15. Ingin Bercerai

208 11 0
                                    

“Arum!”

Mas Dirga membuka pintu kamar dengan kasar. Arum yang sedang membaca buku di ranjang dibuat mengangkat wajah, tapi tak merasa terusik. Arum dapat menebak apa yang membuat Mas Dirga marah. Kegaduhan yang Arum buat sendiri dan dirinya sudah siap untuk menghadapinya.

“Ada apa, Mas? Kok, kamu baru pulang? Pintunya bisa rusak, lho.”

“Perse-tan dengan pintu ini!” Mas Dirga menendang pintu itu dengan keras. Malam yang awalnya damai kini menjadi panas. “Dari mana saja kamu? Aku cari-cari kamu! Terus kamu apain anak Bos tadi pagi, hah? Anya sampai nangis-nangis kamu buat, Arum! Apa yang kamu pikirin? Kayaknya kamu emang udah nggak waras, Arum! Kemarin kamu jambakin dia sampai berdarah, terus sekarang kamu lempar-lemparin mukanya sama kacang panjang! Kamu sinting!”

Akhirnya Arum merasa terusik. Tapi dia mencoba mengatur emosi agar tidak meluap begitu saja, mencurahkan semuanya pada ba-jingan di depannya. Memang tak ada gunanya bersandiwara terlalu lama, dan Arum berpikir sudah waktunya untuk mengakhiri. Menghancurkan mereka tidak harus dengan memendam luka teramat pahit ini. Sementara soal Arina dan Arini, Arum sudah memikirkannya berkali-kali, dia akan mempertahankan mereka dengan taruhan nyawa sekalipun.

Saat ini adalah tentang mengeluarkan emosi secara perlahan-lahan. Kalau Arum mengeluarkan secara spontan, dia tak yakin dapat menahan akal sehatnya. Di tubuh Arum ada bom waktu yang benar-benar akan berguncang hebat. Arum mencoba sekuat tenaga untuk menyaring menjadi ledakan-ledakan yang takkan mampu didengar oleh para tetangga. Arum ingin hanya mereka berdua saja yang mendengar pertengkaran ini. Meski Arum tidak yakin Mas Dirga memahami keinginannya untuk tetap dengan kepala dingin, tanpa meledak-ledak. Tanpa berteriak-teriak hingga terdengar oleh yang lain.

Arum benci keributan. Sangat membencinya. Meski dia ...

“Tunggu, Mas,” kata Arum berjalan melewati Mas Dirga, menutup rapat pintu dengan pelan. Lalu berbalik dan mengangkat wajah dengan ekspresi tak mampu terlukis.

“Aku udah tahu semuanya, Mas,” kata Arum akhirnya, menatap Mas Dirga dengan hati yang dibuat setegar mungkin.

“Tahu apa?” Mas Dirga rupanya masih kehilangan kendali. Dia jelas tak memahami, sementara Arum hanya bisa pasrah. Setelah pertengkaran ini, dia harus siap menerima segala gunjingan.

“Yang aku tahu kamu itu udah sinting!” ucap Mas Dirga dengan nada membentak. “Kamu tahu, nggak? Dengan kamu nyerang Anya tanpa alasan yang jelas, kamu bisa membuat aku dipecat! Kamu senang aku dipecat? Padahal kamu tahu, kan, kalau aku belum lama menjabat sebagai direktur di sana? Kamu beneran istri aku apa bukan, Arum?”

“Kamu selingkuh dengan ja-lang itu!” kata Arum dengan tubuh bergetar, menunjuk lancang ke muka Mas Dirga. Dia tersentak dan mematung untuk beberapa saat.

“K-kamu nuduh aku selingkuh?” tanya Mas Dirga, membuat dirinya seolah-olah seperti korban tanpa dosa. “Kamu beneran kelewatan Arum! Hal dasar apa yang membuat kamu berpikir kalau aku selingkuh?”

“Sudahlah, Mas. Berhenti bersandiwara.”

“Apa yang bersandiwara, Arum?” Mas Dirga murka. “Kamu tahu, empat belas tahun lamanya pernikahan kita ini berjalan. Itu bukanlah waktu yang sebentar. Kita punya Arina dan Arini. Dengan apa yang telah kita lalui, kamu tega menuduh aku selingkuh?”

Plak!

Arum menamparnya dengan segala rasa muak yang ada. “Sudah aku bilang, berhenti bersandiwara!” Arum balik murka padanya.  “Aku sudah tahu semuanya! Perselingkuhan kamu! Alasan kamu melakukannya! Lalu tentang Ibuk! Aku sudah tahu itu! Dan  ... ini bukti foto kamu berselingkuh, ba-jingan!”

“Aku melakukannya demi kamu, Arum, demi pernikahan kalian agar berlangsung lama.”

“Aku nggak nyangka bakal begini. Dia bilang beneran cinta sama kamu. Tapi sekarang, Dirga dibutakan oleh semuanya.”

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang