19. Kepulangan orang Tua Rean

14 4 2
                                    

"Kak Rean jahat! Asha peringati sekali lagi, jangan pernah sembarangan cium pipi Asha!" Itu dialog pertama dari Hafasha, Rean baru saja mau duduk di buat mematung oleh kalimat itu. Dia berdehem canggung, lalu duduk di depan Hafasha.

"Gua, minta maaf Sha. Gua khilaf. Sebagai gantinya, lu boleh kok cium pipi gua kaya gua cium pipi lu. Hehe," ujar Rean tanpa tahu malu. Hafasha melotot lalu memukul lengan Rean dengan kertas menu.

"Kak, itu dosa!" jelas Hafasha.

"Kakak, ga bisa seenaknya cium perempuan sembarangan. Itu ga boleh." Hafasha menjelaskan hal itu dengan mata berkaca-kaca. Rean gelagapan.

"Sha! Ya Tuhan, maaf Sha. Gua minta maaf, please jangan nangis ya," ujar Rean dengan menangkup kedua tangan di depan dada.

"Gak, apa-apa. Tapi, lain kali ga boleh kaya gitu."

"Tenang aja, gua akan coba tahan nafsu gua. Tapi, ga janji." Rean menyengir.

"Terserah kamu deh kak."

Minuman yang mereka pesan datang, sembari menghabiskan minuman itu. Rean mulai membuka pembicaraan, dan sesekali, Hafasha menjawab.

"Sha."

"Iya, kak?"

"Lu, ada pacar?"

"Gak ada."

"Kalau orang yang lu, suka?"

"Ada."

"Kenapa kalian ga pacaran?"

"Dosa."

"Dosa? Semua orang juga melakukan dosa, dan mereka biasa aja. Selagi dosa itu di tanggung masing-masing." Entah ada apa dengan Rean hari ini. Dia jadi banyak bicara.

"Asha bingung jelasinya kak, intinya dosa."

"Sha," panggil Rean yang kesekian kalinya.

"Iya, kak Rean?"

"Menurut lu, orang yang mencintai seseorang, tetapi terhalang oleh keyakinan. Gimana?"

"Mencintai seseorang itu fitrahnya manusia. Kita bebas mencintai siapapun. Itu di perbolehkan dalam agama, tapi yang tidak di perbolehkan oleh agama Islam adalah menikah beda agama." Rean mendengar dengan serius.

"Kenapa?"

"Karena Allah SWT. Sudah menjelaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 221 yang mengandung arti Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik. Kurang lebih itu yang Asha pahami."

Tanpa rasa curiga, Hafasha tetap menjelaskan apa yang dia pahami pada Rean.

"Jadi, bagaimana jika seorang laki-laki beda agama, ingin menikah dengan wanita Islam?"

"Yang Asha tahu, laki-laki itu harus mengikuti agama perempuan. Agar dia bisa menikahi perempuan yang dia cintai. Begitupun sebaliknya."

"Oh, begitu ya?" Rean mengangguk.

"Iya kak, tapi Asha masih kurang memahami. Jadi jauh lebih baik kalau kak Rean mau tanya soal itu, ya harus sama yang lebih paham, seperti Ustadz? Memang kenapa kak Rean tanya soal itu? Kakak, lagi suka sama perempuan yang beda agama ya?" Entah kenapa, Rean yang mendengar kalimat terakhir dari Hafasha, seperti merasakan kesedihan. Rean mengerjapkan mata beberapa kali.

Rean bingung harus jawab apa, "eum gak, kenapa-napa cuma mau tanya aja. Soalnya Bryan tanya itu ke gua," jawab Rean bohong.

Hafasha yang memang gampang di bodohi pun hanya mengangguk, dia sempat berpikir bahwa Reano mencintai perempuan yang bukan beragama Islam. Pada kenyataannya, Rean memang bukan beragama Islam, entah bagaimana reaksi Hafasha nanti, setelah tahu bahwa Agama Rean Kristen. Membayangkannya saja sudah pusing.

•••

"Selamat datang kembali Tuan dan Nyonya." Bi Inah menunduk hormat ketika kedua majikanya kembali ke rumah. Rosita tersenyum lalu memeluk Bi Inah singkat. Sifat ramah tamah yang di miliki Rean, berasal dari Ibunya.

"Apa kabar Bi?"

"Alhamdulillah, saya baik Nyonya. Nyonya sendiri apa kabar?" tanya Bi Inah.

"Saya baik juga." Rosita tersenyum, lalu menoleh ke belakang, di mana suaminya berada. Alexandre Abazar. Kepala rumah di sana.

Dia tengah melirik ke pintu kamar putra tunggalnya. Lalu menatap Bi Inah.

"Di mana Reano?" tanyanya. Alexandre, atau kerap di sapa Alex. Memiliki sifat dingin dan cuek dengan sekitar. Dia juga sedikit tempramen, jika ada yang membuat dia kesal, Alex tidak segan-segan memukul sampai babak belur. Tidak ada yang bisa meredakan emosi itu kecuali istri nya. Rosita. Sifat itulah yang di warisi oleh Reano, anaknya.

"Aden, belum pulang Tuan. Mungkin lagi main sama teman-temannya. Kalau begitu, nyonya dan Tuan silakan duduk dulu, saya pamit ke dapur ambil minum. Permisi," pamit Bi Inah.

Rosita dan Alex duduk di sofa, mengistirahatkan tubuh mereka. Tiga bulan tidak pulang, kini mereka bisa kembali ke tanah air setelah pekerjaan mereka selesai.

"Hubungi Reano, suruh dia pulang." Bi Inah baru saja meletakkan secangkir kopi dan jus di meja, tersentak ketika Tuan rumah memintanya untuk menghubungi Reano.

"Baik, Tuan." Bi Inah kembali ke dapur untuk mengambil ponsel, lalu segera mungkin menelpon Reano. Dia harap-harap cemas. Rean jarang memeriksa hpnya, dia takut jika kelamaan, Tuan bisa marah. Setelah 3 kali tidak di angkat, panggilan ke 4 Rean menjawab.

"Iya Bi Inah, ada apa?"

"Aden, Aden ada di mana?"

"Rean, masih main Bi. Kenapa? Tumben nelpon Rean jam segini?" tanya Rean, sembari melirik jam tangan, sudah pukul 5 sore.

"Aden, pulang yak. Nyonya sama Tuan sudah pulang. Tuan, juga minta Aden pulang sekarang."

"Papah, mamah pulang? Emang masih ingat rumah?"

"Aduh, Den. Ayo atuh ih, cepetan pulang. Keburu Tuan marah."

"Iya-iya, Rean pulang."

Sambungan mati. Bi Inah khawatir, Tuan bisa marah kalau harus menunggu terlalu lama. Bi Inah pun jalan mendatangi Rosita dan Alex.

"Maaf Tuan, Aden lagi jalan pulang. Mohon di tunggu sebentar."

"Baik."

Tidak butuh waktu lama, Reano datang sembari menenteng helm ke rumah. Rosita tersenyum bahagia, dia berdiri dan langsung menerjang tubuh tinggi anak tunggal kesayangannya.

"Rean," gumam Rosita, memeluk Rean dengan erat. Rean hanya tersenyum tipis pada ibunya, lalu balas memeluk Rosita, tak kalah erat.

"Rean kangen mamah," ujar Rean dengan wajah dia tenggelamkan di curuk leher Rosita.

"Mamah juga kangen sama anak gantengnya mamah. Sehat sayang?" Rosita menangkup wajah Rean dengan berlinang air mata. Tiga bulan tidak bertemu Reano, membuatnya seperti ingin mati saja.

"Rean sehat mah, mama apa kabar?"

"Mamah sehat sayang. Lihat! Mama gemukan kan?" Rosita tertawa.

"Reano." Tengah bertukar rasa rindu, kini Alex bersuara membuat Reano dan Rosita menoleh lalu melepaskan pelukan mereka.

Reano berjalan menuju Papahnya dengan tidak minat. "Pah," ujar Rean sembari memeluk papahnya. Alex membalas pelukan Rean dengan erat, sembari menepuk punggung Rean.

"Duduk," titah Alex. Kini Rean ada di tengah-tengah orang tuanya. Dengan Rosita yang terus bersandar di bahu Rean.

"Bagimana sekolah kamu?"

"Baik."

"Sudah pikirkan, apa yang Papah bilang seminggu yang lalu?"

"Kasih Rean waktu 1 Minggu lagi Pah. Rean harus mempertimbangkan semuanya dengan matang."

"Rean, jangan terlalu di pikirkan. Apapun pilihan kamu, Mamah dan Papah akan terus kasih support." Rosita mengelus rahang Rean.

"Tapi, Papah berharap kamu setuju Rean."

"Iya, kasih Rean waktu. Rean akan kasih jawabanya nanti."

TBC....

REANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang