36. Where Did It Go?

2K 228 44
                                    

Happy reading  ......

Ke mana perginya senyum dan tawa itu?
Mengapa sekarang yang terlihat
hanya palsu?


Xabiru Mahendra

.

.

.

.





Mungkin bisa di bilang hidup yang Biru jalani saat ini hanya monoton, membosankan dan tak ada yang menaik dengan hidupnya. Ia hanya terus menjalani, menjalani dan bertahan mungkin.

Setiap hari, Biru merasa energinya dalam menjalani hidup semakin berkurang. Ia bahkan sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Kapan terakhir ia bisa tertawa dan hidup dengan bebas.

Ia tak mendapatkan itu semua. Bahkan meski ia masih ikut bermain sepak bola di lapangan ini untuk mencatatkan nilai, teman sekelasnya tetap mengasingkannya kecuali kedua sahabatnya. Ya, hanya mereka berdua yang masih sudi tersenyum padanya di saat yang lain memilih untuk memalingkan wajah.

Kondisi ini tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

“GOL!” Sorak-sorai teman-temanya yang menyuarakan kemenangan setelah Nathan memasukkan bola itu ke dalam gawang kini mulai menarik Biru dari lamunannya.

Prit prit!

Bahkan Biru sampai sedikit kaget saat mendapatkan rangkulan dari kedua sahabatnya. Mungkin sangking tenggelamnya ia pada lamunannya sendiri.

“Baik anak-anak kita sudahi sampai di sini,” ujar guru mereka.

Pria itu lantas mengalihkan tatap pada kedua muridnya. “Biru, Nathan, kalian berdua bawa bola-bola itu ke tempat penyimpanan,” titahnya.

Ya, di sini memang ada banyak bola karena tadi sebelum bertanding dadakan. Mereka sempat di nilai soal seberapa kuat dan jauh tendangan bola mereka satu per satu.

Semuanya berhamburan meninggalkan tempat ini setelah guru olahraga mereka pergi dan jam olahraga usai kecuali empat cowok yang masih ada di tempat ini.

“Kita bantuin,” kata Devan.

“Nggak usah, cuma bawa bola doang,” tolak Biru.

Bukan itu sebenarnya tujuan Kelvin juga Devan  melainkan di sini ada satu sosok yang selalu membuat mereka waspada.

“Emang kenapa, banyak juga bolanya,” sahut Kelvin.

“Ada troli yang bisa angkut sekaligus. Udah kalian ganti seragam aja sana.” Tapi sekali lagi Biru meyakinkan jika ia bisa sendiri. Tunggu, ia tidak sendiri, ada Nathan di sini.

Kelvin menghela napas, namun melirik Nathan tajam. Bahwasanya ia tahu jika Nathan tak pernah bersikap baik pada Biru. Ia hanya khawatir saja. Tapi ia juga tak bisa menolak perkataan Biru.

“Yaudah, kita tunggu lo di ruang ganti.”

Biru mengangguk dan membiarkan kedua sahabatnya pergi dari sini. Hingga tersisalah Biru dan Nathan. Remaja itu menghiraukan sosok itu dan mengerjakan tugasnya yang mengambil beberapa bola untuk ia masukkan ke troli.

Dugh!

Awalnya memang seperti itu, tapi detik berikutnya Nathan melempar salah satu bola sampai mengenai punggung Biru dengan sengaja.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang