47. Pain

1.7K 219 57
                                    

Happy reading .......

Di antara banyaknya manusia, mengapa harus
mereka yang menjadi luka sekaligus obat
terhebat dalam hidupku?

Xabiru Mahendra

.

.

.

.




Brak!

“Apa-apaan ini, Biru! Kenapa belum siap-siap berangkat ke sekolah? Sengaja kamu?”

Bima sudah cukup bersabar kemarin saat ia menemukan Biru ada di rumahnya Darel saat harusnya putra bungsunya itu ada di sekolah.

Ia juga hanya memarahi sedikit tanpa memberi hukuman pada Biru. Itu semua tak lepas dari Darel yang mengatakan padanya jika Biru telah menjadi korban perundungan di sekolahnya.

Tapi pagi ini, ia mendapatkan laporan dari asisten rumah tangga nya jika Biru belum keluar kamar sejak tadi. Padahal ini sudah jam-jam Biru yang harus berangkat ke sekolah.

Dan benar saja, ketika ia membuka pintu, Biru justru tengah santai duduk di atas ranjang. Bahkan seragamnya pun belum di pakai. Tapi rambut setengah basah anak itu sudah membuktikan jika Biru sudah mandi.

Hanya saja, remaja itu sesungguhnya tak mau berangkat ke sekolah hari ini. Apalagi ia tak ingin di perlakukan seperti kemarin lagi. Biru hanya ingin hidup dengan tenang. Namun, orang-orang di sekelilingnya rupanya tak ingin melihatnya begitu.

Emosi Bima tiba-tiba memuncak ketika melihat Biru yang hanya diam saja. Pria itu menarik lengan Biru untuk berdiri. “Apa sebenarnya yang ada di otak kamu, hah?”

“A–aku nggak mau sekolah, Pa. Aku home schooling aja, boleh ya, Pa. A–aku nggak mau kembali lagi ke sana.”

“Apa kamu bilang?” kata Bima lagi. Mungkin saja ia tengah salah dengar, ‘kan?

“A–aku nggak mau berangkat sekolah,” cicitnya.

Plak!

Tamparan itu seketika membuat Biru tersungkur ke atas ranjang. Hilang sudah kesabaran Bima kali ini. “Sekolah itu pilihan kamu sendiri, kamu dan Aksa yang mohon-mohon untuk tetap berada di sana. Dan nggak mau waktu Papa ingin memindahkan kamu ke sekolah lain. Dan sekarang apa? Kamu mau mempermainkan Papa, iya?”

Biru menggeleng. “A–aku .... ”

“Jangan banyak alasan, Biru!” potong Bima cepat sebelum Biru selesai berbicara. Bahkan sepertinya Bima enggan memberikan waktu bagi Biru untuk bersuara lebih lagi. “Jika itu soal apa yang Darel katakan kemarin. Ingat, kamu itu laki-laki. Harusnya kamu membalas mereka, orang-orang yang sudah memperlakukan kamu kasar. Bukan malah ingin menghindar seperti ini!”

“Papa nggak mau tahu. Cepat pakai seragam kamu, dan Papa sendiri yang akan antar kamu ke sekolah!”

Selepas mengatakan hal itu, Bima keluar dari kamar Biru dengan membanting pintu. Sementara itu, mau tak mau kini Biru bergerak mengambil seragamnya dan memakainya. Meski sejujurnya, ia sungguh tak mau ke tempat itu lagi.

Baginya, sekolah bukan lagi tempat untuk menuntut ilmu. Tapi tempat di mana ia merasakan pilu.

***

Please, Hug MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang