22. Tak Bisa Lepas

126 7 0
                                    

“Lho, Bu Arum langsung pulang? Apa nggak mampir ke rumah mertua Bu Arum?”

Juwi merasa heran begitu Arum pamit pulang tanpa bermaksud untuk mampir ke rumah Ibuk. Sebenarnya Arum ingin tapi mau bagaimana lagi, dia sudah bercerai dari Mas Dirga. Meski Arum masih menganggap Ibuk sebagai sosok yang spesial, tapi semuanya tak lagi sama. Terlebih lagi, Arum sudah bersikap dingin pada Ibuk sejak saat itu.

Di dasar hati Arum, sebenarnya dia masih menghormati Ibuk bukan sekadar karena Ibuk mantan mertuanya. Melainkan Arum benar-benar menganggap Ibuk sebagai sosok yang penuh kasih sayang terhadap anak dan cucunya. Meski pada akhirnya Ibuk telah mengecewakan Arum. Alasan yang tak masuk akal dan sampai sekarang masih membuatnya begitu heran.

“Hm,” Juwi berdeham tanpa suara, tampak sedang menilai dengan wajah curiga. Arum mengabaikannya dan bicara dengan orangtua Sekar sebelum masuk ke mobil.

Sebenarnya Arum mau saja bilang kalau dia dengan Mas Dirga sudah bercerai. Tapi Arum lebih memilih untuk diam.

“Kalau perlu apa-apa, hubungi saya, Pak, Buk,” ucap Arum. “Apapun itu, perlu diantar berobat atau yang lainnya, saya siap.”

“Bu Arum baik sekali,” kata ibunya Sekar. “Nggak salah Sekar mengidolakan Bu Arum. Tapi, jujur dari hati saya yang paling dalam, Nak, saya nggak mau lagi berobat. Saya mau menyusul Sekar saja.”

“Ibuk! Aduh, jangan ngawur!” Juwi mengusap-usap kedua bahu ibunya dengan keras. “Istigfar, Buk! Istigfar!”

Sementara Arum diam saja. Kalau bisa seperti psikiaternya yang ahli bicara dalam menyentuh perasaaan seseorang, maka akan Arum lakukan. Tapi Arum ini seorang mantan direktur, yang berbanding terbalik dalam menghadapi perasaan orang lain. Tak ada senyuman agar bawahan dapat bekerja dengan maksimal. Dengan Ririn, di luar pekerjaan Arum bisa bercanda. Akan tetapi saat bekerja, Arum yang selalu cuek dan ketus akan selalu terlihat. Bagi Arum pekerjaan itu tak bisa dibuat bercanda, apalagi dengan amanah pekerjaan yang posisinya tinggi.

“Bu Arum, maaf. Ibuk memang suka bicara ngawur sejak Sekar pergi.”

“Saya mengerti,” kata Arum menunduk sekilas. “Kalau begitu saya pamit. Assalamu’alaikum.”

Mereka menjawab salam Arum sementara ibunya Sekar masih nelangsa. Ingin Arum memeluk hatinya, tapi dirinya adalah orang asing di sini. Arum hanya mengenal Sekar, itupun tidak terlalu dekat. Arum tahu kedua orangtua Sekar saat itu juga tinggal di kota, tapi dia belum pernah bertemu. Bahkan saat datang ke rumah Sekar hanya untuk mengejeknya, Arum tak pernah melihat secara langsung. Saking cueknya.

Mobil Arum akhirnya melaju pelan menyusuri jalan yang sedikit bergelombang. Arini menelepon dan bertanya kapan pulangnya.

“Ini udah di jalan, Sayang. Gimana kamu sama anak-anak? Gak nakal, kan?”

“Ya, gitu, deh. Arini sebenarnya suka banget sama kampung ini, ada tempat wisata tersembunyinya, danau airnya berrr, sejuk banget. Tapi ya, Arini kurang suka aja diperlakukan kayak orang bule yang diliatin terus.”

Arum tertawa. “Lho, kan dulu kamu katanya pengen jadi artis! Gimana, sih?”

“Yeee, beda, Ma! Ini diliatinnya kayak Arini bukan seleb papan atas tapi binatang langka di taman Ragunan, lho!”

Karena Arina ikutan mendengar, dia pun tertawa juga sama seperti Arum. “Ya udah, jangan ngambek gitu, ih! Ini Mama mau beli sate, kebetulan ngiler! Kamu sama Arina mau, nggak?”

“MAU!” Arina dan Arini menjawab kompak.

“Ya udah, ditunggu!”

Sebelum Arum menutup telepon, Arini tiba-tiba memanggil dengan nada sedih. Arum pun berhenti tertawa. “Lho, jangan sedih, dong, Arini. Kan ini Mama beliin sate kesukaan kamu. Kok masih ngambek, sih?”

“Bukan itu, Ma ... Kalau ngomongin sate, Arini jadi ingat kita suka makan sate bertiga bareng Papa. Sambil ketawa-ketiwi, berbagi kebahagiaan yang takkan pernah terlupakan. Papa Mama suka jawilin hidung kami berdua. Arini kangen saat-saat itu, Ma.”

Mendadak sunyi. Arum tidak menutup teleponnya, sementara HP masih tetap di telinga.

“Hari ini Papa nikah, Ma. Malam ini sama cewek yang masih muda, nggak terlalu jauh dari kami. Arini pas lihat Kak Anya, orangnya memang cantik. Tapi bagi Arini, Mama yang paling cantik.”

Arum masih diam.

“Ma ... Kenapa Papa tega, ya?”

Arum tak mampu membendung air matanya.

***

Arum melihat kedua anaknya sudah terlelap di kamar setelah tadi asyik makan sate di halaman, dan mengajak cukup banyak anak-anak (tadi Arum sengaja beli banyak sate). Arum menutup pintu dengan hati-hati, sementara kemarahan dari seseorang terdengar lewat HP di telinganya.

“Aku ngomong sama kamu, Arum!” ujar Mas Dirga marah dengan nada membentak. “Aku ngasih hak asuh Arini, bukan berarti kamu bisa seenaknya! Kamu tahu kan kalau malam ini adalah hari bahagia aku! Malam ini aku resmi menikah sama Anya, kamu tahu! Tapi kamu, terkhususnya kedua anak aku, malah nggak datang! Kamu pikir aku nggak sakit hati apa? Aku yakin Arini sama Arina mau datang, cuman kamu yang ngehalangin mereka! Iya, kan? Keterlaluan kamu, Arum!”

“Arum! Aku ngomong itu disahut!”

“Ya,” kata Arum akhirnya. “Selamat ya atas pernikahannya.”

“Hah? Gitu doang?” ucap Mas Dirga, terdengar jijik.

Begitu juga dengan Arum, sama jijiknya pada Mas Dirga. Arum juga tidak mau lagi menambah kata “mas”. Sungguh, Arum tak tahu kenapa dia tidak bisa melakukannya. Entah karena Arum sudah terlanjur terbiasa dengan panggilan itu. Panggilan yang bermakna spesial di hatinya. Bukan sekadar panggilan biasa.

Seakan Arum sudah terlanjur dan tak bisa lepas. Mas Dirga ... Seharusnya kita tak berakhir begini. Tapi apa yang kamu lakukan bahkan hingga detik ini ... Kamulah yang sebenarnya keterlaluan, Mas.

“Ya, maaf kalau kami nggak bisa datang,” kata Arum, mencoba sabar. “Kebetulan teman aku di kampung ada yang kena musibah, jadi darurat. Maaf, ya?”

“Teman? Di kampung? Jadi sekarang kamu ada di kampung kamu yang pelosok itu?”

“Iya.”

Mas Dirga tertawa mengejek. “Teman kamu bilang, Arum? Kamu pikir aku nggak tahu apa? Kamu itu nggak punya teman! Ririn aja jijik sama kamu! Dia itu selama ini pura-pura, asal kamu tahu, ya! Dan, Arum, selamanya nggak akan ada yang mau temenan sama kamu!”

Betapa hancurnya hati Arum mendengar omongannya. Dari orang yang pernah dia cintai dan sayangi bahkan sampai detik ini. Arum ingin sekali menangis dan meluapkan amarah padanya detik itu juga. Tapi dia tak bisa. Arum merasa lelah dan jujur saja ... tidak ada gunanya. 

“Ya.”

Arum menutup telepon sepihak, lalu mulai menangis dalam kesendirian di kamar yang kecil itu. Kamar yang katanya tempat ibu kandungnya dilahirkan tanpa bidan. Hanya seorang diri nenek Arum yang renta, melahirkan wanita yang tak pernah dia jumpai seumur hidupnya.

Arum menangis pilu. Sementara terbayang di benak wajah ibunya yang cantik jelita. Berbanding terbalik dengan dirinya yang jelek bahkan tua.

“Mama, aku mau Mama ada di sini, meluk aku sampai aku terlelap dalam mimpi indah, yang akhirnya menjadi kenyataan. Mama, dengerin aku ...”

“Aku ingin ... “

***

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang