29. A Promise

2.3K 251 23
                                    

Happy reading    ......

Part terbaik dalam hidup itu, saat orang
lain memandang kita berharga. Lalu,
menganggap kita juga layak hidup
di dunia.



— Xabiru Mahendra

.

.

.

.




“Kenapa kalian baru pulang?”

Tanya bernada tak ramah itu Bima keluarkan ketika ketiga putranya baru memasuki rumah. Ia meletakkan beberapa berkas yang tengah ia periksa ke atas meja. Saat ini ia tengah berada di ruang tamu. Bima memang berniat untuk menunggu mereka.

“Apa janji kamu sama Papa, Aksa? Papa izinkan kamu bawa Biru bukan berarti kamu bisa bebas sepuasnya main sampai nggak tahu waktu,” sambungnya kembali. Ia menetap satu persatu putra-putranya. Namun hanya Biru yang menunduk dan tak berani membalas tatapnya.

“Jangan marahin Aksa atau Biru. Justru, ke mana Papa tadi saat Biru pingsan? Mereka nggak sepenuhnya main. Aksa justru bawa Biru ke rumah sakit,” jelas Jenggala sejelas-jelasnya.

Bima memusatkan pandangannya pada Biru sebentar. “Tapi Biru baik-baik aja. Kamu jangan membual Jenggala hanya untuk melindungi mereka.”

“Kita nggak bohong sama Papa. Emangnya Papa nggak bisa lihat kalau wajah Biru pucat kaya gini?” kesal Aksa. Ia ingin berbicara lebih lagi, hanya saja tarikan tangan dari Biru, menghentikannya.

“Kak, udah,” ucapnya lirih.

Biru tak mau masalah kecil ini semakin besar. Apalagi ini juga salahnya. Harusnya tadi ia menolak saja ajakan dari kakaknya itu. Tidak cepat terlena dengan rasa bahagia yang hinggap di hatinya.

“Nggak bisa, Papa nggak bisa seenaknya menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Katakanlah Aksa yang paling berani di sini. Tapi ia sama sekali tak peduli. Selama apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran, ia akan terus melawan. Bahkan saat salah pun, dulu ia masih sering melawan. Apalagi saat ini.

Bima menghembuskan napasnya panjang. Rasa kesal dan marah bercampur menjadi satu. Apalagi, ia tak mau Biru menjadi pembangkang karena mendapatkan contoh dari Aksa maupun Gala. “Biru, naik ke atas. Sebentar lagi Nero akan datang,” katanya tegas yang tak mau di bantah.

Apa katanya? Nero akan datang, bahkan di jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam? “Pa, biarin Biru istirahat. Lagian ini juga udah larut. Masih ada hari lain buat belajar,” kata Jenggala.

“Nggak ada hari lain! Nggak usah belajar sekalian! Apa Papa pernah mikir kalau memaksakan keinginan Papa, itu juga ngebuat Biru tersiksa?” sarkas Aksa. Sungguh, ia sudah tak tahan lagi dengan semua perlakuan ayahnya pada Biru.

Meski, bukan secara fisik. Namun tuntutan tinggi yang Papanya itu berikan pada Biru juga bisa melukainya tanpa sadar.

“Kak, udah ya. Gue nggak papa kok,” katanya sungguh-sungguh pada Aksa.

“Biru, ke ruang belajar sekarang juga!”

“Iya, Pa.” Biru hendak melangkah, namun lengannya di tahan oleh Aksa, namun saat itu juga, Biru melepaskan tangan Aksa dan berkata tanpa suara, ‘Nggak Papa, gue baik-baik aja, Kak’.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang