31. Real Life

2.2K 221 25
                                    

Baca sampai akhir, please 🥺😭
.

Happy reading ........

Beberapa orang, sibuk menghakimi. Sebagian
lagi tengah berjuang untuk mewaraskan
diri. Bukankah hidup memang seperti
itu? Penuh penghakiman bagi jiwa-
jiwa yang berantakan.

— Xabiru Mahendra —

.

.

.

.

Kekosongan itu begitu terasa saat beberapa jam yang lalu Jenggala pergi dari sini. Rasanya, rumah ini sudah terlihat sepi lagi. Padahal selama ini, kakak sulungnya itu juga tak pernah banyak bicara. Mengapa Biru merasakan demikian?

Bahkan Aksa pun masih ada di sini. Biru menolehkan kepalanya saat pintu kamarnya di buka dari luar. Saat ini pukul tujuh malam, Biru tengah mengerjakan tugas sekolahnya di saat Aksa tiba-tiba datang membawa dua kardus tak terlalu besar. Biru sudah bisa menebak apa isinya.

“Ru, sini ngapain lo ada di situ?” kata Aksa saat cowok itu sudah duduk di pinggiran ranjang. Dua kardus berisi sepatu itu ia letakkan juga di sebelahnya.

“Lagi kerjain tugas sekolah, Kak.”

“Ck! Kerjain nanti aja sini gue mau nunjukkin sesuatu sama lo,” kata Aksa semangat.

Berhubung ini adalah hari terakhir Aksa ada di sini. Jadi, Biru menuruti semua keinginan kakaknya itu. Ia menutup bukunya dan berjalan ke arah sang kakak. Duduk di sana, sambil menunggu apa yang ingin Aksa katakan lagi.

“Lihat deh sepatu baru gue, bagus nggak?” ucapnya dengan kedua mata berbinar. Sepatu yang ia impikan sejak lama sudah ada di genggamannya sekarang. Aksa membuka dua kardus itu dan mengeluarkan dua pasang sepatu dari sana.

Biru mengangguk dan setuju dengan apa yang Aksa bilang. “Iya, Kak emang bagus kok sepatunya.”

Kemudian Aksa malah menyodorkan sneakers yang berwarna putih itu ke hadapan Biru yang membuat anak itu mengernyit tak mengerti. “Cobain deh.”

Tapi Biru belum menerimanya. “Kok gue, harusnya Kak Aksa yang cobain.”

Aksa berdecak, kemudian ia memakai sneakers serupa tapi berwana hitam. Kemudian ia kembali lagi menyodorkan sneakers berwarna putih itu ke hadapan Biru seraya berkata, “Buruan cobain, gua mau lihat.”

Karena sudah di paksa, Biru pun akhirnya mencobanya. Ukuran kaki mereka itu sama, itu mengapa sepatu itu juga pas saat di pakai oleh Biru. Aksa tersenyum senang melihatnya.

“Kan, pilihan gue emang nggak pernah gagal. Lo emang cocok pakai yang itu. Nanti kita pakai bareng pas jalan-jalan pokoknya,” kata Aksa lagi dengan bangga.

Sementara Biru masih tak mengerti dengan makna ucapan sang kakak. Apa dia akan meminjami dirinya sepatu ini ketika tengah jalan-jalan atau bagaimana?

“Maksudnya Kak?”

Aksa memutar bola matanya malas. “Masih aja lo nggak ngerti. Itu sepatu buat lo.”

“Hah? Kok buat gue, Kak? Ini Mama lho yang beliin buat Kak Aksa.” Tentu saja Biru sudah pasti akan menolaknya. Meski Aksa tanpa paksaan yang memberikannya. Biru merasa tidak pantas.

“Udahlah, gue nggak akan menerima penolakan. Jadi lo nggak boleh nolak itu.”

Biru tetap menggeleng. Mana bisa seperti itu. Ia sungguh tak ingin menerima ini semua. Bukan karena ia tak suka atau bagaimana. Sungguh, Biru hanya tak bisa menerimanya. Apalagi yang ia tahu, Jelita membelikan ini semata-mata untuk Aksa.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang