“Siapa yang sudah merebut pasar kita, hah? Sampai penjualan es campur kita jadi anjlok gini di beberapa cabang! Bahkan di Mall kita sendiri!”
Dari siaran langsung dengan kamera rahasia itu, dapat terlihat Dirga menggebrak meja di ruang rapat. Arum yang jadi satu-satunya penonton, tersenyum puas melihatnya.
“Aduh, jadi direktur kok emosian banget, sih, mantan,” ejek Arum. “Harusnya dicari solusi, bukan malah emosi.” Enggar yang tugasnya sebagai penghubung siaran langsung itu berkomentar, “jahat banget kamu, Arum.”
“Emang aku pernah selingkuh padahal baru aja nikah?” sindir Arum. “Terus apa aku pernah selingkuh padahal sudah punya dua anak yang cantik? Siapa sih yang jahat, Enggar? Masih untung aku nggak bikin rusuh juga kehidupan rumah tangganya dia. Kasihan bayi si pelakor yang belum lahir. Ya biarpun paksunya sendiri sedang selingkuh.”
Enggar tertawa. “Ya udah lanjut nonton, gih. Mumpung gratis.”
“Yeay, kapan lagi kan bisa nonton siaran ekslusif secara langsung dan gratis!”
“Dasar,” kata Enggar.
Arum senang, meski belum lama patah hati karena Ardian, masih ada Enggar yang mampu menghiburnya. Meski kali ini Enggar hadir sebagai teman masa kecilnya. Tak hanya berbakat di bidang mesin mobil, tapi mesin kamera pun Enggar tidak kalah jago. Enggar bilang belajar otodidak. Sumbernya dari internet yang dipasang mahasiswa-mahasiswi yang ikut KKN dulu di kampung. Enggar merasa beruntung tidak semua mahasiswa yang takut dengan keadaan wajahnya. Masih banyak mahasiswa yang baik dan mau meminjam wi-finya secara cuma-cuma.
“Nggak ada yang ngerebut, kata kamu?” berang Dirga. “Nggak mungkin lah to-lol! Kalau penjualan brand es campur kita di beberapa cabang menurun gratis begini, sudah pasti pelanggan beralih ke brand atau home made yang lain! Ngerti? Itu artinya pasar kita direbut! Pesaing yang nggak etis ya gitu! Kalau sudah jadi lahan kita, harusnya tahu diri! Jangan jualan dekat-dekat, dong! Itu ada etikanya! To-lol kamu!”
Arum memperhatikan karyawan yang dihina to-lol oleh Dirga. Tampak ekpresi wajah tidak terima dan kekesalan yang begitu memuncak, namun ditahan-tahan. “Dia kayaknya ngedumel, Enggar, coba tangkep—nah, kerasin.”
“Punya bos gob-lok ya gini.” Arum bisa mendengarnya sekarang. Arum tahu dia sama seperti Sekar, alias karyawan tanpa embel-embel kerabat atau teman SMA. Namanya Intan Pramudya. Karyawan yang diterima bekerja murni karena kemampuan.
“Dia nggak pernah belajar apa? Dalam dunia bisnis, nggak ada aturan jualan nggak boleh dempet-dempetan. Lo jualan bensin ecer di depan SPBU aja nggak ada larangan. Memangnya itu tanah punya nenek moyang lo? Kebanyakan sering jualan di kampung ya gini, gampang dikibulin! Terus gampang baperan karena bakso tetangga lebih laris! Cih!”
Arum dan Enggar kompak tertawa.
“Kamu ngomong apaan itu? Ngedumel kamu di belakang saya? Hah?”
“Pak, sebenarnya bukan masalah ada yang jualan di dekat sini atau sana yang jadi penyebab menurunnya omset bulan ini. Tapi kita kalah di promosinya. Menurut saya begitu, Pak. Contohnya mie Gacor. Biarpun pesaingnya banyak, tapi lihat promosinya. Bagus sekali. Alhasil mereka pun tiap hari selalu untung.”
“Hah? Promosi? Memangnya setiap hari kita nggak promosi apa? Itu iklan yang ada saya sama istri saya, apa coba kalau bukan promosi?”
Intan terbatuk. Dirga melotot. “Kok batuk-batuk kamu? Ngeledek?”
“N-nggak, Pak, maaf.”
Dirga mendecih lalu beralih memandang ke karyawan lain. “Dunia bisnis mana ada yang bersih, saya yakin ada yang jual es campur di dekat cabang kita, terstruktur gitu. Maksudnya ya itu memang mengganggu. Bisa dipidanakan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
Ficción GeneralArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...