25. Then, How?

2.8K 262 22
                                    

Happy reading .......

Kamu bisa, jika mau berusaha. Kita bisa
bahagia jika sudah saatnya. Bukan
kah hidup memang seperti itu?

— Xabiru Mahendra —

.

.

.

.




Hari berganti dan Biru melakukan aktivitasnya seperti biasa, tapi kali ini Biru berangkat sekolah bersama dengan Aksa. Karena motornya di sita oleh Bima. Papanya itu benar-benar serius ingin menghukumnya.

Dia juga sudah menyiapkan serentetan jadwal baru untuknya. Tak ada lagi main dan sebagainya. Selain menerima, memang apa yang bisa Biru lakukan?

Remaja itu memasuki kelasnya ketika sudah hampir semua siswa datang. Seperti kebiasaan Aksa yang sering datang di jam-jam mepet. Kelvin dan Devan yang biasanya datang di akhir pun juga sudah datang.

“Ngapain aja lo kemarin? Kenapa nggak angkat telfon gue?” kata Kelvin tak sabaran bahkan sebelum Biru duduk di tempatnya.

“Iya, lo bikin kita khawatir,” sahut Devan.

Dan Biru hanya tersenyum tipis mendengarnya. “Sorry, kemarin nggak sempat pegang ponsel.”

“Kenapa? Semuanya baik-baik aja, ‘kan?” Baik Kelvin maupun Devan memang tak begitu mengenal kehidupan Biru terlalu dalam. Hanya saja, sedikitnya mereka tahu jika sebuah nilai itu begitu berpengaruh besar di hidup Biru.

“Kalau nggak baik gue nggak mungkin ada di sini. Lagian, aman kok cuma dapat omelan dikit aja dari bokap,” katanya yang jelas-jelas itu hanya bohong dan Biru menambahkan sebuah senyuman di sana agar keduanya percaya.

Devan menghela napas panjang. “Bagus deh kalau gitu.”

“Makanya, besok-besok kalau gue telfon di angkat dong. Bikin panik aja lo.” Karena saat di lihat lagi memang Biru terlihat baik-baik saja, Kelvin pun jadi lega.

Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal pikirannya. “Tapi, pas gue lihat-lihat lagi, nilai-nilai lo itu nggak masuk akal. Masak iya lo ada di bawahnya Devan. Itu udah nggak mungkin banget,” ucap Kelvin. Cowok itu juga duduk begitu saja di atas meja yang Biru tempati. Sementara Devan masih diam dan menyimak.

“Mungkin emang gue yang kurang belajar.”

“Biasanya tanpa lo belajar juga bakal bagus nilai lo,” sahut Devan dan Kelvin mengangguk membenarkan.

Tak bisa di pungkiri jika semuanya memang terasa janggal, Biru pun demikian tapi semuanya juga sudah terjadi. Biru memang mencurigai seseorang, hanya saja ....

“Lo nemuin sesuatu yang aneh nggak? Bisa jadi ada yang sabotase nilai-nilai lo kalau menurut gue.”

Menghela napas pelan, Biru kemudian mengeluarkan satu kertas dengan namanya yang tertera di bagian paling atas. “Entah kenapa gue yakin ini bukan tulisan tangan gue,” ungkapnya.

“Tapi kalau pun ada orang yang nggak suka sama gue, gimana caranya dia memalsukan ini semua? Di saat kertas ujian ini di bawa langsung sama guru?” Itu agaknya yang membuat Biru masih tak habis pikir.

“Lo salah, bukannya dari kemarin pas UTS ada yang bantuin Bu Dewi buat bawa kertas-kertas ujian itu ke ruangan guru, ya?” Dalam benak Kelvin, ia langsung bisa menebak siapa orangnya. Ia melirik bangku di barisan paling belakang dengan pemiliknya yang tengah tertidur di sana.

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang