53. Bentuk Penerimaan

2.3K 269 50
                                    

Happy reading  .......

Biarkan luka itu tetap ada pada tempatnya.
Biarkan kekosongan itu di tambal dengan
segudang rasa percaya. Segudang rasa
bahagia yang nantinya kita usaha
kan bersama-sama.

Javier Bagaskara —

.

.

.

.


“Kenapa bisa? Kenapa bisa Biru sampai kaya gini,” ucap Kelvin. Belum apa-apa, lututnya sudah terasa lemas saat melihat dari kaca di mana tubuh Biru terbaring di atas ranjang dengan di topang oleh banyak alat medis yang tak di mengerti olehnya.

“Mungkin Biru benar-benar udah lelah,” balas Devan yang berdiri di sebelah Kelvin. Lantas ucapan itu membuat kedua orang yang ada di sebelah Devan menatapnya tajam. Sementara anak itu, masih terus menatap lurus ke depan.

“Nggak pelu denial. Gue tahu yang selama ini Biru tampilkan di luar itu cuma topeng. Semuanya palsu dan Biru nggak bahagia,” katanya lagi.

Dan itu berhasil memudarkan tatapan tajam Aksa juga Kelvin. Mereka memang tidak terima. Sayangnya, apa yang Devan paparkan adalah kebenaran yang tak bisa mereka bantah.

“Tapi setidaknya, jangan tambah kesakitan adek gue lagi,” lirih Aksa.

“Yang di berita itu, benar?” tanya Kelvin. Sejujurnya lidahnya kelu untuk menanyakan hal ini. Tapi bagaimana lagi, ia harus bertanya dari orang terdekatnya langsung. Karena Kelvin tak ingin mempercayai berita yang anak-anak di sekolahnya buat.

Tak lantas menjawab, Aksa lebih dulu berbalik badan dan duduk di kursi tunggu yang tersedia di sini. Kepalanya menunduk dalam dengan kedua tangannya yang bertumpu di wajah.

“Gue harap itu juga cuma mimpi buruk gue. Tapi kenyataannya? Gue lagi nggak mimpi.”

Bagaimana bisa Aksa masih baik-baik saja setelah melihat adiknya tergeletak di tengah jalan dengan berlumuran darah. Ia nyaris gila jika saja saat itu Biru tak selamat.

“Biru pasti punya alasan untuk itu.” Devan masih percaya sepenuhnya dengan sahabatnya. Ini memang bukan tindakan yang benar dan tak bisa di benarkan. Tapi, ini akan terjadi hanya pada mereka. Orang-orang yang terlalu lelah pada dunia.

“Apa pun alasannya, harusnya nggak dengan cara kaya gini. Sebenarnya apa yang ada di pikirkan Biru. Dia nggak sendiri, apa dia lupa kalau masih ada kita semua? Kenapa dia selalu aja fokus pada orang yang nggak menerima dia? Kenapa Dev, kenapa?” kata Kelvin menggebu-gebu.

Remaja itu sungguh tak rela. Sangat-sangat tak rela melihat sahabatnya seperti ini. Terlebih, hatinya begitu sakit saat melihat keadaan Biru saat ini. Kelvin merasa menjadi sahabat yang tak berguna.

“Ini hidupnya, Biru bebas memilih untuk fokus pada mana saja. Kalau nggak dengan kaya gini, Biru juga nggak bisa istirahat.” Devan juga sedih, tapi mungkin ada setitik lega yang ia rasakan. Tidak papa untuk istirahat sebentar, asalkan nanti Biru bisa bangun kembali lagi dengan keadaan yang jauh lebih baik lagi.

Kepala Aksa yang sebelumnya menunduk, kini terangkat. Benar, selama ini Biru tak pernah istirahat. Jadi mungkin ini waktunya.

“Lo benar, adek gue memang butuh waktu buat istirahat.”

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang