44. Everyone Has Wounds Too

1.7K 186 42
                                    

Happy reading .......

Hidup memang tak selalu mulus, tapi jika terus
di timpa berbagai hantaman setiap saat,
apa itu masih bisa di sebut sebuah
kehidupan?

— Xabiru Mahendra —

.

.

.

.



“Sa, apa kamu tahu hal apa yang buat Brivan marah sama kakak? Kakak sudah mencoba segalanya, tapi hubungan kita tak kunjung membaik. Kakak nggak tahu di mana letak kesalahan kakak selain jarang pulang ke apartemen. Tapi itu pun ada alasannya. Kakak punya tanggung jawab pada pasien-pasien kakak. Itu sebabnya kakak nggak bisa selalu pulang.” Javier merasa sangat pasrah pada semuanya. Semua hal yang tak pernah baik di antara ia dan sang adik.

Hingga pada akhirnya ia mau tak mau harus bertanya pada Aksa. Javier yakin jika Aksa adalah satu-satunya orang yang tahu tentang adiknya.

Mendengar itu, Aksa terdiam sebentar. Ia tak menyangka jika pertanyaan ini yang ingin Javier tanyakan. Sebelum akhirnya ada helaan napas panjang yang ia keluarkan.

“Ingat waktu Kak Jev nggak pulang hampir satu bulan lamanya karena sibuk di rumah sakit?”

Javier tak mengatakan iya, tetapi cowok itu mengangguk mantap. Ia sangat mengingatnya.

“Waktu itu, pagi aku ke sini buat jemput Brivan ke sekolah. Tapi yang aku lihat, Brivan udah pingsan dengan demam yang tinggi. Lalu aku bawa ke rumah sakit dan dokter bilang, sebentar aja aku terlambat bawa Brivan ke sana, Brivan nggak akan selamat.”

“Ya Tuhan.” Javier mengusap wajahnya kasar. Ada cairan bening yang menggumpal di pelupuk matanya. “Kenapa Kakak nggak pernah tahu. Kenapa waktu itu kamu juga nggak kasih tahu kakak?”

“Nggak sesederhana itu Kak. Karena posisi Brivan saat itu bukan hanya sakit demam. Kata dokter, asam lambungnya naik dan itu sebenarnya yang buat Brivan pingsan.”

“Tapi yang aku nggak habis pikir, Brivan jujur sama aku kalau sebelumnya, dia memang sengaja nggak makan sampai maag nya kambuh itu buat cari perhatian dari kakak. Supaya kakak pulang, tapi ternyata Brivan kecewa karena kakak nggak pulang dan dia nyuruh aku untuk nggak kasih tahu kondisinya saat itu sama kak Jev,” jelas Aksa panjang lebar.

Semakin teriris hati Javier mendengarnya. Ternyata selama ini ia memang sering mengabaikan adiknya. Meski sebenarnya ia tak pernah berniat seperti itu. Ia selalu menyayangi sang adik sebagaimana mestinya. Hanya saja, kesalahannya terletak pada dirinya yang selalu bekerja, bekerja dan bekerja.

Menolong satu pasien dan pasien lainnya. Tapi mengabaikan seseorang yang begitu berharga di rumah. Javier begitu menyesal sekarang.

“Aku rasa, itu yang buat Brivan cukup merasa marah dan diabaikan. Tapi aku yakin, Brivan nggak pernah benci kak Jev. Brivan hanya kecewa dan menginginkan waktu yang selama ini hilang di antara kalian.

.

Javier menghela napas panjang seiring gema suara dari Aksa dua Minggu yang lalu terdengar lagi di telinganya meski ini tak ubahnya seperti ilusi.

Bahkan hingga detik ini, ia belum menemukan waktu yang tepat untuk meminta maaf pada adiknya dan memperbaiki semuanya.

Ceklek!

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang