Arum ingin sekali berpisah. Tapi apa yang bisa dia lakukan sekarang selain mengikuti permainan Mas Dirga dan yang lain. Kecewa sudah pasti, bahkan perasaan yang mendalam. Untuk apa Arum tertawa dengan amarah kalau tidak kecewa. Lalu untuk apa Arum berkaca-kaca sambil memekarkan bibir tipisnya, kalau bilang semua baik-baik saja.
Semua tak lagi sama ...
“Bu Arum ngerokok?” Sekar kaget saat Arum mengeluarkan sebatang rokok dari saku blazer-nya.
“Rokok dua batang, Bang,” kata Arum, mampir sebentar di sebuah warung kecil. Untuk saat ini Arum memang perlu merokok. Dia depresi, jelas.
Sementara itu mereka sedang duduk di pinggir parit. Ada ibu-ibu yang mencuci pakaian, bapak-bapak yang iseng memancing biarpun tidak ada ikan, lalu anak-anak yang mandi pagi dengan riang. Sementara airnya lumayan bersih tidak seperti parit kebanyakan di kota ini.
“Ya,” kata Arum, menjawab pertanyaan Sekar dengan tampang lega walau ada derita.
“Ibu Arum, kalau Ibu depresi nggak gini caranya,” kata Sekar terdengar khawatir.
“Tadi malam saya berhasil rontokin rambut dia,” kata Arum, mengabaikan kekhawatiran Sekar.
“Hah? Yang bener, Bu?” Sekar menjadi lebih kaget sampai nyaris terpeleset ke bawah.
“Tak banyak, tapi lumayanlah,” kata Arum, menghisap lalu menghembuskan asap itu ke udara. Padahal saat pertama kali mencoba, dulu sekali, Arum nyaris mati tersedak. “Lihat, kuku saya sampai patah ke dalam.”
“Astagfirullah!”
Sekar menutup mulut saat Arum membuka sarung tangan lalu perban di jarinya. Darah di jari Arum keluar lagi. Terhipnotis sebentar, Sekar mendadak berlari ke arah warung terdekat.
Dengan jari masih terangkat Arum memperhatikan punggung Sekar yang berlari. Lalu Sekar kembali dan tanpa banyak omong langsung menekan pelan jari Arum dengan kapas agar darahnya berhenti.
“Ini beneran dalem banget patahnya, lho, Bu Arum! Ibu rontokin rambut cewek itu sampe kayak gimana, sih?” Dengan takut-takut Sekar meneteskan obat antiseptik. Arum nyeri sedikit sementara Sekar melihatnya.
“Bu Arum, udah, dong! Jiwa psiko Ibu di kantor jangan bawa ke sini!” kesal Sekar. “Jari Ibu ini berdarah! Malah senyum aneh melulu!”
“Yaa, suka-suka saya, dong.”
“Au ah! Nih, perbanin ndiri!”
Arum tertawa, membuat Sekar semakin kesal. Selanjutnya mereka berdua sibuk sendiri sampai Sekar akhirnya bertanya pada Arum.
“Soal Pak Hermawan, gimana responnya dia begitu tau kalau anaknya Ibu serang?” tanya Sekar penasaran.
“Dia marah, sangat marah,” jawab Arum jujur. “Dia menelepon saya semalam, tepat tengah malam ... “
“Jangan sentuh Anya lagi, dia adalah permata bagi saya ...”
“Terus Ibu bilang apa?”
Arum tak menjawab sementara berdiri dan merapikan pakaian. “Sampaikan salam buat orangtua kamu. Saya mau pulang.”
“Bu Arum? Apa yang akan Ibu lakukan selanjutnya?” tanya Sekar berseru. Tapi Arum terus menjauh tanpa terusik. Sementara hati kecilnya berkata dibarengi senyuman tipis.
Pelan-pelan saja. Mereka takkan ke mana-mana.
***
“Hai!”
Arum menghampiri Ririn Prameswara dan suaminya, Heru Kusuma. Sore itu sehabis pulang kerja, mereka kaget karena Arum tahu-tahu muncul.
“A-Arum?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
Ficción GeneralArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...