21. Dia Berharga

3.2K 275 72
                                    

Happy reading .......

Manusia itu membingungkan. Bisa berubah
dalam hitungan detik. Tanpa sebuah
kata apalagi rasa.

— Xabiru Mahendra —

.

.

.

.


Tepuk tangan meriah mengakhiri pertunjukan dari Starlight. Mereka hanya membawakan dua lagu saja. Tapi sungguh, semuanya begitu menikmati aksi panggung mereka. Hingga teriakan-teriakan itu masih terdengar ketika musik yang mereka mainkan sudah terhenti.

Brivan menunggu teman-temannya untuk berjalan ke arahnya. Lalu saat mereka semua sudah maju ke depan, mereka berlima membungkuk secara bersamaan.

Biru menatap apa yang ada di depan dengan binar mata yang menyenangkan. Ini adalah yang pertama baginya. Dan rasanya, tentu tak bisa Biru definisikan lewat kata. Semuanya, terasa membahagiakan.

Senyum yang jarang ia perlihatkan pada orang lain, kini ia lukisan tanpa sadar. Ada euforia yang luar biasa Biru dapatkan di sini. Rasanya, ia memang tak salah mengejar apa yang menjadi hobinya.

Ini sungguh berbeda dari dunia yang selama ini ia jalani.

Sementara itu, dari bawah panggung yang cukup jauh, Aksa turut menyaksikan itu semua.

Amazing, gue nggak nyangka mereka sekeren itu di atas panggung.”

Aksa bahkan mengacuhkan Nero yang sejak tadi berceloteh di sampingnya. Fokusnya hanya satu, senyum Biru di atas panggung. Senyum yang bisa jadi baru pertama kali Aksa lihat. Ada binar lebih dari bahagia di sana.

Cowok itu tertegun. Ponsel yang terus bergetar di genggamannya turut ia abaikan. Jangan kira Aksa sama seperti Biru. Meski sudah mendapatkan ancaman dari sang ayah, Aksa tetap menunggu sampai Biru selesai tampil.

Pandangannya terarah pada mereka yang tengah turun panggung. Ada senyum yang tanpa sadar Aksa lukisan di sana. Tanpa berlama-lama, Aksa menyusul mereka ke belakang.

“Gue nggak pernah sebangga ini sebelumnya.” Beralih pada Brivan yang tengah berkumpul dengan anggota Starlight setelah turun dari panggung.

“Ini penampilan paling sempurna di antara penampilan kita sebelum-sebelumnya,” kata Brivan lagi dengan bangga.

Belum juga mereka membalas kalimat dari Brivan, Aksa sudah lebih dulu datang dan menyita perhatian mereka. Apalagi kedatangan dirinya langsung menarik lengan Biru dengan keras seraya berkata, “Ayo balik.”

Biru mencoba melepaskan, namun Aksa malah semakin menyeret Biru menuju mobilnya tanpa perasaan. “Enggak, gue nggak mau pulang bareng Kak Aksa!” tegas Biru.

Ia masih trauma jika hanya berdua dengan Aksa. Bisa jadi Aksa akan membawanya ke tempat itu lagi. Pikiran Biru akhir-akhir ini memang begitu buruk jika sudah menyangkut tentang Aksa.

“Jangan ngelawan! Ini perintah!” sarkasnya.

Keributan yang Aksa ciptakan, lantas mengundang Brivan dan Nero untuk mendekat. “Biru biar pulang bareng gue. Gue bakal antar dia sampai rumah dengan selamat.” Nero ikut campur. Ia juga menarik lengan Biru hingga tangan Aksa terlepas dari sana.

“Lo siapa ngatur-ngatur, hah?” kesal Aksa.

“Gue gurunya.”

Aksa berdecih. “Cuma guru, ‘kan? Gue kakaknya, gue lebih berhak buat bawa Biru pulang!” Bahkan tanpa sadar, Aksa mengatakan jika ia seorang kakak bagi Biru. Sesuatu yang sejak dulu ia sangkal. Kembali terlontar di mulutnya.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang