56. Difficult (2)

1.6K 242 36
                                    

Happy reading .......

Ketika hidup terus berjalan, namun tidak ada
yang sesuai dengan pengharapan, harus
di bagian mana aku bisa menerima?

Antariksa Sean Mahendra

.

.

.

.



“Biru, tidak mau bicara. Dia bisa mendengar kita, tapi saat ini dia menolak untuk berbicara. Ini akan cukup sulit, tapi Biru hanya butuh support dan kepercayaan dirinya lagi. Semuanya bisa saling bahu membahu untuk membuat Biru kembali pulih seperti dulu.”

Aksa menghela napas kasar, kalimat dari Javier kemarin malam masih terus menghantui pikirannya. Cowok itu bangkit terduduk dari sofa yang semalaman ia tiduri. Tidak, sejujurnya Aksa tidak benar-benar bisa tertidur.

Ia menoleh ke samping di saat sinar matahari mulai terlihat meski kaca terhalang oleh tirai. Ia menghela napas panjang. Kemudian bangkit berdiri dan melihat ke sekitar. Kakaknya sudah tidak ada. Ke mana dia?

Jelita yang ingin membawakan seragamnya pun juga belum datang. Aksa lalu beralih berjalan menuju ranjang yang di tempati Biru. Senyum tipisnya terukir ketika ia melihat sang adik sudah bangun. Kendati dia hanya menatap lurus ke arah jendela.

Aksa kemudian berjalan ke arah jendela dan membuka tirai yang menutupi. “Good morning, lo udah bangun?” ucapnya sembari menghampiri Biru.

Meski masih tetap tidak ada respons seperti sebelumnya, tapi Aksa selalu mengajaknya bicara. Ia menyentuh telapak tangan Biru dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

“Dek, gue kayaknya mau bolos sekolah deh hari ini. Mau nemenin lo aja di sini,” katanya lagi.

Aksa mengusap lembut kepala Biru. “Beneran nih, gue bakal bolos terus setiap hari. Lo nggak mau marahin gue?”

Pasalnya, selama ini jika Aksa membolos, Biru pasti tidak akan suka. Ia sengaja memancing dengan kalimat itu agar adiknya merespons dirinya. Namun, nyatanya tidak. Biru masih tetap diam dengan pandangan kosong. Seolah yang hidup hanya raganya saja. Sedangkan jiwanya sudah mati.

“Oh ya, bunga pesanan lo udah gue bawain. Emangnya lo nggak mau lihat, hm?”

“Gue bela-belain bawa sampai ke sini, lho.” Aksa menghela napas saat melihat Biru belum meresponsnya. Aksa menggigit bibir bawahnya kuat, rasanya sakit sekali. Melihat kedua netra itu terbuka adalah hal yang paling ia tunggu. Tapi bukan dengan seperti ini.

“Dek? Mau jalan-jalan ke depan?” tawarnya. “Kita kabur dari Kak Jev, mumpung dia belum ke sini,” lanjutnya lagi.

Tapi apa yang Aksa dapat? Tidak ada. Jangankan menjawab, membalas tatapannya pun tidak. “Apa kita salah mempertahankan lo, Dek? Kenapa lo kaya gini?” lirih Aksa.

“Nggak ada yang salah, nggak papa jangan di paksa.” Itu, Jelita yang kemudian masuk ke dalam dengan menenteng tas berisi seragam sekolah Aksa.

Aksa menoleh ke belakang dengan raut wajah sedih bercampur frustrasi. Memang benar, harusnya kita tidak perlu berekspektasi terlebih dahulu. Karena semua hal bisa jadi tidak akan sesuai dengan apa yang kita harapkan.

“Kamu siap-siap gih, mandi terus berangkat,” kata Jelita pada Aksa.

Tapi Aksa masih enggan. “Nggak mau sekolah, Ma,” rengeknya.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang