggu ini. Papanya tentu tak mau rugi dengan membiarkan dirinya tanpa belajar sehari pun.

Meski jauh, namun hidupnya memang selalu ada di dalam genggaman tangan Bima, ayahnya. Lagi pula, sejak dulu ini memang rutinitas yang harus ia jalani. Biru tak ingin mengeluh sama sekali. Hanya saja, Biru tak tahu akan jadi apa hidupnya selama satu Minggu ke depan bersama dengan Antariksa di sini.

Ting!

Satu chat masuk di ponselnya, lantas membuyarkan lamunan Biru. Ia segera meraih ponselnya yang ada di saku celana dan memeriksanya.

Benar bukan? Baru juga ia pikirkan Antariksa sudah memberinya perintah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Benar bukan? Baru juga ia pikirkan Antariksa sudah memberinya perintah. Cowok itu menghembuskan napasnya panjang. Ini baru terhitung 25 menit setelah kakaknya itu menjadikan dirinya babu secara sepihak.

Dan belum apa-apa, Antariksa sudah menyuruhnya ke kamarnya. Ia yakin, setelah ini tak ada hal baik yang akan ia terima. Biru menggenggam ponselnya erat dan sedikit tersentak saat getaran ponselnya kembali terasa.

Ada nama Aksa yang terpampang nyata di layar. Biru tak menjawab panggilan itu, hanya saja ia segera berlari ke luar kamar dan masuk ke kamar sebelah yang merupakan kamar milik kakaknya itu.

Ceklek

“Kenapa lama banget, hah? Bukannya udah gue bilang kalau jadi babu itu harus cepat pas di panggil majikannya!” semprot Aksa detik itu juga setelah ia melihat wajah Biru.

“Ada apa?” Lalu biru? Ia hanya membalasnya dengan kalimat sederhana yang malah membuat emosi Aksa semakin mendidih.

“Dasar nggak tahu diri!” makinya. Aksa kemudian berjalan ke meja belajar dan tak lama kembali lagi ke hadapan Biru. Menaruh buku-bukunya secara paksa di tangan Biru.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang