55. Broken Hopes

1.7K 266 41
                                    

Happy reading  ........

Baru saja harapan itu ada, nyatanya kini
sudah di patahkan oleh semesta.

— Antariksa Sean Mahendra —

.

.

.

.




“Biru .... sudah sadar. Ini merupakan suatu keajaiban,” ucap Javier dengan seulas senyum yang tercetak di bibirnya. Perasannya juga ikut lega dan senang.

Benarkah? Jenggala maupun Bima tak henti-hentinya mengucap syukur untuk itu. “Boleh saya masuk, Dok?” tanya Bima tak sabaran.

Javier mengangguk dan Bima segara masuk ke dalam. Sementara Javier dan Jenggala masih ada di depan pintu. Dokter muda itu lantas menepuk bahu Jenggala dua kali. Untuk kemudian berkata, “Kondisi biru masih lemah dan jangan terlalu lama di ajak bicara dulu. Tapi ini adalah suatu perkembangan yang bagus. Semoga nanti tidak ada efek samping yang terjadi setelah operasi kemarin.”

Sementara itu, Bima yang memang sudah lebih dulu masuk ke dalam, segera menghampiri ranjang yang Biru tempati. Di sana, ia lihat putranya sudah membuka mata.

“Biru, nak ini Papa,” katanya dengan satu tetes air matanya yang jatuh. Bima langsung meraih telapak tangan putranya untuk ia genggam. "Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mau bertahan. Terima kasih, Tuhan."

Namun, detik berikutnya Biru justru menarik tangannya dari sang ayah. Saat tatapannya beradu, tubuhnya bergetar ketakutan. Hingga Biru berteriak histeris setelahnya. Dan melempari Bima dengan apa saja yang dapat ia jangkau setelahnya.

Sejenak, Bima diam mematung. Suaranya tercekat di tenggorokan, ia tak mampu bersuara. Apalagi setelahnya Biru berteriak kesakitan dengan menutupi kepalanya menggunakan lengannya.

“J–jangan pukul.”

“S–sakit, ampun.”

Kata itu yang berulang kali terdengar sampai Jenggala dan Javier masuk kembali ke dalam. Jenggala langsung menghampiri Biru dan memeluknya dengan hati-hati.

“J–jangan pukul, sakit.”

“Biru, hey. Tenang okay, ini gue Gala. Nggak akan ada yang nyakitin lo di sini.”

Meski dengan gerakan lemah, Biru tetap meronta-ronta di dalam dekapan Jenggala. Tapi Jenggala semakin mendekapnya erat. Dan membisikkan banyak kalimat penenang.

“Lo aman di sini, nggak ada yang mau nyakitin lo, Biru.”

Tidak ada sahutan lagi, namun Jenggala merasakan jika napas Biru semakin memendek juga tubuhnya yang bertumpu padanya seutuhnya. Bukan hanya itu, setelah Jenggala baringkan, tubuh Biru mendadak mengejang yang membuat semua orang yang ada di sini panik.

Javier dengan cekatan mengambil posisi Jenggala dengan cowok itu yang perlahan mundur karena tahu situasi. Bersamaan dengan itu, ada satu suster datang dan menyuruh Bima serta Jenggala keluar ruangan.

Namun khusus untuk Jenggala, Javier kemudian menahannya. Karena biar bagaimana pun, Jenggala akan menjadi dokter di masa depan. Dia bisa melihatnya dari sekarang hal-hal seperti ini dan bagaimana cara menangani pasien secara tepat dan cepat. “Kamu boleh ada di sini,” katanya.

Dan cowok itu kemudian tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk kemudian berjalan memutar ke sisi ranjang yang lain dan turut menggenggam tangan sang adik yang terasa dingin.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang