50. Ingin Pulang

2.1K 310 129
                                    

TRIGGER WARNING⚠️ Konten sensitif !!!

.

Happy reading ......

Orang bilang, jangan buru-buru pulang. Kamu
belum cukup berperang. Tapi seisi dunia,
menolak kehadiranku. Masihkan aku
harus menunggu? Tidak! Karena
mati rasa pada dunia, itu
nyata adanya.

— Xabiru Mahendra

.

.

.

.




Berulang kali Nero kembali menghubungi Gala, namun sampai detik ini, nomor itu masih tak aktif juga. Cowok itu keluar dari kamar kosnya, mengunci pintu dan hendak pergi, mungkin ia harus ke rumah Gala.

Namun sebelum itu, ponselnya sudah kembali berdering. Awalnya, Nero pikir itu panggilan balasan dari Jenggala. Tapi ternyata, dari ibunya. Nero cepat-cepat mengangkatnya.

“Ada apa, Bu? Maaf ya Nero belum bisa pulang karena kuliah belum libur.” Itu yang Nero katakan pertama kali. Karena ia sudah hafal, ibunya sering memintanya pulang. Tapi bagaimana lagi, ia belum mendapatkan waktu yang pas.

“Bu?” ulang Nero lagi ketika ia tak mendengar suara apa pun dari seberang sana. Tapi berikutnya, Nero justru mendengar suara isakan tangis. Seketika cowok itu panik. “Bu, ada apa? Ibu nangis?”

“Nak, ayahmu masuk rumah sakit. Sakitnya semakin parah.”

“Sakit? Sakit apa, Bu? Kenapa Ibu selama ini nggak pernah cerita?” Nero menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Ia langsung merasa lemas seketika saat mendengar ayahnya sakit parah.

“Maaf, Ibu takut mengganggu kuliah kamu. Ayahmu sakit gagal ginjal. Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana. Ayahmu harus segera di operasi. Tapi Ibu tidak punya uang sama sekali.” Tangis ibunya dari seberang sana semakin terdengar.

Dan turut membuat air mata Nero menetes. “B–berapa Bu? Akan Nero carikan.”

“20 juta, dan harus hari ini. Ibu juga lagi berusaha untuk cari pinjaman. Yang terpenting kamu pulang dulu, Nak.”

Cowok itu menghela napas panjang. Rasa sesak di dada kian terasa. “Jangan, Ibu temani ayah di sana. Nero ada uang tabungan 10 juta. Nero langsung transfer ke ibu. Nanti sisanya, Nero akan cari.”

“Nak, maaf Ibu jadi merepotkan kamu. Maaf Ibu telah membebani kamu dengan hal yang seharusnya tak kamu pikirkan.”

Nero menggeleng tidak setuju. Meski sang ibu tak bisa melihatnya. “Tidak, Bu. Yang terpenting, kesembuhan ayah itu nomor satu. Tunggu Nero ya, Bu. Nero pasti akan dapatkan uangnya segera.”

Setelah itu sambungan telfon terputus. Nero berjalan dengan lunglai dan duduk di undakan tangga. Ia mengusap wajahnya kasar. Takut, cemas, sedih dan marah bercampur menjadi satu.

Mengapa selama ini ibunya diam saja dan tak memberitahunya? Nero sungguh merasa menjadi anak yang tidak berguna. Cowok itu mengusap air matanya yang kembali jatuh. Terlebih, ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu satu hari?

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang