16. Sudah Terlanjur

185 8 0
                                    

“Lupakan hubungan satu malam ini.”

Arum duduk bersandar di kepala ranjang sambil memeluk lutut. Ardian hanya diam di pinggir ranjang dengan sebotol air mineral di tangannya.

“Maafkan saya, Bu Arum,” kata Ardian dengan nada penuh penyesalan. Begitu juga dengan penyesalan Arum saat ini. Kali pertama Arum melakukan hubungan terlarang dengan orang lain.

Apakah beratnya cobaan yang Arum terima saat ini yang menjadi alasan? Suami Arum selingkuh, kenapa tidak dibalas dengan perselingkuhan juga? Begitulah pikiran Arum ketika minuman memabukkan itu merasuk ke dalam tubuhnya. Menjadi salah satu pendorong besar ...

Atau karena Arum telah dibutakan napsu belaka, alasan dia melakukannya? Arum menatap wajah Ardian dari samping, yang diakui memang sosok rupawan. Entahlah ... hanya saja Arum yakin ini tidak akan terjadi saat dia melangkah masuk ke dalam diskotik itu.

Aku sungguh menyesal.

“Bu Arum ...” kata Ardian mengalihkan pikiran Arum. Raut wajah penyesalannya masih belum hilang. Seperti halnya Arum sendiri. “Bukan maksud saya berbohong pada Bu Arum. Sebenarnya itu karena ...”

“Sudahlah, Ardian, tidak usah dibahas. Saya sudah tahu alasan kamu melakukannya. Kan kamu sendiri yang berulang-ulang mengatakannya selama kita bercinta? Sampai saya jengah lalu menyuruh kamu untuk fokus dengan kenikmatan kita tak lama ini. Meski menyisakan penyesalan.”

“Ardian, cinta memang bisa membuat orang buta dan gi-la. Jadi tidak usah terlalu merasa bersalah seperti itu.”

“Sebentar lagi waktunya sarapan. Bersihkan diri kamu. Jangan sampai perut kamu kosong.” Arum tersenyum. “Kita tidak perlu berlarut-larut dalam penyesalan. Kita sudah melakukannya dan harus selalu siap dengan risikonya. Bukankah itu sudah diajarkan dalam dunia bisnis?”

Ardian tertegun untuk sesaat, “Ya, Bu Arum.”

“Halo,” kata Arum, saat mengangkat telepon dari seseorang. Sementara Ardian ada di dalam kamar mandi.

“Apa lo udah gi-la?” bentak suara di ujung sana. “Belum puas lo permaluin gue di depan umum, terus ... ngomong apa lo sama Oma, nenek sia-lan!”

“Aruma! Sang Ibu Direktur! Apa yang membuat kamu menelepon saya, Nak ...”

“Oh, kamu rupanya. Saya pikir siapa.”

“Nggak usah pura-pura be-go! Habis gue sama Oma, tau enggak lo? Gue dikurung! Bokap juga abis dimaki! Itu karena omongan lo sama Oma! Lo nuduh gue hamil!”

“Memang kenyataannya begitu, kan?”

“Diam! Gue nggak hamil! Perut gue nggak buncit kayak lo! Pantes aja lo diselingkuhin sama paksu lo! Lo itu monster yang punya perut gem-bel kayak orang kelaparan! Bang-sat!”

Arum menghela napas. “Kamu lebih berani di telepon, ya? Aneh. Bahasa kamu juga lebih sopan. Benar-benar aneh. Ngomong-ngomong, darimana kamu dapat nomor—“

“Biar Papa yang ngomong ...”

“Oh, ditemani papa tersayangnya, toh.”

“Aruma ... kamu sama sekali tidak berubah. Ya ... tapi lawan kamu adalah saya, Bu Direktur yang terhormat. Kamu tahu bagaimana seorang Hermawan marah?”

“Ya, saya tahu.”

“Sudah saya ingatkan saat malam itu. Kenapa tidak kamu ikhlaskan saja pria mokondo itu—“

“Mas Dirga bukan mokondo, Pa!”

“Ya, ya, ya ... Berdiri di sana, Anya. Biarkan Papa bicara secara pribadi dengan Bu Direktur ini.”

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang